Sayembara Pilkada

Mi’raj Dodi Kurniawan Kader Cendekiawan Muda ICMI Orda Kabupaten Cianjur
02/11/2020 03:25
Sayembara Pilkada
(Dok. Pribadi)

MESTINYA, atau –memang– kenyataannya, pemilihan kepala daerah (pilkada) ibarat sayembara. Iya, ibaratkan saja demikian. Jadi, bukan sekadar tentang pasangan calon kepala dan calon wakil kepala daerah yang lulus fit and proper test, lantas melenggang ke panggung kontestasi.

Melainkan juga, tentang pasangan calon yang platform (visi, misi, dan program kerja) dan integritasnya dipilih publik alias para pemilih (voters).

Sayembara itu diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Supaya fair play, pelaksanaannya diawasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di daerah masing-masing. Jadi, bukan semata-mata menyelenggarakan. Melainkan, dua komponen tersebut, (KPUD dengan Bawaslu Daerah), juga bertugas memastikan bahwa sayembara pilkada ini berkeadilan. Ringkas kata, terhormat.

Kendati menyelenggarakan dan mengawas sayembara pilkada, tetapi, KPUD dengan Bawaslu Daerah, bukan ‘raja’ alias bukan pemberi takhta. Sebab, penyelenggara alias ‘raja’ yang sebenarnya dalam konteks ini ialah publik (masyarakat) di daerah masing-masing.

Jadi, hakikatnya, pilkada itu diselenggarakan rakyat. Adapun pelaksanaannya di tataran taktis, oleh KPUD dan Bawaslu Daerah. Artinya, KPUD dengan Bawaslu Daerah hanyalah kepanjangan tangan rakyat.

Pertanyaannya kemudian, apakah pilkada tersebut hanyalah sayembara memilih kepala dan wakil kepala daerah? Secara taktis, memang betul. Akan tetapi, di tataran strategis, bukan itu saja. Sebab, tujuan paling mendasar dan substantif di balik penyelenggaraan Pilkada, ialah melahirkan pemimpin (kepala dan wakil kepala daerah) yang memenuhi kebutuhan dan keinginan rakyat.

Pertanyaan lanjutannya, apa saja kebutuhan dan keinginan rakyat itu? Sebenarnya, jawaban hal ini dapat diketahui melalui sensus atau-–setidaktidaknya–- survei.

Namun, secara common sense, tampaknya hal itu berkenaan beberapa hal: terjadinya kehidupan yang rukun, adil, dan makmur di daerah. Secara kuantitatif, hal itu biasa diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM).

Karena, secara kuantitatif, hal-hal abstrak berupa kehidupan yang rukun, adil, dan makmur itu, dalam kadar tertentu, dapat dilihat dalam data IPM di daerah. Dalam IPM, tampak usia harapan hidup dan kesehatan penduduk, daya beli penduduk, dan tingkat pendidikan penduduk di daerah. Memang tidaklah sama dengan. Tapi beberapa variabel IPM tadi kemungkinan besar dan dipercaya sebagai bukti terjadinya kehidupan yang bersatu, rukun, adil, dan makmur di daerah.

Silakan saja, pikirkan dan perhatikan, apakah di daerah yang penduduknya saling gontok-gontokan, bahkan mengalami peperangan itu, terjadi usia harapan hidup dan kesehatan, tingkat daya beli, dan tingkat pendidikan yang tinggi atau tidak?

Apakah di daerah yang penduduknya tidak menjunjung tinggi keadilan, usia harapan hidup dan kesehatan, daya beli, dan tingkat pendidikan penduduknya, tinggi atau tidak? Apakah di daerah yang penduduknya miskin, terjadi usia harapan hidup dan kesehatan, tingkat daya beli, dan tingkat pendidikan yang tinggi atau tidak?

Tentu, baik menurut penerawangan nalar maupun empirik (pengalaman), jawabannya adalah tidak. Justru, sebaliknya, di daerah yang penduduknya hidup rukun, menegakkan keadilan, dan hidup makmurlah, usia harapan hidup dan kesehatan, tingkat daya beli, dan tingkat pendidikan penduduk, tinggi.

Oleh sebab itu, meski tidak identik, akan tetapi tingginya IPM di daerah boleh lah dianggap atau dijadikan parameter untuk mengukur hal-hal abstrak berupa kehidupan yang rukun, adil, dan makmur tadi di daerah.

Dengan demikian, jadikan pilkada sebagai sayembara. Artinya, para pemilih harus sudah menentukan kriteria kepala dan wakil kepala daerah yang dibutuhkan, dan diinginkan terlebih dahulu.

Lantas tentukan, kritera tersebut melekat pada pasangan mana. Dengan kata lain, pasangan kepala dan wakil kepala daerah mana yang mampu meninggikan IPM daerah? Karena, kerukunan, keadilan, dan kemakmuran, abstrak. Bukankah begitu?

Jadikan pilkada sebagai sayembara. Artinya, para pemilih harus sudah menentukan kriteria kepala dan wakil kepala daerah yang dibutuhkan dan diinginkan terlebih dahulu.

Lantas tentukan, kritera tersebut melekat pada pasangan mana. Dengan kata lain, pasangan kepala dan wakil kepala daerah mana yang mampu meninggikan IPM daerah. Karena, kerukunan, keadilan, dan kemakmuran, abstrak. Bukankah begitu?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya