Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
PEMERINTAH diminta membuka mata dan serius menanggulangi fenomena kasus penyiksaan aparat negara kepada warga. Pasalnya, ungkap Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi, kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat negara kepada warganya masih terus berulang.
Sudah saatnya negara khususnya aparat penegak hukum membuka mata dan lebih serius menanggulangi fenomena ini.
"Kami heran mengapa kasus penyiksaan masih bisa terus terjadi, padahal instrumen peraturan terkait penyiksaan dalam norma hukum nasional sudah terbilang banyak. Bahkan melalui UU No.5/1998, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia," kata Edwin Partogi kepada wartawan, Kamis (11/2).
Ia merujuk sejumlah kasus penyiksaan yang mencuat beberapa waktu belakangan ini. Setelah kasus penembakan laskar FPI di Tol Cikampek KM 50, teranyar, cerita penyiksaan kembali terdengar setelah seorang warga Balikpapan, Kalimantan Timur, meninggal dunia satu hari setelah dijemput paksa dan dibawa ke Polres Kota Balikpapan pada Desember 2020 lalu.
"Kedua kasus turut mengundang perhatian LPSK. Untuk kasus warga Balikpapan, saat ini tim LPSK sedang terjun ke lapangan untuk melakukan investigasi," jelasnya.
Edwin menyatakan sudah saatnya negara khususnya aparat penegak hukum membuka mata dan lebih serius menanggulangi fenomena ini.
"Sebaiknya Polri sebagai penegak hukum membangun mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah terjadinya penyiksaan," ujarnya.
Edwin mengakui banyak tantangan dan kendala dalam menangani kasus-kasus penyiksaan, baik secara kultural maupun struktural. Salah satu yang menjadi tantangan besar bagi aparat hukum saat ini adalah tentang persepsi kepatutan aparat terhadap tindakan penyiksaan itu sendiri.
"Aparat tidak boleh menganggap lumrah atau patut melakukan penyiksaan dengan alasan apapun," tegasnya.
Dirinya meminta Polri sebagai penegak hukum mulai membangun mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah terjadinya penyiksaan. Apalagi metode yang digunakan oleh polisi dalam mendapatkan informasi untuk memenuhi alat bukti masih berorientasi pada pengakuan.
"Terutama untuk kasus-kasus yang minim alat bukti," ungkapnya.
Menurut Edwin, kendala lain yang ditemukan adalah tidak dikenalnya penyiksaan dalam KUHP dan cenderung disamakan dengan kasus penganiayaan. Untuk itu, pihaknya merekomendasikan agar dibuatnya regulasi khusus mengenai penyiksaan sebagai tindak pidana yang juga mengatur agar korban penyiksaan mendapatkan pemulihan serta memaksimalkan ganti kerugian.
"Sebaiknya kita sudah harus mulai merumuskan penyiksaan sebagai tindak pidana dalam rancangan KUHP," katanya.
baca juga: Sepanjang 2020 LPSK Terima 1.454 Permohan Perlindungan Saksi
Selain itu, Edwin juga mengusulkan agar UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia direvisi, dengan memasukan aturan tentang mekanisme penyelidikan dan/atau penyidikan kasus-kasus penyiksaan dilakukan oleh Komnas HAM untuk memastikan proses hukum berlangsung dengan adil. Berdasarkan data yang dihimpun LPSK, sejak 2014 hingga 2020, LPSK telah menerima 118 permohonan perlindungan kasus penyiksaan. Untuk 2020, LPSK telah memberikan perlindungan kepada 41 terlindung dari 14 kasus penyiksaan.
Profesi pelaku penyiksaan terbanyak berasal dari oknum anggota Polisi disusul TNI dan sipir lapas. Praktik penyiksaan yang banyak dilakukan oknum polisi terjadi dalam tahapan pengungkapan pekara yang bertujuan untuk memperoleh pengakuan tersangka. (OL-3)
Apabila terpidana tidak mampu membayar restitusi, jaksa bakal menyampaikan pemberitahuan kepada LPSK.
Hal itu penting dilakukan sebagai upaya menjamin pemenuhan hak restitusi bagi para korban tindak pidana.
LEMBAGA Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyiapkan perlindungan bagi jurnalis media Tempo yang mendapatkan teror pengiriman kepala babi dan bangkai tikus.
Dipaparkan bahwa kerentanan anak laki-laki yang mengalami kekerasan seksual sebesar 32% sedangkan kerentanan anak perempuan 51%.
Hingga kini, baru 4 dari 7 peraturan pelaksana dari UU TPKS yang ditetapkan pemerintah.
Sinergitas pelayanan antar lembaga, dan kebutuhan penanganan yang lebih responsif terhadap korban.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved