Headline

Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.

Hentikan Narasi Delegitimasi Pemilu 2019

Insi Nantika Jelita
15/3/2019 08:10
Hentikan Narasi Delegitimasi Pemilu 2019
(MI/ROMMY PUJIANTO)

BERBAGAI kalangan meminta agar narasi upaya delegitimasi proses ataupun penyelenggara pemilu dihentikan.

Selain berpotensi menyebabkan kekerasan politik, mereka menilai proses penyelenggaraan hingga saat ini sudah cukup transparan.

"Kurang relevan jika ada yang mencoba mendelegitimasi pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu takut selama melakukan transpransi," kata pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, sejauh ini KPU sudah berusaha melakukan transparansi ke publik dalam menyelenggarakan Pemilu 2019. Apabila memang ada kekurangan, tambah Arya, KPU juga diawasi sejumlah lembaga seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Karena itu, publik jangan terlalu cepat makan informasi bohong," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini khawatir apabila narasi delegitimasi terus dilakukan, masyarakat menjadi terbelah yang berpotensi meningkatkan terjadinya kekerasan saat pelaksanaan pemilu.

"Jadi bisa dibayangkan kelindan antara hoaks, fitnah, dan keterbatasan akses informasi sangat mudah memprovokasi masyarakat yang terbelah akibat afeksi dan fanatisme politik berlebihan," ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga menyebutkan, hingga saat masih ada pihak-pihak yang sengaja mendelegitimasi penyelenggara pemilu. Karena itu, pemerintah meminta agar upaya ini dihentikan.

"Saya kira perlu disetop (delegitimasi ke KPU) karena itu sesuatu hal yang mengam-binghitamkan. Yang ada unsur mengambing-hitamkan KPU dan Bawaslu itu sesuatu hal yang tidak tepat," ungkap Tjahjo.

KPU perlu introspeksi
Agak berbeda, Direktur Eksekutif dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Mellaz, mengungkapkan isu delegitimasi terhadap penyelenggara justru berasal dari pihak penyelenggara pemilu itu sendiri, dan bukan dari pihak luar.

Penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, yang kerap menyatakan mendapat delegitimasi yang sengaja dilancarkan kepada pihaknya.

"Sebenarnya yang mau mendeligitimasi pemilu siapa, publik atau KPU? Uang ada di mereka, publik itu hanya jadi penonton, dan kalau bisa jadi penonton yang baik, karena kalau Anda bersuara macam-macam, Anda punya potensi mendelegitimasi", ujarnya.

August berpendapat, selama ini publik hanya mempertanyakan aspek profesionalitas, integritas, dan akuntabilitas kinerja penyelenggara pemilu. Namun, karena tidak mampu dijawab, ada kesan pihak KPU justru  menuding pihak luar mendelegitimasinya. Hal tersebutlah yang menurut August menyebabkan delegitimasi berasal dari pihak penyelenggara pemilu itu sendiri.

"Saya katakan bahwa ini punya potensi mendelegitimasi, padahal kalau kita taruh logikanya, sebenarnya kinerja mereka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itulah yang sebenarnya punya potensi mendelegitimasi pemilu," pungkas August.

Aktivis Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menyarankan agar pihak penyelenggara pemilu lebih meningkatkan kinerja untuk menggugurkan usaha-usaha delegitimasi yang mungkin dilancarkan ke mereka.

"Dengan situasi pemilu yang ketat seperti sekarang, persaingannya begitu sengit, penuh dengan emosi, yang kecil itu pun bisa dibesarkan," ujarnya. (*/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya