Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

Memperkuat Pancasila sebagai Ideologi Bangsa

Mediaindonesia.com
23/7/2020 08:00
Memperkuat Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
(DOK BPIP)

REKTOR Universitas Gadjah Mada (UGM), Panut Mulyono, menilai perlunya lembaga khusus sebagai pembina, pengembangan, dan pembudayaan nilai-nilai Pancasila.

"Pemerintah dan masyarakat harus mendorong tumbuhnya pusat pendidikan dan pembudayaan Pancasila secara kreatif dan dinamis agar kesadaran ber-Pancasila terjaga dari generasi ke generasi," kata Panut dalam diskusi webinar Konteks dan Praksis Pembinaan Ideologi Pancasila, Selasa (21/7).

Ia menilai pentingnya aktualisasi Pancasila dalam kehidupan keseharian. "Untuk mengatasi semua hal tersebut, Pancasila harus betul-betul di manifestasikan jangan sebatas cerita-cerita tekstual semata," tutur Panut.

Baca Juga: Masyarakat Diminta Kritisi RUU BPIP

Ia memandang ada tiga bidang yang harus segera dibenahi dalam hal pembinaan Pancasila. Pertama, terkait pendidikan. Dalam hal ini, Kemendikbud harus secara nyata membangun pendidikan Pancasila di setiap jenjang pendidikan serta semua jalur pendidikan.

Kedua, dalam hal legislasi peraturan perundangan. Baik pemerintah maupun DPR, sejak tahap persiapan hingga ke pembahasan dan persetujuan akhir harus memiliki pemahaman yang sama tentang Pancasila.

Ketiga, dalam hal produk hukum. Panut menilai perlu mendorong paradigma hukum yang progresif. Dengan begitu, nilai-nilai Pancasila dapat terimplementasikan dengan baik.

Baca Juga: BPIP harus Menjadi Lembaga Terdepan dalam Membumikan Pancasila

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Pancasila Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono berpendapat kondisi saat ini sangat mengkhawatirkan berdasarkan berbagai survei terkait dengan Pancasila.

Ia mencontohkan, hasil survei LSI pada 2005 menemukan pendapat publik yang pro-Pancasila berada di angka 85%. Namun, 13 tahun kemudian, pada 2018 terjadi penurunan 10% menjadi hanya 75% yang mendukung Pancasila.

Begitu juga survei yang dilakukan CSIS terhadap generasi milenial, 90,5% tidak setuju Pancasila diganti ideologi lain, tetapi ada 9,5% yang sepakat untuk diganti. "Bahkan, di kalangan ASN yang seharusnya ada di garda depan dalam mengimplementasikan Pancasila dalam tindakannya, ditemukan 19,4% yang tidak setuju dengan Pancasila. Hal ini sangat mengkhawatirkan," ungkap Bayu.

Baca Juga:  Ada Usulan RUU BPIP, DPR tak Lanjutkan RUU HIP

Hal itu terjadi lantaran kesalahan terstruktur dan sistematis akan kekosongan dari model pembinaan Pancasila selama 20 tahun. Penyebabnya karena dihapusnya P4 pada 1998, BP7 dibubarkan pada 1999, dan mata pelajaran Pancasila hilang dari kurikulum pendidikan.

"Kita (terkesan) sengaja membiarkan 'Pancasila berada dalam pasar bebas'. Semua orang bebas menafsirkan secara pribadi Pancasila, tanpa negara mengambil peran dalam pembinaan ideologi Pancasila," tutur Bayu.

Kesadaran akan pentingnya Pancasila disadari pemerintah dengan menerbitkannya Perpres 7 Tahun 2018 tentang BPIP. Pemerintah sangat menyadari pembinaan ideologi Pancasila tidak boleh diserahkan ke pasar bebas dengan berbagai penetrasi informasi khususnya paham- paham eksternal.

Melibatkan masyarakat
Bayu menilai payung hukum yang melandasinya justru menjadi hambatan utama dalam gerak internalisasi dan sosialisasi Pancasila. Perpres dinilai tidak cukup kuat untuk mengoordinasikan lembaga yang sudah diatur UU, baik itu di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

"Dengan (berada) di UU semua bisa berdialog mengatur supaya pembinaan ideologi Pancasila tidak seperti masa lalu," papar Bayu.

Menanggapi urgensi akan landasan UU bagi lembaga pembinaan Pancasila, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun berencana membuat UU bagi BPIP. "Sejak awal kami sudah mendiskusikan dan Komisi II akan mencoba memulai wacana baru ada UU terkait sosialisasi dan pengarusutamaan ideologi pancasila. Kita sepakat memasukkan UU Pembinaan Ideologi Pancasila dan menjadi UU jangka pendek Komisi II DPR untuk dibahas," terang Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ahmad Doli Kurnia.

Ia pun menekankan, pembahasannya harus dilakukan secara inklusif, tidak boleh terbatas pada elite, tetapi melibatkan masyarakat yang concern pada Pancasila. "Sehingga nantinya produk yang dihasilkan bukan sekadar UU yang hanya dipahami elite, melainkan juga dihayati masyarakat," ungkap Ahmad. (Dro/S1-25)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik