Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Mewujudkan Demokrasi atau Menyelamatkan Jiwa Rakyat

Tuti Khairani Harahap Dosen Administrasi Publik FISIP Universitas Riau, Ketua Bidang Diklat Assosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (ASIAN)
23/10/2020 06:00
Mewujudkan Demokrasi atau Menyelamatkan Jiwa Rakyat
Tuti Khairani Harahap Dosen Administrasi Publik FISIP Universitas Riau, Ketua Bidang Diklat Assosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (ASIAN)(Dok.Pribadi)

PEMILIHAN kepala daerah atau pilkada, ialah satu wujud dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi. Adapun tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan kebijakan desentralisasi ada dua. Pertama, tujuan demokrasi. Dalam hal ini, pemda diposisikan sebagai instrumen pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat daerah atau Lokal, yang secara agregat akan berperan dan memberi kontribusi serta sumbangan pada pendidikan politik secara nasional. Hal itu guna percepatan mewujudkan suatu tatanan Masyarakat Madani yang disebut dengan Civil Society.

Kedua, tujuan kesejahteraan. Hal ini menunjukkan dengan adanya pemda, akan tersedia pelayanan publik untuk masyarakat daerah tersebut atau masyarakat lokal secara baik, efektif, efisien, dan ekonomis, melalui tata kelola pemerintahan yang baik.

Fungsi yang dijalankan Pemda ialah yang bersifat public service functions (fungsi pelayanan masyarakat), developmental functions (perekonomian, perdagangan, dan perindustrian), serta protective functions (ketenteraman dan ketertiban).

Sementara itu, sifat dari pelayanan yang dilakukan pemda ialah regulatory dan provision of goods. Secara filosofis, menurut Kausar AS (2008), keberadaan pemerintah adalah untuk menciptakan law and order (ketenteraman dan ketertiban), dan untuk melaksanakan kesejahteraan, sedangkan perlunya pemerintah daerah (pemda) karena wilayah negara terlalu luas, dan untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis, merupakan konsekuensi logis, bahwa dalam menentukan isi otonominya pemda harus mengacu kepada urusan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakatnya.

Pilkada merupakan hal yang sangat penting dalam mewujudkan demokrasi di negara ini. Namun, di saat pandemi covid-19 menjadi sebuah perdebatan. Hingga saat ini, ada pihak yang menyetujui tetap dilksanakan dan ada pihak yang ingin agar pelaksanaannya ditunda dengan berbagai pertimbangan. Apalagi, saat ini jumlah masyarakat yang positif covid-19 terus bertambah.

Hal ini juga terjadi di Provinsi Riau. Terakhir, kasus covid-19 di Riau bertambah, total hampir 10 ribu kasus sehingga menjadi pilihan yang sulit, di antara mewujudkan demokrasi atau menyelamatkan jiwa rakyat. Pelaksanaan pilkada di Provinsi Riau, terdapat di 9 daerah dan ada 33 pasangan calon kepala daerah yang bertarung, dengan daftar pemilih sementara (DPS) dari KPU Riau hingga 28 September 2020 mencapai 2.450.166 pemilih.

Tentunya, sangat berpotensi terhadap penyebaran covid-19 di Provinsi Riau jika pilkada tetap dilaksanakan 9 Desember 2020 mendatang. Walaupun pemerintah Provinsi Riau mengatakan, telah menyiapkan kemungkinan adanya lonjakan penularan covid-19, yaitu penyediaan fasilitas di rumah sakit.

Karena itu, selama masa kampanye saja, pihak Bawaslu Riau melalui keterangan pers menemukan tiga dugaan pelanggaran selama 10 hari masa kampanye Pilkada 2020. Satu dugaan pelanggaran sudah ditindaklanjuti, dua pelanggaran yang substansial masih didalami. Dugaan yang pertama, yaitu adanya kampanye tanpa menyertakan surat tanda terima pemberitahuan kampanye (STTP), yakni kampanye ilegal terjadi di Kota Dumai. Hasil pengawasan 12 hari kampanye terdapat 449 kali pertemuan, 2 kali dibubarkan.

Belum menjadi pemerintah daerah saja sudah melanggar aturan dan tentunya akan membahayakan masyarakat. Seharusnya calon kepala daerah mampu memjadi model dalam pelaksanaan protokol kesehatan saat pandemi covid-19.

Dugaan yang kedua, yaitu dugaan pelanggaran politik uang di Kabupaten Pelalawan karena adanya laporan. Dugaan yang ketiga, yaitu dugaan penghinaan terhadap salah satu paslon. Bawaslu Riau juga sebelumnya telah menertibkan alat peraga kampanye yang menabrak aturan.

Pelanggaran tersebut terjadi di 9 wilayah yang melaksanakan pilkada. Padahal, KPU telah menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020, serta Nomor 10 Tahun 2020, yang wajib ditaati semua pihak.

Persoalan ini menjadi sangat penting karena menyangkut keselamatan jiwa dari masyarakat yang menjadi taruhannya. Artinya, jika keinginan mewujudkan demokrasi dalam bentuk pelaksanaan pilkada, wajib mempertimbangkan keselamatan jiwa rakyat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik