Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Kasus Robertus Robet Ancaman Serius Kebebasan Berekspresi

Insi Nantika Jelita
07/3/2019 12:39
Kasus Robertus Robet Ancaman Serius Kebebasan Berekspresi
(MI/MOHAMAD IRFAN )

MASYARAKAT dikejutkan upaya paksa yang dilakukan pihak Kepolisian terhadap Robertus Robet, seorang dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Rabu (6/3), sekitar pukul 23.45 WIB, Robet ditangkap karena diduga mengkritik Tentara Nasional Indonesia pada saat aksi Kamisan, beberapa waktu lalu.

Dirinya dijerat terkait ujaran kebencian dengan tuduhan pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45a ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan / Pasal 14 ayat 2 juncto Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan / atau Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Berdasarkan hal tersebut, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan LBH Pers memiliki catatan atas penetapan tersangka dan upaya paksa yang dilakukan kepolisian terhadap Robertus Robet.

"Tindakan intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan kepolisian seperti yang diterapkan kepada Robertus Robet tanpa mengikuti prosedur yang diterapkan dalam KUHP merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Tindakan ini jelas ditujukan untuk menimbulkan iklim ketakutan kebebasan berekspresi di tengah-tengah masyarakat," ungkap Peniliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga dalam keterangan resminya, Jakarta, Kamis (7/3).

Baca juga: Robertus Robet Dituduh Hina Institusi TNI

Kemudian, ia menambahkan bahwa penjeratan dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait ujaran kebencian sangatlah tidak masuk akal karena yang mendasar adalah Robet melakukannya tidak melalui sistem elektronik namun secara offline.

Lalu, secara subtansi pasal rumusan Pasal 28 ayat 2 UU ITE tersebut memiliki kesamaan norma dengan rumusan dalam KUHP khususnya tentang tindak pidana ujaran kebencian sebagaimana tercantum dalam Pasal 156 KUHP.

Keduanya memiliki syarat kuat bahwa perbuatan ujaran kebencian itu harus bersifat propaganda dan penghasutan bukan sekedar penghinaan atau tuduhan.

"Yang lebih fatal adalah karena baik UU ITE dan KUHP mendasari pidana ini kepada perbuatan berbasis SARA dan atau golongan dalam masyarakat, pejabat pemerintah ataupun lembaga negara tidak masuk dalam kategori ini. Pemaksaan penggunaan pasal ini adalah upaya kriminalisasi pada Robertus Robet," terang Sustira.

Kemudian, penjeratan menggunakan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia juga dinilai Sustira sangat tidak tepat.  

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, MK dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa terkait pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari penguasa. Dengan demikian semestinya jika lembaga kepolisian ataupun TNI yang merasa terhina, seharusnya yang berhak melakukan pengaduan adalah Kapolri atau Panglima TNI sebagai pejabat struktural yang dimandatkan untuk memimpin lembaga tersebut.

Oleh sebab itu, ICJR dan LBH Pers mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk mengikuti aturan perundang-undangan dan memperhatikan hak asasi manusia terkait kebebasan berekspresi.

"Kami juga mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk segera menghentikan kasus saudara Robertus Robet karena telah melanggar hak asasi manusia dan justru mengancam kehidupan berdemokrasi," tandasnya. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya