Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Haris Azhar: Inkonsistensi Penegakan Hukum bikin Investor Hengkang

Abdillah M Marzuqi
10/6/2021 22:38
Haris Azhar: Inkonsistensi Penegakan Hukum bikin Investor Hengkang
Haris Azhar(Antara)

Inkonsistensi Penegakan Hukum bikin Investor Banyak Kabur

Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI), Toto Pranoto menilai penegakan hukum dalam penyelesaian kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bisa menggairahkan instrumen investasi di pasar modal. 

Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar pun sependapat dengan Toto. Namun ia memberikan  catatan khusus, yakni asalkan penegakan hukum tersebut dilakukan secara benar, konsisten dan tanpa disparitas. 

"Kenyataannya, dalam proses penanganan Jiwasraya dan Asabri ada penyitaan yang diduga tidak tepat, tidak proporsional, tidak ada kaitan dengan kejahatan. Bahkan bila ditelusuri kembali, dari 124 emiten yang sahamnya dibeli oleh Jiwasraya hanya 2 diantaranya yang dianggap melakukan tindak pidana tanpa ada pemeriksaan terhadap yang lain," ujar Haris Azhar, Kamis (10/6)

Menurutnya terdapat aset yang akan dilakukan pelelangan karena disebutkan berpotensi rusak. Pasalnya, penyidik tidak bisa mengelola atau tidak tahu cara menyikapi aset sitaan tersebut. 
"Padahal aset tersebut tidak berkaitan dengan tindak pidana sebagaimana amanat Pasal 39. Penyidik mengatakan bahwa aset tersebut disita untuk uang pengganti, padahal Pasal 18 ayat (2) UU Tipikor sudah menyebutkan dengan sangat jelas bahwa apabila dalam waktu 1(satu) bulan setelah inkraht Terpidana tidak bisa membayar uang pengganti maka hartanya bisa disita. Artinya, penyitaan baru bisa dilakukan setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap," tandasnya.

Sedangkan dalam pasar modal, kata dia, pada kenyataannya sudah banyak (investor) yang hengkang dari Indonesia, karena menganggap tidak ada kepastian penegakan hukum. "Ini juga catatan bagi OJK. Kalau memang dianggap ada salah kelola terhadap dana asuransi atau para emiten tersebut ditengarai bermasalah di pasar modal, kenapa selama ini diam saja. Padahal asuransi dan pasar modal adalah ranah pengawasan OJK," tambahnya.

Menurutnya, pejabat dan pengamat jangan berpendapat dengan narasi umum saja, namun harus melihat praktik dan riilnya. Haris menilai bukan tidak mungkin kasus Jiwasraya ini akan menjadi template skandal di kancah pasar modal Indonesia di kemudian hari.

Senada Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar mengatakan bahwa sejatinya perkara pidana adalah mengadili perbuatan perorangan. Karena penyitaan aset hanyalah sebagai bukti penguat dalam sebuah tindak pidana. 

Menurutnya, jika aset itu berkaitan dengan kepentingan umum tidak ada alasan bagi kejaksaan untuk menyitanya. "Karena menyita itu untuk membuat barang bukti yang cukup dengan contoh atau sampel saja," ujarnya.

Fickar pun menilai jangan sampai Kejaksaan justru terkesan ingin menguasai aset-aset tersebut. Menurutnya, konteksnya hanya sekedar bukti saja, aset lainnya harus tetap jalan agar tidak merugikan kepentingan umum. "Intinya, penegakan hukum tidak boleh menghancur ekonomi masyarakat," tandasnya.

Diketahui, Jiwasraya dinyatakan gagal bayar pada 2018. Penyidik Kejagung menilai berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan kerugian negara mencapai Rp16,8 triliun.

Kerugian tersebut berasal dari transaksi pembelian langsung atas empat saham, dan transaksi pembelian saham (indirect) melalui 21 Reksadana 13 Manajer Investasi yang diklaim dikendalikan oleh Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro. (OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya