Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Potensi Minus SDM di Perdesaan

Razali Ritonga Pemerhati fenomena sosial-kependudukan, alumnus Georgetown University, AS, dan Lemhannas RI
04/5/2023 05:00
Potensi Minus SDM di Perdesaan
Ilustrasi mI(MI/Seno)

MESKI aneka peraturan diterapkan pemerintah DKI Jakarta terhadap pendatang, hal itu tidak menghentikan sebagian penduduk perdesaan mendatangi Ibu Kota. Pada tahun ini, pendatang ke Jakarta bahkan diperkirakan meningkat jika dibandingkan dengan tahun lalu. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI memprediksi pendatang ke Jakarta meningkat 20% dari tahun lalu (Media Indonesia, 29/4/2023).               

Maka itu, pemerintah DKI kini memberlakukan persyaratan agar pendatang dapat berkurang sehingga tidak menambah persoalan di Ibu Kota. Adapun persyaratan yang diterapkan ialah memiliki tempat tinggal (meski statusnya menumpang di tempat kerabat dan saudara) dan memiliki keterampilan.              

Ihwal memiliki tempat tinggal, sejatinya bukan hal baru yang diterapkan pemerintah DKI Jakarta terhadap pendatang. Secara faktual, pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan  dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil menyebutkan bahwa warga yang berpindah harus memiliki jaminan tempat tinggal.

Sejatinya, kepemilikan tempat tinggal merupakan hal yang amat krusial bagi pemerintah DKI Jakarta. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa pendatang yang tidak memiliki tempat tinggal akan menimbulkan kesemrawutan tata ruang, seperti mendirikan tempat tinggal di lokasi yang bukan peruntukannya. 

Tidak terpenuhinya tempat tinggal secara layak di perkotaan juga menjadi perhatian serius UN-Habitat. Lebih jauh kondisi tempat tinggal tak layak huni itu disebut UN-Habitat sebagai permukiman informal (informal settllement). Adapun kriteria permukiman informal itu ialahpermukiman yang tidak memenuhi salah satu atau kombinasi dari sejumlah faktor, seperti kualitas perumahan yang buruk, padat penghuni, kurang atau tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi, serta kerawanan keamanan.            

Semakin padatnya penduduk perkotaan, semakin menyebabkan ekosistem perkotaan menjadi lebih kompleks. Dalam konteks itu, Kostof (2014) menyebutkan bahwa pembangunan suatu daerah perkotaan yang semula memiliki kondisi sempurna seiring perjalanan waktu semakin jauh dari sempurna. Hal itu terjadi karena pembangunan perkotaan kalah cepat dengan pertambahan penduduk, khususnya pada suatu kota yang penduduknya melebihi 10 juta jiwa (megacities) yang membutuhkan penyediaan fasilitas publik semakin banyak dan lengkap (UN, 2018).           

Selanjutnya, bagi pendatang yang tidak memiliki keterampilan, hal itu akan menambah persoalan pengangguran di DKI Jakarta. Persaingan untuk memperoleh pekerjaan di Jakarta kian intenssehingga mereka yang tidak memiliki keterampilan hampir dapat dipastikan akan tetap menganggur. Celakanya, untuk menyambung hidup di Jakarta, sebagian dari mereka yang tidak memiliki pekerjaan terpaksa menjadi gelandangan, pengemis, pemulung, atau tersangkut kegiatan kriminal.

 

Perdesaan minus SDM

Persyaratan keterampilan bagi pendatang meski cukup rasional diterapkan DKI Jakarta, hal itu akan menimbulkan persoalan baru, yaitu potensi berkurangnya SDM berkualitas di perdesaan.                

Sejatinya, perdesaan kini amat membutuhkan SDM yang berkualitas untuk menjalankan sejumlah program pembangunan perdesaan yang disertai dengan gelontoran dana desa yang cukup memadai. Dikhawatirkan, perpindahan penduduk perdesaan yang berketerampilan ke perkotaan akan menyebabkan berbagai program pembangunan perdesaan tersendat.             

Padahal, pemerintah sejak lama telah memberlakukan otonomi desa untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Secara faktual, UU itu memberikan kewenangan pada pemerintah desa untuk mengelola desa agar masyarakat desa menjadi mandiri dan sejahtera.

Namun, disayangkan pemerintah desa tampaknya belum optimal dalam menjalankan pengelolaan perekonomian desa sesuai dengan amanat UU itu. Ditengarai, itu terjadi karena kualitas SDM pengelola otonomi desa yang cukup rendah. Akibatnya, kemiskinan di perdesaan belum dapat diturunkan secara signifikan. Bahkan, kenaikan angka kemiskinan di perdesaan kini lebih tinggi jika dibandingkan  dengan angka kemiskinan di perkotaan.             

Rilis BPS 16 Januari 2023 menyebutkan bahwa pada Maret 2022 angka kemiskinan di perkotaan 7,50%, sedangkan di perdesaan 12,29% atau perbedaan tingkat kemiskinan desa-kota sebesar 4,79% poin. Selanjutnya, pada September 2022 angka kemiskinan di perkotaan 7,53%,  sedangkan di perdesaan 12,36% atau perbedaan tingkat kemiskinan desa-kota meningkat menjadi sebesar 4,83% poin.

Kenaikan ketimpangan angka kemiskinan desa-kota itu diperkirakan kian memotivasi penduduk perdesaan pindah ke perkotaan. Hal itu pada tahap lanjut dikhawatirkan perdesaan tidak hanya berpotensi mengalami kekurangan SDM berkualitas, tapi juga kekurangan penduduk usia produktif. Itu termanifestasi dari petani yang berusia semakin tua dan jumlah petani yang kian menyusut. Tercatat berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013, kurang dari 10% petani di Tanah Air berusia di bawah 30 tahun. Adapun selama 2003-2013 jumlah petani menyusut sebanyak 5,04 juta rumah tangga petani.           

Patut dicermati bahwa penduduk perkotaan kini melebihi penduduk perdesaan. Hasil Sensus Penduduk 2020 menunjukkan bahwa penduduk perkotaan tercatat sebesar 56,7%. Padahal, pada 1971 penduduk perkotaan di Tanah Air baru mencapai 17,29% dari total penduduk. Diperkirakan persentase penduduk perkotaan pada 2035 menjadi 66,6% (BPS dan Bapenas, Proyeksi Penduduk 2010-2035).

Potensi berkurangnya penduduk perdesaan, terutama penduduk berusia produktif yang berketerampilan serta menua dan menyusutnya petani, dikhawatirkan akan kian memperburuk masa depan perdesaan. Sejatinya hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk segera membenahinya agar perdesaan tidak semakin tertinggal dari perkotaan. Dalam konteks itu, pembenahan tata kelola pemerintahan desa dalam menjalankan program pembangunan tampaknya menjadi hal utama yang perlu segera dilakukan.             



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya