Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak pengujian kembali Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam pembacaan putusannya, hakim MK menilai gugatan yang diajukan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Sehingga, Ketua MK Anwar Usman mengatakan amar putusan tidak dapat diterima.
Hakim MK I Gede Dewa Palguna mengatakan adanya kerugian yang dikeluhkan oleh pemohon terkait dengan kewenangan penyelenggaraan program pendidikan profesi yang dilakukan perguruan tinggi tidak terdapat di Pasal 15.
Dalam Pasal 15 UU Sisdiknas dinyatakan, “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.”
I Gede mengatakan secara norma a quo sama sekali tidak berbicara tentang kewenangan, melainkan hanya mengatur tentang jenis pendidikan.
"Bagaimana mungkin suatu norma undang-undang yang tidak mengatur tentang kewenangan, dikatakan merugikan hak konstitusional seseorang atau suatu pihak," kata I Gede.
Baca juga: MK: Pelaksana Putusan MK Tidak Boleh Dipidana
Sehingga, dengan pertimbangan tersebut, MK menilai dalil pemohon sama sekali tidak relevan sekaligus tidak koheren, sehingga tidak beralasan menurut hukum.
Selain itu, I Gede menanggapi idealnya pendidikan profesi berada di tangan asosiasi profesi. Hal tersebut sesuai dengan pengujian pasal yang diajukan pemohon dalam Pasal 20 ayat 3 UU Sisdiknas, yang tertulis “Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi”.
Terkait pasal yang diujikan, pemohon menilai terjadi campur-aduk hak dan kewenangan antara perguruan tinggi dan asosiasi profesi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Meski demikian, hakim berkata lain. Mahkamah menilai sama sekali tidak menemukan argumentasi letak pertentangan norma Undang-Undang dengan UUD 1945.
"Sebagai lembaga pendidikan, justru aneh jika perguruan tinggi tidak memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi, apalagi dikatakan bertentangan dengan UUD 1945," kata I Gede.
Adapun mengenai sanksi pidana yang tertulis di Pasal 68 ayat 1 dan 2 yang dikeluhkan pemohon untuk ditinjau ulang, MK menilai hal tersebut tidak diperlukan, karena sanksi untuk menjaga kewibawaan ilmu pengetahuan dan profesi.
"Sekaligus untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban dari penyelenggara pendidikan yang tidak berwenang yang pada titik tertentu justru melahirkan orang-orang yang tidak kapabel yang lebih mengedepankan pencantuman gelar tertentu," ujar Ketua MK Anwar Usman.
Oleh karena itu, MK menilai untuk melindungi masyarakat, pemerintah seharusnya menertibkan pencantuman dan penggunaan gelar-gelar yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan.(OL-5)
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2012-2017 itu menilai, putusan MK relevan dengan kebutuhan demokrasi.
Wamen adalah orang-orang profesional yang tidak dapat bekerja secara multitaksing atau mengerjakan lebih dari satu peran sekaligus.
Kebijakan memberikan rangkap jabatan komisaris BUMN ke para wamen bakal membebani keuangan negara maupun keuangan BUMN itu sendiri.
Pernyataan Puan Maharani soal putusan MK terkait pemisahan pemilu sangat objektif.
REVISI Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dinilai sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri polemik terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Rifqinizamy menjelaskan ada sejumlah hal yang membuat turbulensi konstitusi. Pertama, Pasal 22 E ayat 1 menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved