Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Ironi Bonus Demografi, 1 Orang Produktif di Indonesia Masih 'Gendong' 5-6 Orang tidak Produktif

Ihfa Firdausya
21/7/2025 13:50
Ironi Bonus Demografi, 1 Orang Produktif di Indonesia Masih 'Gendong' 5-6 Orang tidak Produktif
Ilustrasi bonus demografi.(Dok. Freepik)

SEKRETARIS Utama Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Budi Setiyono menyebut saat ini dari sisi statistik, Indonesia mestinya bisa berlari kencang dalam pembangunan dan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Hal itu karena Indonesia sedang mengalami bonus demografi.

Menurutnya, saat bonus demografi, terjadi surplus usia produktif yang sangat tinggi. Angkanya rata-rata 70% dari keseluruhan jumlah penduduk usia produktif. Hal itu diibaratkan di satu keluarga ada 2 orang usia produktif yang hanya menanggung 1 orang tidak produktif.

“Kalau 2 orang bekerja menanggung 1 orang yang tidak bekerja, maka tanggal 30 itu masih ada sisa gajian. Bisa dikumpulkan jadi tabungan, kemudian tabungan itu bisa kita belikan ruko, kebun, atau alat produksi lain sehingga keluarga itu akan cepat mengalami proses akselerasi kesejahteraan karena ada pendapatan kedua, ketiga, dan seterusnya,” papar Budi dalam acara Kick-off Pemutakhiran Pendataan Keluarga (PK) 2025 di Jakarta, Senin (21/7).

Namun, katanya, pada kenyataannya saat ini yang terjadi bukan 2 orang 'menggendong' 1 orang. Namun 1 orang bisa menggendong 5-6 orang yang lain.

Didominasi Sektor Informal

Ia mengatakan angka statistik jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor formal sekitar 41% dan 59% masih berada di sektor informal. Namun, kata Budi, jumlah penduduk yang betul-betul secara produktif bisa diandalkan hanya sekitar 13-15 juta orang yang aktif menyetor SPT tahunan, menurut data dari Ditjen Pajak.

Artinya hanya sekitar 13-15 juta orang yang betul-betul punya daily income yang pasti atau ada kepastian pendapatan. Sedangkan sisa dari jumlah penduduk itu barangkali tidak memiliki kepastian pendapatan sehingga mereka tidak menyetor SPT.

“Kalau kita ibaratkan keluarga bukan 2 orang menggendong 1 orang tetapi 1 orang menggendong 5-6 orang yang lain. Kita bayangkan seandainya dalam 1 keluarga hanya 1 orang yang bekerja, sementara 5-6 orang lain yang tidak bekerja itu betapa beratnya. ini yang terjadi di negara kita,” ujarnya.

“Kalau 1 orang bekerja menggendong 6 orang tidak bekerja, gajian tanggal 1, tanggal 5 itu sudah harus utang koperasi, utang tetangga atau mencari tambahan penghasilan yang di luar penghasilan normal,” imbuhnya.

Hal itu barangkali, kata Budi, menjadi jawaban kenapa Indonesia sampai saat ini utang luar negerinya sangat banyak. Salah satu penyebabnya karena jumlah orang yang diandalkan untuk bisa menghasilkan produktivitas untuk menyokong fiskal jumlahnya bisa jadi kurang dari 50% atau bahkan kurang dari 20%.

“Dengan demikian ibarat keluarga yang tadi tanggal gajian tanggal 1 lalu kemudian harus menanggung 6 orang yang lain yang tidak bekerja tanggal 5, tanggal 10 gajian mereka sudah habis. Begitu pun juga dengan kemampuan fiskal kita,” jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut Budi, di dalam konteks bonus demografi, mestinya negara bisa mendorong paling tidak 80% penduduk harus punya produktivitas yang riil. “Bahkan kalau bisa kita konversi mereka harus bisa menjadi pekerja sektor formal, apa pun definisi pekerja sektor formal itu. Tapi yang jelas mereka harus punya pendapatan yang ril yang juga bisa dikontribusikan untuk kemampuan fiskal kita dan seterusnya,” pungkasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya