Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
SEBULAN lalu, tepatnya 16 Mei 2025 atau menjelang Hari Kebangkitan Nasional, sebanyak 158 guru besar FKUI menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap arah pendidikan kedokteran dan sistem layanan kesehatan Indonesia. Seruan yang digaungkan di Kampus Salemba ini bukan sekadar ekspresi intelektual, melainkan jeritan moral dari para perintis ilmu kedokteran di Indonesia yang mendedikasikan puluhan tahun demi kemajuan ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat.
Keprihatinan ini bahkan dikirimkan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto sebagai bentuk tanggung jawab moral akademisi kepada bangsa. Namun hingga satu bulan berlalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (Menkes Budi) tetap membisu. Tidak ada klarifikasi, apalagi langkah korektif. Ketidakpedulian ini semakin menegaskan jarak antara pengambil kebijakan dan realitas lapangan.
Kesabaran pun mencapai titik kulminasinya. Pada 12 Juni 2025, sebanyak 372 guru besar dari 23 fakultas kedokteran berkumpul kembali di FKUI. Mereka secara terbuka menyatakan ketidakpercayaannya kepada Menkes Budi. Bukan sekadar karena kekecewaan, tetapi karena mereka melihat ancaman serius terhadap mutu pendidikan kedokteran, keselamatan pasien, dan masa depan sistem kesehatan nasional.
Dukungan langsung meluas. Guru besar dari FK Unsyiah, USU, Unand, Unpad, Unhas, UNS, dan berbagai universitas lain ikut bersuara. Ikatan Alumni FKUI mendesak Presiden untuk mengevaluasi hingga mencopot Menkes. Organisasi profesi medis, para dosen, dan mahasiswa turut menyatakan penolakan terbuka. Ini sikap kolektif dari komunitas ilmiah dan praktisi kesehatan.
Publik mengenal Menkes Budi bukan dari latar belakang medis, melainkan dunia keuangan dan perbankan. Beberapa pernyataannya memang sempat viral karena kontroversial, seperti soal ukuran celana jeans dan hubungan antara gaji dan kesehatan. Namun persoalan sesungguhnya jauh lebih dalam: serangkaian kebijakannya bukan hanya gegabah, tetapi berpotensi merusak sistem dan pelayanan kesehatan yang selama ini dijaga oleh komunitas akademik dan profesi medis.
Catatan kinerja Menkes Budi di periode sebelumnya tidak bisa dibilang memuaskan. Dari 15 target nasional bidang kesehatan dalam RPJMN 2020–2024, tujuh gagal dicapai. Di antaranya penurunan prevalensi stunting, eliminasi TBC, cakupan imunisasi dasar, hingga pemenuhan standar tenaga kesehatan di puskesmas. Meski demikian, ia kembali dipercaya menakhodai Kementerian Kesehatan di periode kedua.
Alih-alih membenahi kegagalan tersebut, kebijakan-kebijakan yang digulirkan justru semakin kontroversial dan membahayakan. Salah satu yang paling disorot adalah menjadikan profit sebagai indikator keberhasilan rumah sakit (RS) vertikal yang selama ini menjadi pilar layanan publik. Logika pasar mulai menggantikan logika pengabdian.
Insentif tenaga kesehatan kini ditautkan pada pemasukan rumah sakit. Imbasnya, layanan cenderung akan lebih berpihak pada pasien berbayar. Pasien JKN, yang justru mewakili mayoritas rakyat Indonesia, berisiko dipinggirkan. Semangat pengabdian berubah menjadi tekanan produktivitas. Bahkan, pelatihan dokter umum untuk melakukan tindakan spesialis seperti operasi caesar menandakan bahwa keselamatan pasien telah dikompromikan demi efisiensi semu.
Lebih jauh lagi, sistem pendidikan dokter pun mulai digeser keluar dari institusi akademik. Program pendidikan dokter spesialis tak lagi berada di bawah universitas, melainkan dalam kendali rumah sakit dan birokrasi. Kurikulum disederhanakan, kolegium dipinggirkan, dan pendidikan berubah menjadi pelatihan teknis yang kering dari nilai etik dan pemikiran ilmiah. Ini berbahaya. Karena pendidikan dokter bukan sekadar soal keterampilan, tapi pembentukan karakter dan tanggung jawab moral yang tinggi.
Menkes Budi bahkan mengambil alih pembentukan kolegium, lembaga yang selama ini menjaga standar kompetensi dan etik profesi medis. Kini, kolegium versi Kemenkes justru menciptakan dualisme yang membingungkan. Kurikulum yang digunakan masih memakai rancangan kolegium profesi yang sah, sementara legitimasi administratif dialihkan sepihak kepada lembaga baru bentukan Menkes Budi.
Kondisi ini menciptakan ketidakpastian di ruang pendidikan dan praktik klinis. Tenaga kesehatan baru dibentuk dalam sistem yang tak lagi solid, organisasi profesi dilemahkan, dan nilai etik dikikis perlahan. Menkes Budi bukan melakukan reformasi, tapi deformasi sistem kesehatan nasional.
Gaya kepemimpinan Menkes Budi juga menjadi sorotan tajam. Terlihat otoriter, tertutup terhadap dialog, dan mengedepankan pendekatan satu arah. Kritik dari organisasi profesi kerap dibalas dengan mutasi, pembekuan STR, atau pelabelan sebagai anti-reformasi. Bahkan regulasi strategis seperti UU No. 17/2023 tentang Kesehatan dan PMK No. 3/2025 disusun tanpa melibatkan komunitas akademik secara substansial.
Terakhir, soal biaya uji kompetensi dokter spesialis. Kini, dokter anak misalnya, harus membayar Rp 12,5 juta untuk mengikuti ujian yang digelar kolegium bentukan Kemenkes. Padahal, bila kolegium itu benar-benar lembaga negara, semestinya negara yang menanggung biaya, bukan membebankannya kepada peserta didik. Ini contoh nyata bahwa efisiensi dan logika teknokrasi telah menggantikan prinsip keadilan.
Alih-alih memperkuat Asta Cita Presiden Prabowo yang menjanjikan sistem kesehatan yang adil, inklusif, kolaboratif, dan berbasis keselamatan rakyat, kebijakan, dan gaya kepemimpinan Menkes Budi justru mengarah sebaliknya. Di saat negara kekurangan lebih dari 600 dokter spesialis, baik dasar maupun dengan kompetensi khusus seperti jantung dan kanker, serta mengakui bahwa solusi hanya bisa dicapai melalui kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan pihak swasta, Menkes justru memutus mata rantai kerja sama itu dengan mengambil alih kolegium, melemahkan organisasi profesi, dan mendorong pendidikan dokter di luar universitas.
Bukannya membangun sinergi, Menkes Budi menciptakan dualisme, membungkam kritik dengan ancaman pembekuan STR, dan mengedepankan pelatihan instan sebagai solusi palsu atas krisis tenaga medis. Kebijakan pelatihan kilat dokter umum untuk menggantikan peran spesialis di daerah bukan hanya mempertaruhkan keselamatan pasien, tetapi juga mengingkari komitmen membangun RSUD tipe C di 66 kabupaten/kota yang sebagian besar merupakan daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Ini adalah ironi.
Di tengah kekurangan spesialis yang nyata, justru ekosistem yang menghasilkan dokter berkualitas dihancurkan secara sistematis. Maka tidak heran jika para guru besar, alumni, dan organisasi profesi kini menyuarakan penolakan, bukan demi kepentingan kelompok, melainkan demi mengingatkan bahwa kebijakan Menkes Budi hari ini adalah ancaman langsung terhadap amanat konstitusional dan Asta Cita.
Menkes Budi tampaknya lebih melihat profesi medis sebagai lawan ketimbang mitra. Diskusi diubah menjadi monolog legal-formal, organisasi profesi diposisikan sebagai penghambat, bukan pelindung etik. Ini bukan sekadar soal gaya komunikasi, tetapi strategi sistematis untuk membungkam nalar etik dan suara independen.
Oleh karena itu, mosi tidak percaya kepada Menkes Budi bukan sekadar ekspresi emosional, tetapi langkah rasional untuk menyelamatkan sistem kesehatan nasional. Rumah sakit harus kembali ke ruh pelayanan publik, bukan orientasi laba. Pendidikan dokter harus berbasis etik, keilmuan, dan dedikasi, bukan sekadar target produksi.
Kolegium harus kembali menjadi lembaga ilmiah independen yang mengawal standar, bukan instrumen kekuasaan. Organisasi profesi harus dikuatkan, bukan dilemahkan. Komunitas akademik harus kembali dilibatkan secara bermartabat dalam proses kebijakan.
Gelombang penolakan yang datang dari ratusan guru besar, alumni, mahasiswa, dan profesi kesehatan adalah awal dari kebangkitan moral. Selama kebijakan Menkes Budi tetap menjauh dari semangat konstitusi dan Asta Cita, mosi tidak percaya ini akan terus bergema.
Penurunan angka nasional ini, salah satunya dipengaruhi oleh gencarnya penekanan stunting di Jawa Barat
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan pentingnya untuk mengukur tekanan darah secara rutin.
Kebijakan yang dibuat Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin kerap kali menimbulkan polemik.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa meskipun terjadi peningkatan kasus covid-19, masyarakat diimbau untuk tidak panik.
PP 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang seharusnya menjadi tonggak penguatan sistem kesehatan nasional justru dinilai minim koordinasi antarkementerian dan berpotensi merugikan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved