Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

PPG dan Profesionalisme Guru

Muazzah Guru Biologi SSB Pidie
17/4/2023 05:05
PPG dan Profesionalisme Guru
Ilustrasi MI(MI/Duta)

BEBERAPA tahun belakangan ini pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) mensyaratkan pendidikan profesi guru (PPG) untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. Tujuan PPG tak lain dan tak bukan ialah menjamin kualitas profesional guru untuk mendidik anak bangsa agar nantinya menjadi penerus dengan standar prima.

Program PPG melibatkan banyak universitas untuk membekali guru dengan ilmu pedagogis dan ilmu bidang studi. Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (FKIP) menjadi pengampu semua proses pembekalan guru tersebut. Dosen dengan berbagai latar belakang keahlian bidang ilmu berusaha memberikan ilmu terbaiknya sebagai bekal guru untuk diimplementasikan di sekolahnya masing-masing.

Di Indonesia, guru belum menjadi profesi bergengsi setara dokter, pengacara, dan konsultan. Padahal, pekerjaan guru mencakup pekerjaan dari profesi bergengsi tersebut. Guru ialah dokter bagi siswa yang butuh obat bagi jiwa dan akalnya. Guru ialah pengacara yang dibutuhkan siswa untuk membela dirinya dari kecaman orang-orang yang tak memahami mereka. Guru juga konsultan yang mampu mengarahkan siswa untuk menjangkau impian dan masa depannya. Namun, mengapa guru tak bisa menjadi profesi yang berkelas?

Namun demikian, meski stigma guru tak begitu baik, selalu ada yang ingin menjadi guru. Entah itu sebagai cita-citanya atau karena tak lulus di fakultas lain. Namun, yang jelas, kampus keguruan tidak pernah sepi peminat. Bahkan menurut Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), saat ini jumlah mahasiswa di bidang keguruan menempati posisi tertinggi, yaitu 1.371.105 mahasiswa di atas jumlah mahasiswa bidang ekonomi sebesar 1.146.430 orang.

Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi kampus keguruan atau fakultas keguruan, bagaimana kampus mampu menyediakan calon guru yang berkualitas. Pun bagaimana caranya pemerintah meningkatkan profesionalitas guru di seluruh pelosok negeri. Itulah di antara alasan program PPG ini. Melalui program PPG inilah harapan tersebut digantungkan. Pertanyaannya ialah apakah PPG mampu mewujudkan harapan mulia dari pemerintah tersebut?

 

Karakteristik guru profesional

Menurut F Rodrigues and MJ Mogarro (2019), identitas profesional guru dipengaruhi berbagai faktor, yaitu pemaknaan, persepsi, gambaran, dan pengetahuan yang dimiliki guru tentang dirinya dan profesinya. Selanjutnya, beberapa ahli lain juga berpendapat bahwa identitas profesional dipengaruhi oleh sejarah (latar belakang), keadaan masa kini, pengalaman belajar mengajar, faktor sosiologis dan budaya, serta karakteristik pribadi dan psikologis dari guru itu sendiri. Artinya, peran gurulah yang paling menentukan bagaimana guru profesional dapat terwujud (dari perspektif diri) menjadi karakter yang dimunculkannya sebagai pribadi guru.

Keyakinan tentang bagaimana sosok guru profesional perlu ditanamkan pada calon guru sejak di bangku kuliah sehingga harusnya mereka nantinya bisa siap dan terjun ke dunia persekolahan dengan bekal yang mumpuni. Menurut F Rodrigues and MJ Mogarro (2019), dengan mengutip studi Gang Zhu (2017), banyak mahasiswa keguruan yang merasa bangga sekaligus frustasi selama melaksanakan praktik mengajar atau PPL (program pengalaman lapangan). Kebingungan yang mereka alami meliputi beberapa hal. Pertama, menghubungkan antara pengetahuan dan keterampilan pedagogis. Kedua, menjalankan peran dan membangun hubungan dengan siswa. Ketiga tanggung jawab guru siswa selama praktik.

Mahasiswa keguruan perlu diberikan bekal yang cukup sebelum terjun ke dunia nyata, ruang kelas. Praktik pengalaman mengajar juga perlu diberikan sejak tahun awal perkuliahan, dengan berbagai pendekatan yang strategis. Kampus keguruan perlu bekerja sama dengan sekolah-sekolah di sekitarnya, dan memberikan tugas berupa riset-riset kecil/observasi kepada mahasisnya di sekolah tersebut. Tujuannya ialah menyentuhkan calon guru dengan dunia kerjanya sebagai bentuk pembelajaran yang lebih praktis.

 

Salah kaprah PPG

Guru yang belum besertifikasi diundang mengikuti program PPG melalui data dapodik yang terdaftar melalui sekolah tempat mengajar. Proses PPG wajib diikuti oleh guru yang telah dinyatakan lulus tes. Selama program, guru diajarkan tentang pengetahuan pedagogis, melihat dan menganalisis masalah yang terjadi di sekolah masing-masing.

Selanjutnya, guru diminta untuk mencari referensi dan melakukan serangkaian wawancara untuk menemukan solusi atas masalah yang telah diidentifikasi. Hingga pada akhirnya, guru diminta untuk merancang RPP, melakukan microteaching, hingga membuat video mengajar di kelas.

PPG mestinya mampu memantik kemauan belajar guru, mampu melejitkan kemampuan literasi guru, dan menguatkan kemampuan analisisnya. Apalagi, PPG secara daring menggunakan e-learning yang memungkinkan terjadinya diskusi keilmuan dan berbagi pengalaman terbaik. Karena itu, harapan setelah selesai PPG, guru benar-benar menjadi profesional. Namun, kenapa semua harapan baik dan bagus itu tidak terjadi?

Setidaknya ada tiga penyebab gagalnya PPG sebagai pemantik guru menjadi profesional. Pertama, sikap mental guru yang merasa sibuk, tidak mampu, atau lebih parah lagi, tidak mau mengerjakan tugas sehingga muncullah joki dan bimbel PPG menawarkan jasa mengerjakan tugas dan persiapan ujian akhir. Kedua, pemberian tugas dalam bentuk lembar kerja (LK) adalah tugas yang tidak kreatif sehingga memperkuat munculnya perjokian dan bimbel PPG. Ketiga, standardisasi penerapan pembelajaran berbasis technological pedagogical content knowledge (TPACK). Padahal, ada guru yang tempatnya mengajar jauh dari kata teknologi, bahkan sinyal pun belum sampai ke sekolahnya.

Berdasarkan pengalaman saya di sekolah Sukma Bangsa (SSB) Pidie, peningkatan kapasitas guru dilakukan secara berkesinambungan melalui penciptaan lingkungan belajar yang positif yang membuat semua warga belajar dan dengan kerelaan hati terus mengembangkan kapasitas dirinya. Prinsip a school that learns, sekolah yang belajar— moto sekolah kami— adalah prinsip yang berlaku bagi semua warga belajar di SSB.

Selain itu, Yayasan juga mendukung dengan memberikan pelatihan-pelatihan, seperti pelatihan penelitian tindakan kelas (PTK), menulis ilmiah, pembuatan video pembelajaran, dan pelatihan assessment and evaluation. Tak hanya yang berbau akademis, yayasan juga memberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan hidup, seperti pelatihan membatik dan memasak. Itulah peningkatan kapasitas guru yang sebenarnya, terstruktur, terencana, terukur dan terintegrasi.

Kompetensi guru profesional tak akan tumbuh hanya dengan menyelesaikan program PPG, atau sertifikasi, jika lingkungan guru mengajar— yang tidak dapat mendorong guru untuk belajar— tidak menjadi perhatian pembuat kebijakan. Efektivitas PPG harus dievaluasi. Alih-alih guru meningkat kapasitasnya, malah muncul fenomena joki dan bimbel PPG.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya