Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pendidikan Bermutu dan Kesejahteraan Guru

Susan Sovia Supervisor Sekolah Sukma Bangsa Sigi
02/12/2024 05:10
Pendidikan Bermutu dan Kesejahteraan Guru
(Dok. Pribadi)

PENDIDIKAN bermutu adalah fondasi utama dalam menciptakan sumber daya manusia yang cerdas, berkarakter, dan kreatif. Pendidikan berkualitas tidak hanya ditentukan oleh fasilitas atau kurikulum, tetapi juga kesetaraan akses bagi semua warga negara. Sayangnya, berdasarkan data Bappenas (2022), lebih dari 4 juta anak Indonesia masih belum dapat bersekolah, mencerminkan tantangan besar dalam mewujudkan pendidikan bermutu yang inklusif.

Selain itu, pendidikan bermutu harus menghasilkan individu yang memiliki integritas, keterampilan, dan kecerdasan emosional. Hal ini hanya dapat tercapai jika proses pembelajaran difasilitasi oleh guru berkualitas yang tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga mampu membimbing siswa mengembangkan potensi mereka secara optimal.

 

Peran guru dalam pendidikan berkualitas

Guru memegang peranan kunci dalam menciptakan pendidikan yang bermutu. Tidak hanya menyampaikan materi, guru berfungsi sebagai inspirator, motivator, dan pembentuk karakter peserta didik. Seperti yang diungkapkan Tilaar (2004), guru yang bermutu bukan hanya ahli dalam pedagogi, tetapi juga mampu menanamkan nilai moral dan membangun semangat belajar siswa.

Pendidikan bermutu mencakup tiga aspek utama: input, proses, dan output. Input melibatkan kesiapan siswa, kompetensi guru, serta sarana prasarana. Proses mengacu pada pengelolaan kurikulum, metode pembelajaran, dan manajemen kelas. Adapun output adalah hasil belajar yang mencakup prestasi akademik, keterampilan, hingga moralitas siswa (Zainal Panani, 2024). Pendidikan seperti ini diharapkan menghasilkan individu yang dapat mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal dalam kehidupan sehari-hari (Hari Sudrajat, 2005).

Namun, hak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas yang dijamin Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 5 ayat 1 belum sepenuhnya terwujud. Data menunjukkan adanya kesenjangan besar: pada 2021 sebanyak 3.939.869 anak tidak bersekolah, dan jumlah itu meningkat menjadi 4.087.288 anak pada 2022 (Media Indonesia).

Di samping itu, hampir seperempat dari 46 juta remaja usia 15–19 tahun tidak melanjutkan sekolah, tidak bekerja, atau tidak mengikuti pelatihan (UNICEF Indonesia). Kondisi ini tidak hanya mencerminkan ketimpangan akses, tetapi juga menghilangkan peluang bagi anak-anak untuk mengembangkan potensi dan bakat mereka.

Tantangan ini semakin berat karena guru sering kali menghadapi beban administrasi yang tinggi, keterbatasan fasilitas, dan kurangnya dukungan profesional. Untuk mengatasinya, pemerintah melalui program seperti Guru Penggerak dan pelatihan berbasis kompetensi berupaya meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru.

Dampak dari guru berkualitas dapat terlihat pada kisah seorang siswa dari Sulawesi Tengah. Dengan bimbingan seorang guru di SMA Sukma Bangsa Sigi, siswa tersebut mampu mengatasi ketertinggalan dan mencapai cita-citanya menjadi seorang akuntan. Kisah ini menjadi contoh nyata bahwa guru yang bermutu tidak hanya mampu mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk masa depan generasi muda.

 

Tantangan dalam kesejahteraan guru

Kesejahteraan para guru, baik finansial, profesional, maupun psikologis, menjadi isu penting yang memengaruhi kinerja mereka. Survei yang dilakukan Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS, 2024) menunjukkan bahwa 74% guru honorer berpenghasilan di bawah Rp2 juta per bulan. Bahkan, 20,5% berpenghasilan kurang dari Rp500 ribu.

Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan UNESCO yang gencar mengampanyekan kesejahteraan guru melalui Recommendation Concerning the Status of Teachers sejak 1966, yang menekankan pentingnya hak-hak guru termasuk gaji yang sesuai, pengembangan profesional, dan perlindungan kerja.

Kesejahteraan profesional dalam bentuk kesempatan bagi guru untuk mengembangkan karier, mengikuti pelatihan, dan bekerja dalam lingkungan yang mendukung belum sepenuhnya merata. Guru yang telah tesertifikasi memang menerima tunjangan profesi, tetapi masih terdapat ketimpangan antarwilayah. Guru di daerah terpencil kerap menghadapi kendala, seperti rendahnya gaji, minimnya akses, dan fasilitas yang tidak memadai. Sebaliknya, guru di perkotaan lebih mudah mendapatkan akses ke berbagai pelatihan. Meski pemerintah telah meluncurkan Program Guru Penggerak dan pelatihan berbasis kompetensi untuk meningkatkan profesionalisme guru, program tersebut belum dirasakan secara merata di seluruh wilayah.

Kesejahteraan psikologis guru juga merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan karena berkaitan dengan kesehatan mental. Guru dengan kondisi mental yang baik dapat bekerja secara produktif, fokus, mengelola emosi dengan baik, dan menghadapi stres secara positif.

Menurut Dewi Zahara dan Yudi T Harsono (2023), kesejahteraan psikologis adalah kondisi di mana seseorang mampu menerima diri, menjalin hubungan sosial, mandiri, mengelola lingkungannya, mencapai tujuan hidup, dan mengaktualisasikan potensi diri. Namun, guru saat ini sering dihadapkan pada tuntutan administratif, beban kerja yang berat, serta beragam karakter siswa, yang dapat menyebabkan burnout atau kelelahan emosional. Kondisi ini tentu berdampak negatif pada kinerja mereka.

 

Strategi meningkatkan kesejahteraan guru

Untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi guru, diperlukan langkah-langkah strategis yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka secara menyeluruh. Salah satunya ialah memberikan kesempatan kepada guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang D-4 atau S-1 sehingga kualifikasi akademik mereka terus meningkat.

Selain itu, pelatihan berkelanjutan menjadi kunci dalam mengembangkan kompetensi guru, baik dalam bidang pedagogi, kepemimpinan, maupun konseling. Bahkan, kemampuan yang relevan dengan era digital, seperti computational thinking, juga perlu menjadi bagian dari pelatihan itu.

Di sisi lain, jaminan keamanan kerja dan tunjangan yang layak harus menjadi prioritas. Sertifikasi profesi tidak cukup hanya diberikan, tetapi juga harus diiringi dengan perlindungan yang memadai untuk menjamin kesejahteraan guru secara nyata. Langkah strategis lainnya ialah mempercepat penyelesaian RUU Sisdiknas, yang diharapkan dapat mengatur kebijakan menyeluruh dan berkelanjutan untuk mendukung guru di seluruh Indonesia.

Sekolah Sukma Bangsa memberikan contoh konkret dalam penerapan strategi ini. Berbagai pelatihan inovatif, seperti belajar coding tanpa komputer dan pelatihan manajemen konflik, telah diinisiasi untuk meningkatkan kemampuan para guru. Tidak hanya berdampak pada kompetensi individu, program-program ini juga menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif bagi siswa, menunjukkan bahwa kesejahteraan guru sejatinya berhubungan erat dengan kualitas pendidikan yang dihasilkan.

Guru yang bermutu dan sejahtera adalah kunci untuk mewujudkan pendidikan berkualitas. Dengan perhatian pada kesejahteraan finansial, profesional, dan psikologis, guru dapat lebih fokus menjalankan peran strategis mereka.

Melalui kebijakan yang konsisten, pengawasan berkelanjutan, dan kolaborasi semua pihak, pendidikan bermutu yang adil dan merata dapat tercapai, menjadikan Indonesia lebih maju dan berdaya saing.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya