Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Partisipasi Pemilih Bisa Lebih Tinggi

Indriyani Astuti
18/12/2020 02:40
Partisipasi Pemilih Bisa Lebih Tinggi
Manajer Program Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad.(MI/BARY FATHAHILAH)

TINGKAT partisipasi warga dalam Pilkada 2020 yang berlangsung di era pandemi covid-19 justru lebih tinggi ketimbang pada pilkada serentak tanpa pandemi lima tahun lalu yang diikuti 69% pemilih. Tahun ini, sekitar 76% pemilih ikut mencoblos pada 9 Desember 2020.

Temuan tersebut disampaikan Manajer Program Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, saat memaparkan hasil survei nasional SMRC, di Jakarta, kemarin. Survei dilakukan dengan metode wawancara per telepon terhadap 1.200 responden yang dipilih secara acak pada 9-12 Desember 2020. Margin of error survei sekitar 2,9%.

Menurut Saidiman, survei terbaru ini meneguhkan kesimpulan bahwa mayoritas warga menganggap memilih pemimpin yang memperoleh mandat dari rakyat menjadi prioritas, meskipun tetap ada kekhawatiran tentang wabah virus korona.

Kekhawatiran tertular korona memang menjadi faktor yang cukup signifi kan. Partisipasi dalam pilkada di kalangan yang mengaku sangat khawatir tertular korona hanyalah 66%, sedangkan partisipasi di kalangan yang kurang/tidak khawatir mencapai 87%.

“Di kalangan mereka yang tidak memilih, sekitar 24% menyatakan tidak memilih karena takut tertular atau menularkan virus korona. Jadi bisa diperkirakan, bila tidak ada ancaman korona, tingkat partisipasi akan lebih besar lagi,” papar Saidiman.

Survei SMRC juga menunjukkan di antara yang tidak memilih, sekitar 47% (11% dari populasi pemilih) beralasan sedang di luar kota.

Saidiman menyatakan ada sejumlah faktor lain yang menyebabkan tingginya tingkat partisipasi warga. “Pertama, mayoritas warga yakin protokol kesehatan dapat ditegakkan dalam pilkada. Kedua, mayoritas warga menilai pilkada berlangsung dengan jujur dan adil sehingga suara mereka bermakna.

Sekitar 85% warga juga optimistis pilkada akan melahirkan pemimpin yang membawa perbaikan di daerah. “Kami duga keyakinan ini punya sumbangan besar untuk mendorong warga berbondongbondong datang ke TPS,” ujar Saidiman.


Calon tunggal

Kendati optimisme pemilih relatif tinggi, fenomena calon tunggal yang terus naik mengusik harapan mendapat kepala daerah paling unggul. Menurut anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, fenomena itu tidak sehat bagi demokrasi di Indonesia. Ia pun heran dalam sistem multipartai yang seharusnya kompetitif justru muncul calon tunggal.

“Calon tunggal terjadi di daerah yang jumlah pemilihnya besar dan di tengah sistem multipartai yang dianut 25 calon tunggal menang tidak ada perlawanan berarti. Isu ini walaupun muncul tapi timbul tenggelam perlu mendapatkan penyelesaian,” papar Titi dalam webinar, kemarin.

Titi menyarankan penghapusan ambang batas pencalonan untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah. Syarat dukungan kursi DPRD 20% atau 25% pemilu DPRD dianggap menghambat hadirnya pesaing dalam pilkada.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengakui calon tunggal di 25 kabupatan/ kota mayoritas meraih suara yang tinggi, bahkan ada yang melebihi 90% berdasarkan data rekapitulasi KPU.

Ia mendorong agar Undang- Undang No 10/2016 tentang Pilkada turut mengatur regulasi lebih komprehensif bagi pihak yang mewakili kotak kosong sebagai lawan calon tunggal. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya