Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
ARAB Saudi terus memacu prestasi sepak bola mereka. Kemenangan 2-1 atas Argentina di ajang Piala Dunia 2022 pantas membuat para pemain sepak bola the Green Falcans semakin percaya diri.
Selain mendorong sovereign wealth fund Arab Saudi untuk membeli klub-klub Eropa, di dalam negeri kompetisi dibuat lebih bermutu. Klub El Ettifaq tidak mau kalah Al Nassr untuk memperkuat kesebelasannya. Setelah membawa Steven Gerrard untuk menjadi pelatih, El Ettifaq sedang berjuang untuk mendatangkan kapten kesebelasan Inggris, Jordan Henderson.
Pemain berusia 33 tahun itu tinggal dua tahun kontraknya dengan The Reds. Henderson sudah bertemu pelatih Liverpool Juergen Klopp untuk meninggalkan Anfield. Klopp pun sudah menyatakan tidak keberatan karena memang pelatih asal Jerman itu ingin membangun tim yang baru dengan materi pemain yang lebih muda. Ia sudah mendapatkan dua gelandang baru, yakni gelandang asal Argentina Alexis McAllister dan Dominik Szoboszlai. Satu lain pemain baru yang diincar Liverpool ialah Romeo Lavia.
El Ettifaq sekarang tinggal menyelesaikan kontrak untuk mendatangkan Henderson. Mereka menawarkan gaji 200 ribu pound sterling per minggu untuk kontrak dua tahun.
Selain berusaha mendapatkan Henderson, El Ettifaq sedang membujuk pemain Liverpool lainnya Thiago Alcantara untuk ikut pindah ke Arab Saudi. Gelandang asal Spanyol ini sedang di masa akhir kariernya sebagai pemain.
Al Nassr tidak mau kalah untuk memantapkan kekuatan timnya. Setelah musim lalu sukses membawa mahabintang Cristiano Ronaldo, Al Nassr mengontrak dua pemain baru, yakni Marcelo Brozovic dan bintang Aljazair Hakim Ziyech.
Satu klub Arab Saudi lain yang agresif untuk mencari pemain ialah Al Ittihad. Klub itu menawarkan gelandang bertahan Liverpool Fabinho bayaran 40 juta pound sterling untuk mau bergabung bersama mereka.
Mengikuti Jepang
Langkah yang ditempuh Arab Saudi hampir mirip dengan apa yang dilakukan Jepang dalam membangun sepak bola mereka. Ketika pada 1990 mulai membangun sepak bola mereka, Jepang membawa pemain-pemain yang menjelang habis kariernya untuk bermain di kompetisi J-League.
Dengan pemain-pemain yang lebih berpengalaman dan kualitas yang baik, permainan para pemain Jepang bisa terangkat. Apalagi, klub-klub Jepang kemudian membawa juga pelatih-pelatih terbaik dunia untuk membina para pemain 'Negeri Sakura' itu.
Kompetisi yang sehat mematangkan para pemain Jepang. Sepak bola Jepang pun secara bertahap meningkat dan itu dimulai dari keberhasilan mereka untuk memenangi Piala Asia.
Pada 2002 Jepang berupaya untuk melompat lebih tinggi dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia bersama Korea Selatan. Namun, mereka gagal untuk berbicara di tingkat dunia dan harus tersingkir di babak pertama. Justru 'sibling' mereka Korea Selatan yang lebih berkibar dengan lolos hingga semifinal Piala Dunia 2002.
Kegagalan itu memacu Jepang untuk meningkatkan kualitas kompetisi J-League. Dari kompetisi yang semakin bermutu dihasilkan pemain-pemain yang semakin berkualitas dan bisa diincar klub-klub Eropa untuk dimatangkan dalam kompetisi yang lebih ketat.
Sekarang ini banyak pemain Jepang malang melintang di liga Eropa. Mereka tersebar di Liga Primer, Bundesliga, Liga Italia, dan Liga Belanda. Salah satu yang sedang menonjol ialah penyerang Brighton, Hove & Albion Kaoru Mitoma.
Hasil pembinaan selama dua dekade bisa dirasakan hasilnya di ajang Piala Dunia 2022. Jepang tidak hanya mampu mengalahkan mantan juara dunia Jerman, tetapi mampu lolos ke 16 besar sebagai juara grup.
Sekarang Jepang lebih percaya diri untuk melihat panggung dunia. Mereka memacu anak-anak muda Jepang untuk menjadi pemain sepak bola yang hebat dan mampu mengangkat Piala Dunia pada 2050 yang akan datang. Sebuah visi jangka panjang yang jelas.
Menuju panggung dunia
Di level Asia, Arab Saudi tidak bisa dimungkiri merupakan salah satu kesebelasan terbaik saat ini. Mereka berulang kali sukses mengangkat Piala Asia dengan mengungguli Jepang, Korea Selatan, Iran, dan Irak.
Hanya saja, prestasi mereka tidak mampu meningkat lebih tinggi karena pemain Arab Saudi tidak mau mengasah kemampuan mereka lebih tinggi lagi. Para pemain berbakat the Green Falcons tidak mau meninggalkan negeri mereka untuk berkompetisi di liga Eropa.
Mereka merasa lebih nyaman bermain di kompetisi dalam negeri. Apalagi para pemain merasa di negara petrodolar itu sudah mendapatkan bayaran yang memadai.
Dengan level kompetisi yang stagnan, permainan mereka pun tidak bisa berkembang secara optimal. Raksasa sepak bola Asia itu tidak pernah bisa lolos dari babak pertama Piala Dunia, termasuk di Piala Dunia Qatar yang lalu. Meski sukses menaklukkan Argentina di pertandingan perdana, mereka gagal bersinar di dua pertandingan berikutnya.
Sekarang cara pendekatan untuk meningkatkan prestasi para pemain Arab Saudi dicoba diubah. Dengan bertanding secara rutin dengan pemain-pemain sekelas Ronaldo, Henderson, Fabinho, dan Thiago Alcantara, diharapkan, para pemain Arab Saudi bisa menimba banyak ilmu.
Dengan mulai agresifnya perusahaan pengelola kekayaan Arab Saudi untuk membeli klub-klub Eropa, bukan mustahil akan banyak pemain negeri itu yang dimagangkan di Liga Eropa. Pemimpin Arab Saudi Muhammad bin Salman bisa memerintahkan pemain berbakat di negaranya untuk mau menimba pengalaman di luar negeri sebagai sebuah tugas negara yang tidak boleh ditolak.
Cara itu diyakini akan bisa semakin mengangkat kualitas sepak bola the Green Falcons jika dibandingkan dengan cara memberikan kewarganegaraan kepada pemain dari negara lain. Naturalisasi pemain sudah terbukti di banyak negara tidak pernah bisa menghasilkan kesebelasan nasional yang tangguh.
Jepang pernah mencoba melakukan itu dengan menarik pemain asal Brasil berdarah Jepang. Namun, hasilnya tidak memuaskan dan akhirnya memilih banting setir fokus kepada pembinaan pemain yang ada di Jepang melalui kompetisi yang lebih bermutu.
Mengapa naturalisasi akhirnya gagal? Karena naturalisasi tidak mungkin dilakukan kepada pemain bintang ternama. Akibatnya hanya pemain-pemain yang kualitasnya tanggung yang bisa ditarik menjadi pemain nasional. Tidak usah heran apabila prestasi yang diraihnya pun akan tanggung.
Kedua, tidak pernah ada cara instan untuk membangun sebuah tim dan meraih prestasi tinggi. Jepang perlu tiga dekade untuk membangun sepak bola mereka. Bahkan masih perlu tiga dekade untuk menjadi juara dunia. Sepak bola membutuhkan orang-orang yang mau berkorban panjang, bukan politikus yang sekadar mencari popularitas dalam memimpin.
HIDUP memang ibarat roda pedati. Kadang dia ada di atas. Tetapi, karena berputar, kemudian suatu saat dia akan berada di bawah. Seperti itu jugalah dengan sepak bola.
KALAU saja tidak ada aksi Ricky Kambuaya untuk berani menembus kotak penalti Tiongkok, tidak pernah akan ada penalti yang didapatkan Indonesia.
SEPULUH tahun kebersamaan dengan Manchester City merupakan perjalanan panjang bagi Kevin de Bruyne.
Tantangan terberat yang harus dihadapi PSG ialah memenangi pertarungan di lapangan tengah.
BAGI Manchester United dan Tottenham Hotspur, final Liga Europa 2025 ibarat fatamorgana.
KESEBELASAN yang paling ditakuti dalam sepak bola ialah tim yang mampu menerapkan kolektivisme.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved