Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
MAJELIS Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pendapat ahli terkait rekayasa teknis yang mungkin dilakukan apabila pemilihan umum (pemilu) dilaksanakan dengan serentak yakni pemilihan umum presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa Mahkamah ingin mendapatkan penjelasan dari ahli, apabila jumlah penyelenggara pemilu ditambah untuk mengantisipasi kelelahan beban pada pelaksanaan pemilu serentak mendatang.
"Kami menyadari akan banyak biaya yang muncul. Kalau dilakukan seperti itu persoalan terkait penyelenggara di tingkat paling bawah bisa diselesaikan atau tidak?," ujar Saldi dalam sidang uji materi Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu di Gedung MK, Jakarta, Senin (27/9). Pertanyaan yang sama, juga dilontarkan oleh Hakim Konstitusi Aswanto.
Merespons hal itu, salah satu dari tiga ahli yang dihadirkan pemohon yakni Anggota Dewan Pembina Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan penambahan petugas penyelenggara di tiap tingkatan mulai dari panitia penyelenggara pemungutan suara (PPPS) hingga petugas di kabupaten/kota, akan berdampak pada banyak hal.
"Ketika memecah lima perhitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) secara pararel, di saat yang sama harus ada lima saksi partai, lima pengawas TPS dan tempat yang besar. Implikasi ini akan membawa politik biaya tinggi pada pemilu," tutur Titi.
Titi mengatakan pilihan penjadwalan pemilu serentak yang menggabungkan pemilu DPR dan DPRD provinsi, kabupaten/kota serta DPD dalam satu jadwal, mengakibatkan kompleksitas dan kerumitan teknis. Bahkan, menurutnya mendistorsi azas kedaulatan rakyat.
Penggabungan pemilu tersebut, ujar Titi, telah dilakukan sejak 2004 dengan kombinasi sistem pemilu proposional terbuka. Pemilu yang serentak, imbuhnya, mengakibatkan tingginya surat suara tidak sah melampaui rata-rata global yaitu dari 4%. Bahkan pada pemilu 2019 mencapai 11,12%.
Baca juga : Propaganda Koruptor Serang Jaksa Agung
Menanggapi itu, Saldi juga menanyakan pada para ahli, mengenai banyaknya suara tidak sah pada pemilu 2019 benar-benar diakibatkan oleh penggabungan pemilu serentak lima kotak. Menurutnya hal itu bisa diakibatkan karena desain surat suara. Ahli lain yang dihadirkan pemohon Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2009-2014 Ferry Kurnia Rizkyansyah menyampaikan penggabungan pemilu waktu bimbingan teknis pada petugas di lapangan menjadi sempit. Sementara, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Kris Nugroho menyampaikan,
pemilu lima kotak menyebabkan maladministrasi pemilu seperti manipulasi pada saat rekapitulasi semakin terbuka. Penyelenggara, sambungnya, bisa melakukan kecurangan atau kasus pelanggaran.
"Karena petugas kurang fokus, saksi partai bahkan pengawas TPS sudah tidak hadir karena kelelahan atau bosan dalam proses perhitungan suara," terang dia.
DPR RI juga hadir memberikan keterangan pada sidang uji materi UU Pemilu. Pimpinan Komisi III DPR RI Supriansa menyampaikan pemohon uji materi atas Pasal 167 ayat 3 sepanjang frasa " pemungutan suara dilaksanakan secara serentak" dan Pasal 347 ayat 1 UU Pemilu terhadap UUD 1945, pernah diajukan. Sehingga DPR menilai permohoan itu berlaku nebis in idem atau perkara yang sama, tidak dapat diadili untuk kedua kalinya.
Perihal model keserentakan pemilu yang dipermasalahkan para pemohon, ia mengatakan hal tersebut merupakan kebiijakan hukum terbuka pembuat UU. "Apabila pemohon menginginkan perubahan norma mengenai format keserentakan pemilu pada pasal a quo yang seharusnya dilakukan adalah menyampaikan pada DPR dan pemerintah sebagai pembentuk UU," tukasnya.
Permohonan uji materi atas perkara No.16/PUU-XIX/2021 diajukan oleh warga negara Indonesia bertugas pada Pemilu 2019 sebagai penyelenggara pemilu di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS). (OL-2)
MK buka suara terkait isu pemakzulan wakil presiden (wapres) Gibran Rakabuming Raka yang santer belakangan ini.
ANGGOTA Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amalia menilai program Sekolah Rakyat akan berbeda dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan sekolah gratis.
KEWENANGAN pengelolaan energi dan sumber daya mineral termasuk pemberian izin tambang, yang kini berada di tangan pemerintah pusat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
MK menolak lima gugatan yang diajukan sejumlah pemohon berkaitan dengan pengujian formil dan materiil UU TNI
MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan atas pengujian UU Kejaksaan terkait hak imunitas bagi jaksa.
DUA orang advokat, Syamsul Jahidin dan Ernawati menggugat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Dalam konteks Indonesia, kebijakan publik sering kali menjadi paradoks yang menyakitkan, alih-alih menyelesaikan masalah justru melahirkan konflik baru.
Pembahasan RUU Pemilu membutuhkan waktu panjang demi menciptakan sistem pemilu yang sesempurna mungkin.
Demokrasi tidak bisa dipisahkan dari politik karena sesungguhnya politik adalah bagian yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari
Pemerintahan konservatif sebelumnya dikenal dengan pendekatan keras terhadap Korea Utara, yang menyebabkan meningkatnya ketegangan.
"Dari segi teoretis dan data empiris, pemilu yang baru dilaksanakan ini justru merugikan kualitas demokrasi."
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) menegaskan bawa penyewaan pesawat jet saat pelaksanaan Pemilu 2024 dilakukan sebagai langkah operasional strategis dalam situasi luar biasa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved