Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Refleksi 79 Tahun Indonesia Merdeka: Pendidikan yang Terlupakan

MAHYUDIN Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma
26/8/2024 05:10
Refleksi 79 Tahun Indonesia Merdeka: Pendidikan yang Terlupakan
(Dok. Pribadi)

SUDAH 79 tahun Indonesia merdeka dengan sumber daya alam yang melimpah dan potensi besar untuk menjadi kekuatan ekonomi global. Namun, hingga saat ini kita masih terlilit utang dan masih belum mampu menjadi kiblat ekonomi, bahkan di tingkat Asia Tenggara. 

Singapura, Thailand, dan bahkan Vietnam yang baru bangkit belakangan telah melampaui kita dalam banyak aspek. Apa yang menjadi penyebabnya? Jawabannya sederhana, tapi mendalam: kita abai pada pendidikan.

Sejak kemerdekaan pada 1945, Indonesia sebenarnya memiliki tiga momentum penting yang seharusnya dapat menjadi landasan kuat untuk membangun bangsa yang lebih maju melalui pendidikan. Namun, sayangnya ketiga momentum tersebut tidak pernah benar-benar difokuskan pada perbaikan pendidikan yang berkelanjutan.

Baca juga : Orang Muda dan Bina Damai di Era Digital

 

Kemerdekaan 1945

Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, ada kesempatan besar untuk membangun sistem pendidikan yang solid. Namun, fokus awal pemerintah lebih pada mempertahankan kemerdekaan dan stabilitas politik sehingga pendidikan belum menjadi prioritas. Hal itu menyebabkan perkembangan pendidikan lambat dan tidak merata, terutama di daerah tertinggal. Meskipun Presiden Soekarno meluncurkan program pemberantasan buta aksara pada 14 Maret 1948, upaya tersebut terbentur oleh situasi politik dan ekonomi yang tidak stabil.

Baca juga : Mendampingi Generasi Stroberi

 

Orde Baru dan melimpahnya minyak

Pada 1966, awal era Orde Baru memberi Indonesia kesempatan kedua. Penemuan cadangan minyak besar pada 1970-an seharusnya menjadi modal signifikan untuk investasi di sektor pendidikan. Memang ada usaha untuk memajukan pendidikan melalui program wajib belajar enam tahun yang kemudian diperluas menjadi sembilan tahun serta pembangunan Sekolah Dasar Inpres di berbagai daerah. Namun, hasilnya belum sesuai harapan.

Baca juga : Imagined School

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa sekitar 28,8% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas hanya memiliki ijazah SMP sebagai jenjang pendidikan tertinggi. Itu menunjukkan bahwa meskipun ada upaya, pendidikan Indonesia belum sepenuhnya menjangkau seluruh masyarakat. Jika pada saat itu pemerintah Orde Baru mengintegrasikan prinsip 'dukungan bagi guru dan siswa' dengan memanfaatkan dana minyak yang melimpah, tidak hanya membangun SD Inpres, sistem pendidikan Indonesia bisa lebih kuat dan inklusif.

 

Reformasi 1998

Baca juga : Manajemen Sekolah Penghalau Ekstremisme Kekerasan

Reformasi 1998 membawa harapan baru dengan munculnya era demokrasi. Namun, sekali lagi, momen tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal untuk memperbaiki pendidikan. Pemerintah hasil reformasi lebih banyak berkutat pada urusan politik kekuasaan daripada fokus pada pembangunan bangsa, khususnya di bidang pendidikan. 

Kurikulum pendidikan sering berganti, tetapi perubahan tersebut lebih bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar permasalahan yang ada. Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sejak reformasi hingga 2023, Indonesia telah mengalami lima kali perubahan kurikulum. 

Pada awal reformasi, Kurikulum 1994 masih digunakan, yang dianggap terlalu padat dan berat. Pada 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diperkenalkan untuk fokus pada pengembangan kompetensi siswa, tetapu pelaksanaannya menemui banyak tantangan.

KBK digantikan oleh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada 2006, memberikan otonomi lebih besar pada sekolah meski membutuhkan dukungan tambahan. Pada 2013, Kurikulum 2013 (K-13) diperkenalkan, mengintegrasikan pendidikan karakter dengan mata pelajaran dan memperkenalkan penilaian lebih komprehensif. Namun, pelaksanaannya juga menghadapi revisi dan penundaan. Pada 2021, Kurikulum Merdeka diperkenalkan untuk memberikan fleksibilitas lebih besar serta fokus pada pengembangan kompetensi siswa dan pemanfaatan teknologi.

 

Ubah sistem pendidikan nasional

Perubahan kurikulum terlihat seperti mencerminkan upaya pemerintah dalam memperbaiki pendidikan di Indonesia, padahal tidak. Karena kurikulum hanya bagian kecil dari tata kelola pendidikan di Indonesia; karena masalah pendidikan di Indonesia bukanlah masalah kurikulum. Masalahnya lebih subsantif dari itu, yaitu sistem pendidikan yang satu. 

Dalam sejarah pendidikan Indonesia, Indonesia pernah memiliki UUD Nomor 2 Tahun 1989 yang digantikan UU Sisdiknas 2003 dengan sejumlah perubahan penting. Pertama, penekanan pada akses pendidikan yang merata dan inklusif sesuai dengan panduan UNESCO tentang tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs); 

Kedua, kualitas pengajaran dan pembelajaran. Laporan-laporan PISA menyoroti pentingnya kualitas guru, kurikulum yang relevan, dan metode pembelajaran yang efektif untuk mencapai hasil pendidikan yang tinggi (PISA, 2018)Ketiga, penilaian dan evaluasi yang adil. Menurut Binkley M et al (2012), dalam Assessment and Teaching of 21st Century Skills (ATC21S), pentingnya penilaian berbasis kompetensi dan penilaian yang adil untuk mengukur penguasaan keterampilan abad ke-21.

Keempat, infrastruktur dan sumber daya yang memadai. World Bank menyoroti pentingnya infrastruktur pendidikan yang memadai untuk mencapai hasil belajar yang optimal, terutama di negara berkembang (World Bank, 2018). Kelima, dukungan bagi guru dan siswa.

Keenam, pendidikan karakter dan keterampilan hidup. Ketujuh, keterlibatan orangtua dan masyarakat. Penelitian yang dilakukan Epstein JL (2011) menunjukkan pentingnya partisipasi orangtua dalam pendidikan anak-anak mereka untuk mencapai hasil yang lebih baik. Kedelapan, keberlanjutan dan inovasi. Kesembilan, kepemimpinan yang efektif. Terakhir, pendanaan yang cukup dan berkelanjutan.

Apakah 10 prinsip dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sudah diterapkan secara efektif? Bagaimana dengan madrasah yang dikelola secara sentralistik oleh Kementerian Agamaapakah itu termasuk pendidikan atau agama? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah madrasah perlu dikelola secara sentralistik atau desentralistik. 

Selain itu, peran orangtua yang kini terbatas pada komite sekolah, yang sering hanya menyetujui laporan keuangan tanpa terlibat dalam perencanaan, juga menjadi perhatian. Sistem bantuan operasional sekolah (BOS) yang ada sekarang menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi sekolah dengan jumlah murid sedikit dan sekolah swasta, termasuk madrasah, serta memicu persaingan antarsekolah untuk mendapatkan lebih banyak siswa demi dana BOS yang lebih besar. Itu hanyalah sebagian dari berbagai masalah pendidikan yang ada, bukan hanya soal kurikulum yang sering berubah.

Kemendikbud-Ristek pernah mengusulkan perubahan UU Sisdiknas, tapi ditolak karena perubahannya tidak substanstif. Perubahan lebih mengarahkan pada penggunaan kurikulum yang saat ini sedang dikembangkan dan akan diterapkan secara nasional. Padahal, UU Sisdiknas seharusnya bukn hanya kurikulum. Dia lebih dari itu. Kurikulum hanya tata kelola persekolahan. UU Sisdiknas harus melingkupi sistem pendidikan. 79 tahun merdeka harus jadi momentum untuk memperbaiki pendidkan kita, dimulai dengan mengubah UU Sisdiknas. Merdeka!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik