Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Tokoh Beri Teladan, bukan Malah Provokasi

Sri Utami
10/10/2020 04:50
Tokoh Beri Teladan, bukan Malah Provokasi
Polisi mengamankan salah seorang pengunjuk rasa yang diduga provokator saat unjuk rasa di Kota Sorong, Papua Barat, kemarin.(ANTARA/OLHA MULALINDA)

MASYARAKAT memerlukan para tokoh yang mampu memberi contoh yang baik atau teladan, bukan yang malah memprovokasi massa agar menyebar hoaks atau informasi bohong.

Demikian ditegaskan pakar psikologi politik Hamdi Muluk, di Jakarta, kemarin. “Kita berharap tokoh-tokoh ini bersikap seperti negarawan, memberikan contoh-contoh yang baik kepada masyarakat, mementingkan negara dulu. Kalau dia sendiri tukang kompor, ya, repot, apalagi follower-nya banyak, umatnya banyak,” cetus Hamdi.

Menurut Hamdi, provokasi biasanya terkait dengan dua hal utama, yakni hoaks, kemudian dilanjutkan ke teori konspirasi. Berita-berita bohong ini ialah yang paling sering terjadi lebih dahulu untuk digiring ke arah konspirasi.

Ia menuturkan bahwa masyarakat harusnya disadarkan, diajak untuk berpikir cerdas agar tidak cepat percaya hoaks dan tidak cepat percaya teori-teori konspirasi. Sangat penting bagi tiap individu untuk mengecek dulu kebenaran dari berita-berita yang ada karena dengan teknologi sekarang berita bohong bisa dimuat dengan mudah.

“Covid-19 sekarang juga gitu, anjuran pemerintah untuk pakai masker dan jaga jarak mereka malah bilang covid-19 itu tidak ada, konspirasi, akal-akalan Tiongkok dan Yahudi biar kita wajib vaksin, katanya. Kan seperti itu berita yang beredar,” papar Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) itu.

Hamdi lantas menyarankan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Siber, BNPT, polisi, serta badan keamanan lainnya lebih aktif memonitoring. Sebisa mungkin hoaks segera ditangkal meskipun sulit.

Berita-berita hoaks seputar Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) juga masif beredar. Hal itu disinyalir menjadi salah satu pemicu demonstrasi yang kemudian ricuh di berbagai daerah.

Wartawan turut menjadi korban kekerasan dalam unjuk rasa penolakan omnibus law Cipta Kerja yang berakhir rusuh di Jakarta, Kamis (8/10).

Selain beberapa fasilitas umum dirusak pedemo, sejumlah wartawan turut menjadi korban kekerasan. Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono pun menyayangkan kekerasan yang dialami wartawan.

Ia mengaku peristiwa itu terjadi karena kondisi di lapangan yang rusuh dan sulit dikendalikan. Argo menjanjikan kepolisian akan melakukan pendalaman terhadap aparat yang melakukan kekerasan kepada wartawan.

“Memang kita seharusnya menjunjung dan melindungi wartawan, tapi karena situasinya chaos dan anarkistis, anggota juga melindungi dirinya,” kata Argo di Mabes Polri, kemarin.

Barang lama

Peneliti bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fathima Fildzah Izzati mengatakan RUU Ciptaker yang berskema omnibus law bukan barang baru.

“Dulu MP3EI itu sama napasnya dengan RUU Ciptaker. Kenapa jadi kontroversi karena semua aturan dijadikan satu, klaster lingkungan, pendidikan, ketenagakerjaan,” ujarnya dalam diskusi daring, kemarin.

Fathima menilai proses di DPR yang relatif singkat untuk peraturan perundangan yang begitu kompleks menimbulkan permasalahan. Mestinya dalam membuat undang-undang yang berpotensi menimbulkan polemik terlebih dahulu dilakukan dialog.

“Ada ruang yang bisa dilakukan, seperti musrenbang fungsinya mengakomodasi suara-suara bawah untuk membuat kebijakan. Sejak awal kanal-kanal yang ada tidak berfungsi baik,” tandasnya. (Ant/Ykb/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik