Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Indeks Demokrasi Menurun, Perludem: Pemilu Masih Ajang Prosedural

Indriyani Astuti
14/7/2021 16:15
Indeks Demokrasi Menurun, Perludem: Pemilu Masih Ajang Prosedural
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati(MI/SUSANTO )

INDEKS demokrasi di Indonesia dilaporkan terus menurun. Berdasarkan data yang dirilis oleh Global State of Democracy dirilis oleh The International Idea 2021 pada 23 Junii 2021, Indonesia negara dengan warna hijau muda atau masuk dalam kategori performa demokrasi yang rendah.

Direktur Eksekutif Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan pemilihan umum menjadi salah satu yang mempengaruhi kualitas demokrasi. Menurut Khoirunnisa, pemilu di Indonesia hanya bersifat prosedural saja Tetapi tujuan dari pemilu belum sepenuhnya tercapai.

"Pemilu hanya dilihat sekadar checklist (memilih) saja. Namun tujuan dari rakyat dapat memilih wakilnya dengan azas langsung, umum, bebas, rahasia), dan jurdil (jujur, adil) belum tercapai,"ujar Ninis, sapaan Khoirunnisa, dalam Webinar Demokrasi yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (14/7).

Lebih jauh, Ninis menyebut ada tantangan dari sisi elektoral dalam perbaikan demokrasi. Pertama, ujarnya, regulasi kepemiluan belum dapat memberikan jaminan bahwa terbentuknya koalisi partai politik dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden, didasarkan pada program, ide, atau gagasan.

Melainkan, sambung Ninis, koalisi partai politik saat ini lebih banyak didasari alasan pragmatis atau ajang bagi-bagi kekuasaan. "Saya dapat apa, siapa dapat apa," tuturnya.

Baca juga: Nama Azis Syamsuddin Muncul dalam Dakwaan, KPK Terus Cari Bukti

Ninis menambahkan, mekanisme dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden, dikembalikan pada prosedur internal yang ada pada partai politik dan tidak diatur dalam undang-undang. Hal itu, imbuhnya, membuat partai politik beralasan pencalonan sudah sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai.

Padahal, tegasnya, masyarakat perlu tahu mekanisme tersebut seperti apa sehingga bisa menentukan pilihan dengan tepat.

Masalah lain, ujar Ninis, partisipasi kritis masyarakat perlu ditingkatkan melalui pendidikan politik. Ia menilai selama inu partisipasi hanya diukur dari jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS).

Padahal, ujar dia, pemilih perlu diedukasi untuk tidak menerima politik uang dan mereka berhak tahu bagaimana cara mengakses visi-misi dari para calon.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) Azka Abdi menuturkan, pemilu atau pilkada adalah sarana untuk mengubah kondisi pemerintahan atau kekuasaan jika tidak puas, masyarakat diberikan legalitas untuk bisa memilih calon lain.

"Walaupun keadaan di Indonesia saat ini, calon yang hadir di pilkada dan pemilu mungkin orang-orang lama," ujar dia.

Azka menyebut bahwa salah satu faktor yang membuat sulitnya muncul sosok pemimpin baru antara lain karena aturan yang memberatkan para calon, diantaranya ambang batas parlemen untuk mencalonkan presiden sehingga hanya partai politik yang punya cukup kursi di parlemen yang bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya