Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Sesalkan Sikap Ketua DPR, Koalisi Perempuan Desak Pengesahan RUU PKS

Cahya Mulyana
19/8/2021 13:20
Sesalkan Sikap Ketua DPR, Koalisi Perempuan Desak Pengesahan RUU PKS
Seorang perempuan membentangkan poster dalam aksi memperingati Hari Perempuan Internasional di Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Senin (8/3).(ANTARA)

RANCANGAN Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dapat mengeliminasi angka kekerasan terhadap kaum perempuan. Sayangnya, sikap DPR masih terbelah karena kepentingan politik.

Hanya sejumlah fraksi yang konsisten ingin melindungi kaum hawa dari tindak kekerasan, di antaranya Fraksi NasDem dan PKB. Bahkan Ketua DPR Puan Maharani tidak menyinggung RUU ini untuk segera disahkan di masa sidang kali ini meskipun ia notabene merupakan wakil perempuan di parlemen.

Melihat kondisi tersebut Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati mendesak seluruh komponen wakil rakyat bersatu untuk mengesahkan RUU tersebut. Bakal payung hukum itu sangat dibutuhkan untuk melindungi martabat kaum hawa dan dari tindak kekerasan.

Mike mengatakan sejak awal digagas proses pembahasan RUU PKS sarat dengan pro kontra dan manuver politik. Akibatnya, para periode legilasi yang lalu, RUU PKS disisihkan oleh RUU-RUU lainnya yang dianggap bernilai keuntungan, seperti RUU Minerba dan omnibus law UU Cipta Kerja.

Belum lagi resistensi dari beberapa fraksi di DPR yang menganggap RUU PKS bermuatan ideologi liberal dan barat yang bertentangan dengan nilai agama dan budaya Indonesia.  "Padahal RUU PKS ini didorong untuk merespon jatuhnya korban kekerasan seksual yang semakin bertambah, dan locus kejadian yang sudah mengarah pada area publik, seperti di tempat kerja, sekolah, pesantren, kampus, dan fasilitas publik jalan, transportasi umum," papar Mike kepada Media Indonesia, Kamis (19/8).

Menurut Mike RUU PKS masih dipandang sebelah mata oleh legislatif. Buktinya RUU ini diputuskan tidak di-carry over, dan meskipun masuk dalam prolegnas panjang 2020. Kemudian Komisi VIII sebagai komisi yang memroses RUU PKS mengeluarkannya dari prolegnas 2020 atas dasar tidak mendesak dan prosesnya cukup sulit untuk diteruskan.

"Yang menurut pandangan saya jelas, RUU PKS masih diposisikan sebagai RUU yang tidak urgent dan kurang membawa keuntungan secara politis," jelasnya.

Secara personal, Mike mengaku belum mendapatkan logika yang terang benderang atas argumentasi penolakan RUU PKS. Terutama, tuduhan bahwa RUU itu membuka ruang terhadap LGBT, pelegalan aborsi, perzinaan, sampai dengan persoalan sexual consent yang sebenarnya sangat lompat secara logika.

"RUU PKS ini bicara soal keadilan korban, yang bisa jadi semua orang berpotensi mengalami, perempuan, laki-laki, anak-anak, dewasa, dan semua lapisan masyarakat. Dan juga bisa soal bagaimana negara hadir memastikan akses dan layanan hukum yang adil untuk semua," paparnya.

Lebih jauh lagi RUU PKS diinisiasi untuk mengatasi kekosongan hukum. Selama ini hukum belum mampu memberikan perlindungan terhadap kekerasan seksual karena banyak praktik kejahatan itu yang tidak diakomodasi dalam UU lainnya.

Mike pun menyesalkan sikap Ketua DPR Puan Maharani yang tidak serius mengesahkan RUU PKS. Dalam konteks ini sangat terlihat jelas bahwa jenis kelamin tidak menjadi ukuran keberpihakan terhadap kebutuhan sebuah kebijakan.

"Ini semakin menguatkan bahwa proses kebijakan memang lebih kuat pada politik kepentingan, ketimbang kebutuhan riil dan emergency dari rakyat yang membutuhkan kebijakan yang berpihak pada korban," terangnya.

Sangat disayangkan memang, RUU PKS ternyata bukan menjadi sebuah pemikiran untuk memastikan perlindungan warga negara. Padahal angka dan jumlah kasus jelas, makin bertumbuh pesat, dan belum lagi kekerasan seksual berbasis daring, yang saat ini juga banyak menimpa masyarakat, dengan yang paling rentan menjadi korbannya dari kalangan anak-anak.

"Debat panjang soal terganggunya nilai-nilai agama akan RUU ini di parlemen, justru semakin menunjukkan bahwa negara lewat parlemen abai terhadap kekerasan seksual yang marak terjadi, yang sebenarnya ini juga bertentangan dengan nilai agama," jelasnya.

Padahal ketika negara sigap dan akomodatif terhadap kebijakan perlindungan korban ini, kata Mike, berarti sedang memastikan tugas pokoknya menjaga kepentingan rakyat. Negara menunjukkan tanggung jawab penuh untuk menjaga martabat bangsa.

Ia mengingatkan kekerasan seksual juga bagian dari problem kemanusiaan yang serius. Oleh karena itu, memastikan RUU PKS hadir dan diimplementasikan adalah bagian dari menata kultur kehidupan berbangsa, yang lebih menghargai kemanusiaan, dan menghormati antar sesama manusia.

Sayangnya memang, proses penyusunan kebijakan memang cenderung membela kepentingan kekuasaan, keuntungan bisnis dan kapital. "Walaupun demikian, saya juga menghaturkan salut yang tinggi, kepada anggota legislatif dan fraksi-fraksi di parlemen yang telah berkomitmen tinggi mendukung dan berjuang memastikan RUU PKS bisa berlanjut di parlemen," pungkas Mike. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya