Headline
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.
PARTAI politik yang mempunyai peran strategis, justru dinilai semakin pragmatis dan tidak mementingkan nilai ideologis yang diusung.
Sikap pragmatisme partai terlihat dari kaderisasi saat pemilihan kepala daerah (pilkada). Partai cenderung memilih calon dengan modal politik yang kuat saat memberikan dukungan. Pengelolaan partai politik yang lemah secara finansial disebut menjadi penyebabnya.
Fellow Researcher LP3ES sekaligus profesor dari Universitas Amsterdam Werd Berenschot memaparkan hasil riset kolaborasinya terkait alasan yang melatarbelakangi partai politik dalam memilih kandidat. Werd menjelaskan risetnya melihat pola dari koalisi partai politik dalam pemilihan di tingkat lokal.
Baca juga: Istana Tegaskan tak Toleransi Perilaku Rasial
Berdasarkan data yang dikumpulkan pada pilkada sejak 2005 hingga 2014, dari 1.478 pilkada yang dilaksanakan pada periode itu dengan 5.048 koalisi partai politik, terlihat pola bahwa ideologi tidak menjadi pertimbangan yang signifikan oleh partai politik. Terutama saat berkoalisi mencalonkan kepala daerah. Selain itu, partai justru lebih pragmatis atau terkesan mencari mahar politik.
"Ada indikasi pada pilkada dari 2005-2014, partai cenderung mencari mahar politik. Karena sebagian besar koalisi yang dibuat, hanya agar calon memenuhi syarat ambang batas dukungan dari partai politik. Alasannya, calon tidak mau mengeluarkan lebih banyak. Ketika (syarat) ambang batas sudah dipenuhi, calon tidak lagi mencari dukungan," ujar Werd dalam seminar virtual, Selasa (26/1).
Selain itu, petahana cenderung mendapatkan dukungan dari banyak partai politik. Ukuran koalisi besar mengindikasikan partai mencari akses untuk mendapat kekayaan negara atau kontrak proyek. Menurutnya, hal itu terjadi dalam pemilihan tingkat lokal. Sedangkan untuk nasional, seperti pencalonan presiden, partai pengusung cenderung mendapatkan posisi dalam kabinet.
Baca juga: Gerindra dan PKS Sindir PSI Soal Usul Kenaikan Dana Parpol
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai pengelolaan partai politik yang masih lemah secara finansial, membuat para oligarki bisa memanfaatkan partai. Oligarki yang umumnya diisi pebisnis, bukan hanya menjadi pemasok dana bagi partai, namun juga turut memengaruhi kebijakan.
"KPK dilemahkan pada 2019 melalui revisi Undang-Undang (UU). Lalu pada 2020 disahkan Rancangan UU Omnibus Law, yang kental dengan nuansa oligarki," pungkas Firman.
Untuk mengembalikan partai politik pada peran dan fungsi sesuai cita-cita demokrasi, lanjut Firman, diperlukan pembenahan internal partai. Berikut, memperbaiki sistem kaderisasi dan mengkaji ulang sistem pendanaan partai.(OL-11)
WAKIL Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melampaui kewenangan konstitusional karena menetapkan pemisahan pemilu nasional dan lokal
Peneliti BRIN Lili Romli meminta partai politik menyudahi polemik soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan antara pemilihan umum (pemilu) nasional dan lokal
Peneliti BRIN Lili Romli meminta partai politik menyudahi polemik soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan antara pemilihan umum (pemilu) nasional dan lokal
SEJUMLAH partai politik menyatakan penolakannya terhadap Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 soal pemisahan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah atau lokal.
Partisipasi pemilih tidak ditentukan oleh desain pemilu, tetapi oleh kekuatan hubungan antara pemilih dan para kontestan.
PAKAR hukum tata negara Feri Amsari merespons sejumlah partai politik yang bereaksi cukup keras terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan Pemilu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved