Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Jalan Menuju Ekonomi Indonesia Digdaya

Fithra Faisal Hastiadi Tenaga Ahli Kantor Komunikasi Kepresidenan
24/6/2025 05:00
Jalan Menuju Ekonomi Indonesia Digdaya
(MI/Seno)

SULIT menjadi Indonesia. Bukan lantaran tak punya sumber daya, melainkan karena harapan selalu membuncah melebihi kapasitas institusi yang mengelola. Dalam setiap badai, kita masih bisa berharap; dalam setiap tantangan, kita masih percaya ada jalan. Tapi selama ini yang terjadi bukan pembangunan untuk Indonesia, melainkan pembangunan di Indonesia. Ekonomi memang tumbuh, tetapi rakyat masih tertatih. Gedung-gedung pencakar langit memang menantang awan, tapi rakyat masih berdiri di lantai dasar menatapnya dalam diam.

Kita sering terjebak pada pertumbuhan yang impresif di atas kertas, tetapi tak cukup inklusif dalam kenyataan. Pertumbuhan yang hebat bukan berarti berkeadilan. Karena membangun ekonomi yang digdaya tanpa membangun rakyat yang berdaya hanyalah pencapaian semu. Maka, ketika pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, banyak yang mengernyitkan dahi. Mungkinkah? Wajar bila ragu, karena sepuluh tahun terakhir kita stagnan di kisaran 5%. Tapi mungkin, justru karena target itu terasa mustahil, kita harus benar-benar berubah. Karena untuk menjebol tembok sejarah, kita tak bisa lagi menapaki jalan lama.

Waktu kita tidak banyak, bonus demografi akan selesai pada 2038. Jika kita gagal memanfaatkan momentum ini dengan pertumbuhan tinggi—minimal rata-rata 6,5%—kita akan tua sebelum sempat kaya. Dan, yang lebih menakutkan: rakyat bisa kehilangan kepercayaan terhadap janji negara. Karena itu, pertumbuhan tinggi harus menjadi panggilan sejarah, bukan sekadar ambisi politik.

Jalan menuju 8% jelas tidak bisa ditempuh dengan konsumsi semata. Industrialisasi adalah jawabannya. Tapi bukan industrialisasi yang hanya mengganti kerikil dengan bijih nikel. Kita perlu lompatan menuju manufaktur berteknologi, sektor padat karya bernilai tambah, dan kawasan industri berbasis keunggulan lokal di luar Jawa.

Industrialisasi di sini bukan cuma membangun pabrik, tapi membangun peradaban produktif: dari riset dan vokasi, hingga logistik dan pembiayaan. Saya menghitung, kita butuh investasi lebih dari Rp10.000 triliun dalam lima tahun ke depan, khususnya di enam sektor strategis: energi, TIK, air bersih, sanitasi, perumahan, dan transportasi. Ini bukan mimpi kosong, angka ini sudah masuk dalam skenario pertumbuhan ideal versi RPJMN.

 

DIBUTUHKAN TEROBOSAN

Pertanyaannya, dari mana dananya? APBN tidak bisa lagi berfungsi sebagai buku kas yang sekadar mencatat pengeluaran rutin. Ia harus berubah menjadi mesin transformasi. Belanja negara perlu diarahkan secara lebih strategis: pendidikan unggulan, kawasan industri, riset terapan, dan infrastruktur yang menciptakan nilai tambah nyata. Tapi kita tahu, fiskal kita terbatas. Ruang ekspansi makin sempit. Maka, dibutuhkan terobosan: bukan menambah utang tanpa arah, tapi dengan merekayasa arsitektur fiskal yang produktif.

Di sinilah Danantara muncul sebagai instrumen baru yang potensial. Terinspirasi dari Khazanah Nasional Malaysia, Temasek Singapura, dan SASAC Tiongkok, Danantara hadir sebagai kendaraan investasi strategis Indonesia. Ini bukan badan biasa. Jika dijalankan dengan benar, ia bisa menjadi katalisator industrialisasi, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi berbasis produktivitas. Setiap kita harus fokus memastikan keberhasilan Danantara, masyarakat aktif mengawasi dan jajaran Danantara bekerja dengan komitmen 200%.

Sejarah bangsa-bangsa besar selalu ditandai oleh satu hal yang sama: kemampuan membangun industri yang kuat. Tak ada negara yang menjadi sejahtera tanpa fondasi manufaktur yang kokoh. Korea Selatan, Jerman, Jepang—semuanya meniti jalan industri untuk keluar dari keterbatasan. Indonesia pun tak kekurangan potensi. Yang masih kita cari ialah keberanian dan keteguhan arah untuk menjadikan industrialisasi sebagai pilihan kebijakan yang konsisten, bukan hanya jargon sesaat.

Kita tak sedang memulai dari nol. Ekosistem dasar sudah ada—dari sumber daya alam, tenaga kerja muda, hingga pasar domestik yang besar. Tapi semua itu belum cukup jika tidak dibentuk menjadi mesin pertumbuhan produktif. Industrialisasi bukan hanya soal membangun pabrik, tapi tentang membangun struktur ekonomi yang tahan banting, berdaya saing global, dan inklusif terhadap tenaga kerja kita sendiri.

Menjadi Indonesia bukanlah perkara kurangnya potensi, melainkan belum terbangunnya kapasitas untuk mengelolanya secara produktif. Kita tumbuh, tetapi belum melompat. Bangunan tinggi berdiri, tapi rantai nilai produksi masih jauh dari tangan sendiri. Inilah paradoks kita: ekonomi tumbuh, tetapi industrialisasi belum terjadi secara menyeluruh.

Di sinilah relevansi Sumitronomics menjadi penting. Ekonomi yang berdaya hanya bisa lahir jika dijalankan dengan prinsip-prinsip dasar: daya saing berbasis produktivitas, efisiensi dalam kebijakan fiskal, dan penguatan institusi. Sumitro Djojohadikusumo pernah berkata bahwa pembangunan tak bisa diserahkan kepada pasar semata, tapi juga tak bisa bergantung penuh kepada negara.

 

KOMBINASI HARMONIS

Harus ada kombinasi harmonis antara kebijakan industri yang progresif, peran negara yang cerdas, dan partisipasi swasta yang aktif. Industrialisasi bukan hanya mesin pertumbuhan, tapi juga alat pemerataan. Ia menciptakan pekerjaan bermutu, menarik rantai pasok dalam negeri, dan meningkatkan posisi tawar Indonesia di panggung global.

Maka, ketika kita bicara pertumbuhan 8%, kita tidak sedang mengejar angka. Kita sedang memperjuangkan masa depan: apakah Indonesia akan menjadi negara yang sekadar besar, atau negara yang benar-benar berdaya. Apakah kita akan membangun ekonomi yang hanya untuk statistik, atau ekonomi yang menciptakan kesejahteraan nyata bagi rakyatnya.

Indonesia tidak punya banyak waktu. Pilihannya hanya dua: berani menempuh jalan baru atau terus berjalan lambat dan tertinggal. Danantara bisa jadi alat, industrialisasi bisa jadi kendaraan, APBN bisa jadi bahan bakar. Tapi tanpa arah yang benar dan tata kelola yang tegas, semuanya akan sia-sia. Seperti kata ungkapan kesohor: ingin mencapai hasil luar biasa dengan cara yang biasa-biasa saja adalah kegilaan. Sudah waktunya kita waras kembali—dan menjemput masa depan dengan langkah yang berani.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik