Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Membaca Papua dalam Api dan Luka: Akankah Harapan Tetap Menyala?

Tian Rahmat Alumnus Filsafat IFTK Ledalero Flores, Pemerhati Isu-Isu Strategis
29/3/2025 17:45
Membaca Papua dalam Api dan Luka:  Akankah Harapan Tetap Menyala?
(Dokpri)

DI ufuk timur Indonesia, di mana cahaya matahari pertama kali menyentuh bumi pertiwi, tanah Papua kembali basah oleh air mata dan darah. Tragedi yang menimpa para guru dan tenaga medis di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, bukan sekadar peristiwa biasa. Ia cermin buram dari luka yang tak kunjung sembuh. Kekerasan demi kekerasan terus terjadi, seolah mengukuhkan narasi bahwa pendidikan dan kemanusiaan di Papua hanyalah impian yang berkali-kali direnggut oleh kebiadaban.

Ketika guru menjadi sasaran, ketika tenaga medis yang datang untuk menyembuhkan justru menjadi korban, di mana letak nurani? Apakah cahaya harapan bagi Papua akan terus dipadamkan oleh ancaman yang menakutkan?

Pendidikan dalam bayang-bayang teror

Kekerasan terhadap tenaga pendidik bukanlah hal baru di Papua. Laporan dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam kajian tahun 2023, Papua’s Education Crisis: Between Conflict and Neglect, menegaskan bahwa serangan terhadap guru dan fasilitas pendidikan di Papua semakin meningkat dalam satu dekade terakhir. 

Guru-guru yang seharusnya membawa secercah ilmu dan harapan bagi generasi muda justru dipaksa memilih antara tetap mengabdi atau meninggalkan daerah konflik demi keselamatan diri.

Dalam kasus serangan di Yahukimo pada 23 Maret 2025, yang menewaskan seorang guru, Rosalina Rerek Sogen, asal Flores NTT, dan melukai beberapa lainnya, kita kembali dihadapkan pada realitas pahit: sekolah-sekolah di Papua bukan lagi tempat menimba ilmu, melainkan arena yang dipenuhi ketakutan. Laporan dari UNICEF Indonesia (2024) bahkan menyebutkan, bahwa akses pendidikan di wilayah konflik Papua mengalami penurunan drastis hingga 40% dalam lima tahun terakhir, terutama di daerah pedalaman.

Bagaimana kita bisa berharap akan masa depan yang cerah jika para guru terus diburu seperti buronan? Jika sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi rumah bagi ilmu malah menjadi sasaran teror?

Negara di persimpangan: antara janji dan realita

Pemerintah kerap menegaskan komitmennya terhadap pembangunan Papua, termasuk di sektor pendidikan dan kesehatan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa janji tersebut masih sebatas retorika. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Jayapura pada 2023 menegaskan, "Pembangunan di Papua tidak boleh terhambat oleh konflik. Guru dan tenaga kesehatan harus mendapat perlindungan maksimal." Sayangnya, perlindungan yang dijanjikan belum sepenuhnya nyata. 

Berdasarkan data dari Lembaga Studi Pertahanan dan Keamanan Nusantara (2024), sekitar 70% tenaga pendidik di wilayah konflik Papua merasa tidak aman dalam menjalankan tugasnya. Sistem pengamanan bagi guru di daerah rawan pun dinilai masih minim dan tidak efektif. 

Ketidakhadiran negara secara konkret dalam memberikan rasa aman bagi pendidik di Papua seakan memperpanjang daftar kelalaian yang telah berlangsung bertahun-tahun. Bagaimana mungkin seorang guru yang tugasnya mencerdaskan bangsa harus menjadi martir dalam konflik yang tak kunjung usai?

Antara perlawanan dan harapan yang menyala

Di tengah gempuran ketakutan, masih ada harapan yang berpendar. Para guru yang tetap bertahan di Papua adalah bukti bahwa ada jiwa-jiwa besar yang menolak tunduk pada teror. Mereka adalah lentera di tengah kegelapan, menolak menyerah demi anak-anak Papua yang berhak atas pendidikan layak.

Namun, mereka tidak bisa berjuang sendiri. Negara harus hadir, bukan sekadar melalui operasi militer yang menambah ketegangan, melainkan melalui kebijakan yang benar-benar berpihak pada pendidikan dan keselamatan para pengabdi ilmu di Papua.

John Dewey, seorang filsuf dan pemikir pendidikan, dalam bukunya Democracy and Education (1916), menegaskan, "Masyarakat yang tidak melindungi para pendidiknya sedang menghancurkan dirinya sendiri dari dalam. Pendidikan adalah alat utama demokrasi, dan tanpa perlindungan bagi mereka yang mendidik, sebuah bangsa akan kehilangan fondasi moral dan intelektualnya."

Papua tidak boleh terus-menerus menjadi tanah air yang menelan anak-anak terbaiknya. Tragedi di Yahukimo bukan sekadar berita yang berlalu begitu saja. Ia adalah panggilan bagi kita semua untuk bertanya: sampai kapan pendidikan di Papua akan terus menjadi korban? Sampai kapan para pengabdi ilmu harus mempertaruhkan nyawa mereka?

Harapan bagi Papua tidak boleh padam. Tetapi, ia butuh lebih dari sekadar janji. Ia butuh tindakan nyata sekarang juga.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya