Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Sejarawan UGM: Nama Ibu Kota Jangan Hilangkan Aspek Historis

Ardi Teristi Hardi
21/1/2022 19:40
Sejarawan UGM: Nama Ibu Kota Jangan Hilangkan Aspek Historis
Presiden Joko Widodo meninjau langsung sodetan akses jalan menuju rencana ibu kota negara di Provinsi Kalimantan Timur, Selasa (24/8/2021).( BIRO PERS/SETPRES/LUKAS)

NAMA Nusantara untuk calon Ibu Kota Negara (IKN) yang baru di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dipandang dosen Sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Dr Arif Akhyat tidak mengandung perspektif negatif atau positif.

Arif punya pandangan sendiri terkait nama Ibu Kota Negara (IKN). Menurutnya nama ibu kota negara sebaiknya merujuk pada nama wilayah itu sebelumnya.

Ia menyebut bila menggunakan nama baru untuk sebuah wilayah biasanya akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang sudah menempati sebelumnya. "Dalam kajian sejarah, nama-nama kota, apalagi Ibu Kota, selalu terkait dengan kemegahan kota masa lalu," terang Arif.

Ia pun kemudian menarik ke belakang soal sejarah munculnya kata Nusantara pada masa kerajaan Singosari dan Majapahit. Kata Nusantara, jelas dia, digunakan untuk merujuk wilayah pulau luar.

"Nusantara dibedakan dengan dvipantara yakni dvipa yang artinya Jawa. Konsep Nusantara, pada masa Majapahit merupakan konsep geopolitik untuk mengidentifikasi suatu wilayah yang meliputi Bali, Malayu, Madura, dan Tanjungpura," kata dia, Jumat (21/1).

Keempat wilayah itu termasuk Singapura, Malaysia, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Maluku, Lombok, dan Timor. Bahkan, pengaruhnya sampai
Champa, Cambodia, Annam dan Siam.

"Jadi secara geografis, Nusantara lebih luas dari apa yang sekarang disebut Indonesia. Dengan sedikit ulasan tadi sebenarnya, Nusantara, bukan Jawa tetapi justru merujuk luar Jawa," papar Arif Akhyat.

Dia menegaskan, Nusantara untuk penamaan suatu wilayah tidak mengandung perspektif negatif atau positif. Ia hanya sebuah nama untuk menyebut wilayah di luar Jawa.

Menurut dia, yang penting dicatat adalah tafsir nama itu dapat digunakan sebagai kebijakan politik untuk pemerataan, keseimbangan, dan keadilan pembangunan. "Inti pemindahan IKN itu bukan soal nama, namun seberapa jauh persiapan yang dilakukan dengan berbagai analisis secara komprehensif dan multidisipliner. Jangan sampai pemindahan IKN hanya sebagai retorika politik dan praktik politik mercusuar," jelas dia.

baca juga: Presiden Cari Sosok Tepat Calon Kepala Otorita IKN Nusantara

Arif melanjutkan, Presiden Soekarno pernah bercita-cita memindahkan IKN dari Jakarta ke Kalimantan. Menurutnya, Soekarno ingin memindahkan IKN saat itu pasti ada motif yang berbeda dengan sekarang.

Sepanjang pengetahuannya, berbagai motif dan alasan penah melatarbelakangi perpindahan IKN. Ia mencontohkan, IKN pernah pindah ke Yogyakarta 1946 karena kondisi Jakarta secara politik tidak aman, revolutif, dan di bawah ancaman agresi militer Belanda.

Kalau Soekarno pernah memiliki gagasan memindahkan IKN ke Palangkaraya pada 1957 juga dinilai beralasan. Ia menyebut, salah satu alasannya adalah adanya intrik politik militer 1957 dengan gerakan separatisme dari berbagai daerah sehingga IKN Jakarta tidak aman.

"Jadi  persoalan perpindahan IKN ini bukan sekedar relevan atau tidak, namun seberapa jauh urgensi dan kesiapan berbagai bidang dalam mengatur keseimbangan dan keadilan pembangunan," terang dia.

Kebijakan makro dalam konteks pembangunan, lanjut dia, termasuk perpindahan IKN jangan sampai ahistoris dan bersifat politis. (N-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya