Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Pilkada Serentak Dinilai Membuat Masyarakat Makin Mewajarkan Praktik Politik Uang

Devi Harahap
20/11/2024 14:52
Pilkada Serentak Dinilai Membuat Masyarakat Makin Mewajarkan Praktik Politik Uang
Ilustrasi Pilkada Serentak 2024(Dok.MI)

SEPEKAN lagi pada 27 November mendatang, masyarakat Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak untuk pertama kalinya di seluruh Indonesia. 541 pemimpin baru daerah akan dipilih. Meski dinilai lebih demokratis dan menghemat anggaran negara, sistem pemilihan umum (pemilu dan pilkada) serentak pada era reformasi telah meningkatkan praktik politik uang atau money politic baik di tingkat nasional maupun daerah. 

Direktur lembaga survei Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi sekaligus guru besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Burhanudin Muhtadi mengatakan perhelatan pemilu dan pilkada serentak telah menciptakan kultur masyarakat yang semakin mewajarkan praktik politik uang.  

“Ada tren yang konsisten menunjukkan bahwa pasca-pemilu dan pilkada serentak diadakan sejak tahun 2019, masyarakat makin menganggap bahwa politik uang sebagai suatu yang wajar. Sementara pemilih yang tidak menganggap politik uang itu tidak wajar justru semakin mengalami penurunan,” ujarnya dalam Seminar Nasional ‘Mewujudkan Sistem Pemilu yang Inovatif, Berintegritas, Aspiratif, dan Efisien’ di Jakarta pada Rabu (20/11). 

Burhan menjelaskan dalam penelitian terbarunya, terdapat peningkatan toleransi praktik politik di masyarakat hingga 16 poin sejak pemilu serentak dilakukan pertama kali pada tahun 2019 sampai dengan saat ini. 

“Sebelum pemilu dilakukan secara serentak, pemilih yang menganggap politik uang sebagai hal wajar dalam Pemilu ada di kisaran angka 30-an persen. Peningkatan ini terjadi di semua level provinsi/kabupaten/kota hingga dapil nasional maupun luar negeri tanpa terkecuali,” jelasnya. 

Lebih lanjut, Burhan memaparkan bahwa pada Pilkada 2024, praktik politik uang justru telah dianggap sebagai sesuatu yang diwajarkan oleh pemilih atau menjadi sebuah normalisasi baru. 

“Sehingga ongkos politik semakin mahal, dan jika tidak punya uang, jangan berharap Anda menjadi pejabat publik terpilih,” katanya. 

Tak hanya itu, Burhan menjelaskan bahwa adanya pewajaran politik uang di masyarakat juga berpengaruh pada semakin meningkatkannya efektivitas relasi antara memberikan uang dengan peningkatan perolehan suara. 

“Sejak pemilu serentak dilakukan itu, pemilih jika ditawari politik uang akan terima duitnya dan akan memilih siapa yang memberikannya. Sementara mereka pemilih yang jika ditawari politik uang akan terima duitnya namun tidak akan memilih atau disebut oportunis voters, justru semakin menurun,” ungkapnya. 

Burhan juga menguji secara statistik bahwa pemilu serentak bukan hanya meningkatkan sikap permisif terhadap politik uang dan meningkatkan efek politik uang dalam mempengaruhi pilihan, tapi juga meningkatkan ongkos politik uang.

“Dulu praktik politik uang Rp91.000 hingga Rp100.000 pada saat pemilu dan pilkada diselenggarakan terpisah, dapat mempengaruhi dan menggoyahkan 60 persen pemilih. Namun, setelah pemilu serentak dilakukan justru uang Rp100.000 hanya punya pengaruh terhadap 30 persen pemilih. Jadi artinya saat ini harga pemilih dalam praktik politik uang semakin mahal,” jelasnya. 

Praktik pewajaran terhadap praktik politik uang yang semakin meningkat itu disebabkan karena banyaknya calon yang ada dalam satu waktu pemilihan, akan semakin meningkatkan tawaran politik uang. 

“Pemilu serentak itu meningkatkan politik uang karena dilakukan waktu yang sama, sementara kita tahu bahwa secara total ada ratusan ribu caleg dan calon lainnya di pusat dan daerah. Semakin banyak pemain, maka semakin banyak juga tawaran politik uang,” jelas Burhan. 

Selain itu, Burhan juga menyinggung pemilihan serentak yang menghasilkan banyak calon dalam satu waktu itu juga akan membuat fungsi pengawasan semakin sulit lantaran sumber daya yang kurang baik pada penyelenggara pemilu seperti Bawaslu ataupun pada masyarakat sipil seperti Perludem dan lainnya. 

“Pemilu serentak di saat yang sama, calonnya membludak tapi sumber daya pengawasan yang harus mengatur ini sama sehingga akan fungsi pengawasan tidak berjalan optimal,” tuturnya. 

Politik Uang Masih Jadi Tantangan

Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja, mengatakan politik uang masih menjadi tantangan sekaligus permasalah paling rawan dalam pelaksanaan pilkada serentak 2024. 

“Politik uang dari waktu ke waktu menjadi hal yang paling rawan. Saya harap tim paslon tidak memainkan politik uang dalam kampanye pilkada dan tidak memberikan segala bentuk pemberian yang bersinggungan dengan praktik politik uang karena hulunya kan ini teman-teman,” tuturnya.

Selain mengimbau kepada pihak paslon, Bagja juga meminta agar masyarakat tidak meminta imbalan uang kepada calon pemimpin daerah yang berkampanye. Ia pun mengatakan pelaku baik pemberi maupun penerima atas praktik politik uang dapat dijerat sanksi pidana sesuai dengan payung hukum yang berlaku. 

Dia menyampaikan harapannya agar masyarakat dapat secara sukarela memilih paslon yang diyakini sebagai pilihan terbaik tanpa dipengaruhi politik uang. 

“Karena UU Pilkada jelas menyatakan baik yang memberi dan menerima itu di pidana, jadi kami harapkan semua punya kesadaran yang sama,” ujarnya. (Dev/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya