Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
PRAKTIK politik uang, yang sering dikenal dengan istilah serangan fajar, menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada. Serangan fajar adalah tindakan yang tidak hanya merusak integritas demokrasi, tetapi juga dapat menjadi bibit tindak pidana korupsi, baik bagi pihak pemberi maupun penerima.
Dalam konteks ini, politik uang berperan dalam mempengaruhi pilihan masyarakat, serta melemahkan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, regulasi tegas diterapkan untuk melarang praktik haram ini.
Dikutip dari laman Pusat Edukasi Antikorupsi KPK (ACLC KPK), serangan Fajar adalah istilah populer dari politik uang.
Kebanyakan praktik serangan fajar menyasar swing voter karena partai-partai tak ingin menyia-nyiakan uang hanya untuk pemilih loyal atau inti. Mereka cenderung mendekati pemilih mengambang.
Praktik tersebut seringkali disebut sebagai “klientelisme elektoral” sebagai distribusi imbalan material kepada pemilih saat pemilu saja.
Kapan istilah itu mulai populer?
Istilah serangan fajar berasal dari kalangan militer. Tentara biasanya menyergap dan menguasai daerah target secara mendadak di pagi buta. Karena serangan fajar ini biasanya relatif berhasil, untuk itulah praktik ini diadopsi di pemilihan oleh para caleg atau calon pemimpin culas.
Ada juga yang menyebut istilah ini pertama kali dikenal melalui sebuah judul film propaganda yang menyoroti kekuatan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai tokoh sentral perjuangan bangsa.
Berdasarkan Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bahwa bentuk serangan fajar tidak terbatas pada uang.
Namun, juga dalam bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin, atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di luar ketentuan bahan kampanye yang diperbolehkan sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 dan 6 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2018.
Aturan mengenai bahan kampanye yang diperbolehkan oleh KPU dan bukan termasuk dalam serangan fajar dijelaskan secara rinci pada Pasal 30 ayat 2 yang berbunyi: Bahan kampanye dalam bentuk selebaran/flyer, brosur/leaflet, pamphlet, poster, stiker, pakaian, penutup kepala, alat minum/makan, kalender, kartu nama, pin, dan atau alat tulis.
Adapun pada ayat 6 yang berbunyi: Setiap bahan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dikonversikan dalam bentuk uang nilainya paling tinggi Rp 60.000.
Ada istilah “Mengambil uangnya, belum tentu memilih orangnya”. Argumen ini jamak dilakukan di sebagian masyarakat. Sebagian orang berpikir begitu beralasan ingin memberi efek jera pada pemberi serangan fajar.
Jika menganggap serangan fajar sebagai hal wajar, bahkan menerima dan memilih kandidat yang melakukan politik uang, artinya secara tidak langsung mendukung pemerintahan yang tidak memegang nilai antikorupsi.
Padahal, politik uang seringkali disebut sebagai induk korupsi (mother of corruption).
Namun, masih ada orang-orang yang berintegritas. Mereka dengan tegas menolak praktik politik uang.
Contoh kasus pernah terjadi soal sikap warga menolak serangan fajar. Sikap yang patut ditiru ini terjadi saat Pemilu 2019. Warga di dua dusun di Denggen Timur, Kecamatan Selong, Lombok Timur marah ketika masa kampanye seorang caleg membagi-bagikan uang. Akhirnya, caleg ini dilaporkan lepada petugas pengawas pemilu setempat.
Hal sama juga dilakukan warga Candisari RW 8 Semarang pada Pemilu 2019. Mereka memasang spanduk bertuliskan anti politik uang. Jika masih ada yang nekat berbagi uang atau lainnya, warga akan melaporkannya pada Bawaslu. Sikap tegas menolak serangan fajar tersebut patut diapresiasi.
Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Pada pasal itu dijelaskan bahwa "Setiap individu yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menawarkan atau memberikan uang atau materi lain kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu, sehingga surat suaranya tidak sah, akan dihukum dengan pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000."
Pasal 523 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Dalam pasal ini juga mengatur bahwa "Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menawarkan atau memberikan imbalan uang atau materi lain kepada pemilih, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan dihukum dengan pidana penjara maksimal 4 tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000."
Pasal 523 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Sementara pada pasal ini menyebutkan bahwa "Setiap individu yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menawarkan atau memberikan uang atau materi lain kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu, akan dihukum dengan pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000."
(aclckpk/P-5)
Taiwan menggelar pemilu recall untuk menentukan kendali parlemen.
Menurut Perludem, putusan MK sudah tepat karena sesuai dengan konsep pemilu yang luber dan jurdil, dan disertai dengan penguatan nilai kedaulatan rakyat.
Banyak negara yang meninggalkan e-voting karena sistem digitalisasi dalam proses pencoblosan di bilik suara cenderung dinilai melanggar asas kerahasiaan pemilih
Betty menjelaskan saat ini belum ada pembahasan khusus antara KPU dan semua pemangku kepentingan pemilu terkait e-voting.
Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) sebagai alat bantu penghitungan suara pada Pemilihan 2020 lalu harus diperkuat agar proses rekapitulasi hasil pemilu ke depan lebih akurat
Jimly Asshiddiqie meminta para pejabat dapat membiasakan diri untuk menghormati putusan pengadilan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved