Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
DALAM sejarah bangsa Indonesia, Republik ini sudah empat kali mengalami pergantian konstitusi. Meski begitu, dari sekian kali pergantian tersebut mukadimahnya tetap sama alias tidak berubah.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan hal itu saat membuka perayaan Hari Konstitusi di Gedung Nusantara IV Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
“Kenapa mukadimahnya tidak ada yang berubah? Karena mukadimahnya itu dasar dan tujuan. Itu ialah dasar negara dan tujuan kita bernegara. Dasarnya Pancasila, tujuannya negara adil dan makmur melalui proses mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Itu tidak berubah di bangsa kita ini, tidak ada yang berani dan tidak perlu diubah,” jelas Jusuf Kalla.
Sejak Republik Indonesia berdiri memang sudah empat kali berganti konstitusi, yakni UUD 1945, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), UUD Sementara 1950, dan UUD 45 Amendemen. Bahkan, beberapa dari pergantian tersebut mengubah sistem ketatanegaraan dan sistem negara, tetapi mukadimahnya tetap sama.
Jusuf Kalla menerangkan satu-satunya yang berubah ialah bagian tubuh dari konstitusi itu, yakni pasal dan ayat-ayatnya. Ia menerangkan, pada UUD 1945, seluruh pasalnya hanya 37 pasal, tetapi sekarang di UUD amendemen bila dipasalkan semua bisa mencapai 180 pasal meski angkanya tetap di 37 pasal. Pasal-pasal itu berubah karena berisikan tentang struktur negara, struktur bangsa, dan sistem bangsa.
Mengubah konstitusi, katanya, bukan suatu hal yang tabu bagi sebuah bangsa. Sejumlah negara pun seperti India, Thailand, bahkan Amerika pun beberapa kali mengubah konstitusi. “Fondasi dasar Pancasila, NKRI, dan juga tujuan bangsa itu tidak mungkin kita ubah karena di sanalah dasar kita bersatu, tetapi prosedur bisa berubah,” pungkas Jusuf Kalla.
Proses panjang
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan upaya menghidupkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dilakukan dengan pengkajian mendalam. Dokumen perumusan GBHN, kata dia, akan menjadi rekomendasi bagi pimpinan MPR periode 2019-2024. Namun demikian, proses amendemen terbatas itu masih panjang. “Kalau mengubah UUD itu syaratnya berat, tidak seperti UU. Jadi harus 3/4 anggota MPR yang setuju, DPR tambah DPD. Baru bisa diteruskan, jadi masih panjang prosesnya,” tandasnya.
Dia mengatakan perlunya sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN mengingat luasnya negara Indonesia.
Sementara itu, anggota DPR RI Fraksi Golkar, TB Ace Hasan Syadzily, menilai usulan amendemen terbatas untuk menghidupkan kembali GBHN perlu dikaji secara mendalam sebab saat ini Indonesia menggunakan sistem demokrasi presidensial, yakni presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani. (Faj/Uca/Ins/X-4)
Selama 6 tahun berturut-turut Indonesia juga dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia. Data Baznas menyatakan, 62% masyarakat lebih memilih bersedekah melalui masjid.
Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla mengungkapkan polemik empat pulau Aceh harus dijadikan pembelajaran yang baik bagi pemerintah, khususnya para pejabat terkait.
Jusuf Kalla (JK) menilai polemik status empat pulau di Aceh menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan khususnya yang berkaitan dengan Aceh
JK juga mengaitkan polemik tersebut dengan kesepakatan perundingan Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada tahun 2005 silam.
JK mengatakan bahwa penyelesaian polemik Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek itu bukan menjadi ranah dan kewenangan Kementerian Hukum.
Keputusan administratif seperti Keputusan Menteri (Kepmen) tidak dapat membatalkan atau mengubah kedudukan hukum yang telah ditetapkan melalui undang-undang.
PAKAR hukum tata negara Feri Amsari merespons sejumlah partai politik yang bereaksi cukup keras terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan Pemilu.
MK juga mengusulkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah diberi jarak waktu paling singkat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan.
MK mengatakan pemisahan pemilu nasional dan lokal penting dilakukan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih.
Ia mengatakan putusan MK tentang pemisahan Pemilu bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali.
Situasi geopolitik dalam beberapa bulan terakhir berdampak signifikan pada berbagai bidang kehidupan.
Amanah konstitusi UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta ikut mewujudkan perdamaian dunia harus direalisasikan dalam menyikapi konflik dunia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved