Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
KOMPETISI kontrol transnasional terhadap mineral kritis (critical mineral) kian memanas dengan bertumbuhnya sentimen energi hijau dan digitalisasi. Raksasa industri dari Global North--Tiongkok, AS, dan Eropa--menguasai teknologi, sementara SDA terkonsentrasi di Global South. Potensi kemakmuran dunia promosi 'praktik neo-liberalism' terbentur dengan nasionalisme SDA Global South yang berupaya naik kelas menjadi negara maju.
Dari perspektif Indonesia, pertarungan para raksasa itu cekal asa industrialisasi mineral kritis dan SDA lainnya, sirnakan ambisi transisi energi hijau karena terpaksa puas dengan hilirisasi saja. Lantas, bagaimana cara mendukung kemakmuran dunia dan kemajuan yang berimbang?
Indonesia belakangan jadi ujung tombak transisi energi hijau disokong oleh tingginya minat akan teknologi dekarbonisasi, terutama kendaraan listrik (EV) dan energi terbarukan. Nikel, tembaga, dan timah vital peranannya dalam ekspansi produksi baterai lithium-ion, jaringan listrik, dan berbagai komponen elektronik.
Meski menguasai 42% cadangan nikel berkualitas tinggi dunia serta mineral kritis lainnya, industrialisasi sektor ini di Indonesia masih tertahan. Walaupun ada keuntungan dari nasionalisasi dan pembangunan smelter, Indonesia hanya menghasilkan produk setengah jadi dan pasar utamanya hanya Tiongkok. Dengan 90% smelter didanai oleh Tiongkok, ketergantungan itu jadi titik lemah yang belenggu potensi keuntungan dan penurunan harga nikel membuat operasinya merugi.
Hindari gaya OPEC+
Menentang monopolisasi mineral kritis Global North dan Tiongkok, Indonesia berupaya membentuk institusi ala OPEC+, mungkin dengan dukungan Rusia. Strategi itu santer diviralkan Presiden Jokowi dan Menteri BKPM Bahlil Lahadalia dalam KTT G-7 dan G-20. Namun, langkah itu berisiko memicu boikot dari AS/Barat yang menudingnya sebagai kartelisasi rantai pasok.
Sejarah OPEC+ telah menunjukkan bahwa kartel semacam itu rentan terhadap konflik kepentingan dan intervensi eksternal jika ingin sukses upaya renaissance mineral ini perlu disesuaikan dengan karakteristik pasar komoditas.
Adapun persepsi positif terhadap OPEC+ sebagai kartel migas pengendali pasar/krisis minyak 1970-an kini semakin usang. Kontrol OPEC+ melemah karena dua faktor utama: pertama, hambatan teknis dan finansial dalam regulasi ekspansi/reduksi kuota produksi secara spontan dan inkosisten.
Fluktuasi kuota produksi menghambat skema investasi finansial jangka panjang dan pengembangan kapasitas cadangan migas berkelanjutan sehingga akibatnya arah regulasi kacau dan mekanisme kontrol harga tidak tercapai dalam jangka pendek dan panjang. Selain itu, kapasitas cadangan berlebih justru meningkatkan risiko intervensi politik dan revolusi, terutama di kawasan Timur Tengah yang rawan instabilitas.
Kedua, kolusi dan insidipliner member OPEC+. Manipulasi kuota dan ekspansi produksi ilegal marak untuk kepentingan finansial dan dominasi regional, terutama antarnegara Timur Tengah yang ekonominya belum terdiversifikasi. Kurangnya kerangka regulasi dan sanksi serta ketiadaan sistem pemantauan menyebabkan rendahnya kepatuhan tehadap alokasi kuota produksi dengan tingkat kepatuhan hanya 29% menurut CATO Institute.
Kelemahan teknis itu menjadikan OPEC+ sebagai model yang tidak sempurna. Model kooperasi eksklusif seperti OPEC+ justru mempertajam polarisasi global dan menghambat koordinasi perdagangan berkelanjutan. Praktik monopolistik itu tidak hanya memicu konfrontasi diplomatik ekstrem, tetapi juga berpotensi mengisolasi sektor industri mineral kritis Indonesia, khususnya nikel, jika diterapkan.
Nasionalisme SDA proporsional
Dalam konteks nasionalisme SDA untuk membentengi sektor mineral kritis, Indonesia harus fleksibel. Belajar dari kebijakan larangan ekspor bauksit 2014, upaya proteksi berlebihan justru hambat foreign direct investment (FDI) masuk dan paksa asing danai pemasok lain (Republik Guinea) dan ciptakan produk alternatif tanpa bauksit.
Betul Indonesia untung besar dari hilirisasi Nikel bantuan Tiongkok. Namun, kalau ingin berdaulat ekonomi dan energi jangka panjang, visi keberlanjutan lingkungan harus jadi prioritas selanjutnya. Nikel memang kunci dekarbonisasi, tapi overeksploitasi dan standar smelter rendah justru menciptakan paradoks hijau--merusak lingkungan atas nama energi bersih.
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mencatat setidaknya 3.331 hektare lahan terdeforestasi hanya di Halmahera dan berkontribusi pada emisi 2,04 juta ton gas rumah kaca. Skala kerusakan itu jauh lebih besar jika dilihat secara nasional. Selain itu, pencemaran ekosistem dan kualitas air akibat manajemen limbah tambang yang sembarangan juga marak. Akibatnya, hal itu mengancam ketahanan pangan dan menimbulkan masalah kesehatan penduduk lokal. Kelonggaran standar lingkungan dimanfaatkan oleh konsorsium Tiongkok untuk menekan biaya produksi dan menghilangkan pesaing.
Di sinilah pentingnya diversifikasi mitra investasi sebagai 'polisi lingkungan alami' untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan dalam mematuhi standar lingkungan. Perusahaan AS/Barat dan Rusia memiliki standar environmental, social, and governance (ESG) yang lebih ketat dengan sistem yang transparan dan tebuka pada peluang audit eksternal independen terhadap peforma lingkungan mereka. Keterlibatan mereka menciptakan persaingan pasar yang lebih sehat dan memastikan mekanisme monitoring yang terkontrol dan akuntabel.
BRICS+ sebagai alternatif
Langkah diversifikasi mitra investasi itu juga krusial untuk lepaskan diri dari ketergantungan pada instrumen finansial Tiongkok, yang rentan jadi subjek sanksi AS/Barat. Hal itu memperluas akses ke pasar modal internasional dan alih teknologi/pengetahuan jangka panjang dengan Global North.
Lebih lanjut langkah itu juga mesti ditopang dengan kooperasi transnasional inklusif seperti BRICS+ yang berfungsi sebagai jembatan persahabatan dan bisnis. Kerangka regulasi perdagangan dan jaringan produsen-konsumen yang terintegrasi dalam BRICS+ dapat memastikan stabilitas rantai pasok hulu-hilir serta mempercepat perdagangan antar anggota. Dengan demikian, pemanfaatan peranan BRICS+ lebih efisien ketimbang menginisiasi kooperasi serupa ala OPEC+ dari nol.
Belajar dari kesalahan OPEC+, kebijakan kuota produksi serupa untuk mineral kritis dalam BRICS+ dapat diterapkan untuk mengontrol pasar dan mencegah overeksploitasi, tetapi periode penyesuaian kuota diperpanjang menjadi dua tahun, memberi kesempatan bagi industri untuk menyesuaikan kapasitas teknis dan finansial. Dengan melibatkan konsumen dalam penentuan kebijakan, itu akan membuat proyeksi arah kebijakan berimbang/nonmonopolistik dan saling menguntungkan.
Jika serius ingin maksimalkan potensi nilai tambah mineral kritis melalui BRICS+, Presiden Prabowo Subianto harus memperkuat mekanisme penegakan alokasi produksi yang transparan dengan sistem pemantauan kuota dan regulasi yang ketat.
Penerapan sanksi tegas bagi pelanggar dan insentif bagi yang patuh akan stabilitas pasar dapat meningkatkan kepercayaan investor jangka panjang. Kepastian hukum dan stabilitas politik ialah kunci untuk keberlanjutan industrialisasi mineral kritis Indonesia dan akselerasi transisi energi hijau serta kemakmuran global.
Presiden Prabowo Subianto memberikan apresiasi kepada seluruh lembaga negara atas dedikasi mereka dalam mengawal ideologi, menjaga demokrasi, dan mendukung jalannya pemerintahan.
PRESIDEN RI Prabowo Subianto bertekad menertibkan 1.063 tambang ilegal di berbagai wilayah Indonesia. Potensi kekayaan negara dari aktivitas ilegal tersebut mencapai Rp300 triliun.
PRESIDEN Prabowo Subianto menegaskan bakal menindak tegas siapa pun yang melindungi tambang ilegal, termasuk jenderal aktif maupun purnawirawan dari TNI dan Polri.
PRESIDEN Prabowo Subianto menyampaikan pengantar Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2026 beserta Nota Keuangan
Ketua DPR RI Puan Maharani sependapat dengan Presiden Prabowo Subianto terkait penghapusan bonus atau tantiem bagi komisaris dan direksi BUMN
Presiden Prabowo Subianto dan pimpinan Partai Gerindra juga telah memberikan teguran keras kepada Sudewo atas kebijakan yang dianggap memberatkan masyarakat tersebut.
Indonesia dipandang perlu menyeimbangkan ketahanan domestik dengan diplomasi proaktif.
Kemenko Polkam menegaskan pentingnya merawat kerukunan antar umat beragama guna terciptanya stabilitas politik dan keamanan di tengah ancaman tantangan geopolitik.
Langkah awal meredakan konflik Iran–Israel melalui Confidence-Building Measures (CBM) untuk mengurangi ketegangan dan membangun kepercayaan bersama.
DIASPORA Indonesia yang tersebar di mancanegara ikut menyoroti wacana Indonesia emas 2045 di tengah tantangan geopolitik yang sedang berkobar di belahan dunia.
KETEGANGAN geopolitik di Timur Tengah, khususnya konflik antara Israel dan Iran serta potensi penutupan Selat Hormuz, menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia.
SITUASI geopolitik yang memanas antara Iran dan Israel dinilai masih akan mempengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pekan ini.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved