Minggu 05 Maret 2023, 05:00 WIB

Jalan Kaki

Adiyanto Wartawan Media indonesia | Opini
Jalan Kaki

MI/Ebet
Adiyanto Wartawan Media indonesia

 

SEUSAI mengantar anak ke sekolah, saya kini punya kebiasaan baru, yakni berjalan kaki di lingkungan Kampus Universitas Indonesia. Tidak rutin memang, tetapi sebisa mungkin saya menyempatkan diri melakukannya. Selain suasana lingkungan yang asri, di tempat ini setidaknya saya terhindar dari kemungkinan diseruduk motor atau mengisap gas buang kendaraan, seperti halnya kalau kita berjalan kaki di trotoar di kota besar. Itu olahraga murah dan mudah. Tidak perlu punya alat atau sepatu khusus untuk melakukannya. Bersandal jepit pun jadi.

Jalan kaki ialah aktivitas sederhana, tetapi amat besar manfaatnya. Begitu setidaknya menurut sejumlah artikel penelitian tentang faedah aktivitas itu yang saya baca. Melakukannya juga bisa di mana saja. Di pekarangan rumah, seputaran kompleks, atau bahkan di lingkungan kantor. Yang penting enggak mager (malas gerak). Ingat evolusi menuntun manusia untuk bergerak dan berjalan tegak, bukan cuma duduk-duduk atau leyeh-leyeh seharian memelototi gawai. Manusia purba pun bukan cuma hidup tidur-tiduran di dalam gua. Dengan berjalan kaki, peredaran darah menjadi lancar, kalori terbakar, dan tungkai pun tidak mudah lunglai.

Berjalan kaki juga merupakan rekreasi yang penting untuk jiwa. Anda bisa melihat dan menghirup aroma bunga, tersenyum dan bertegur sapa dengan sesama, bukan sekadar melulu berinteraksi di dunia maya. Dalam A Philosophy of Walking, pemikir Prancis Frederic Gros memaparkan bagaimana para filsuf besar mendapatkan inspirasinya dari kebiasaan mereka blusukan dengan berjalan kaki. Dari Immanuel Kant hingga Friedrich Nietzsche. Tentu saja Anda jangan melamun sambil berjalan karena bisa-bisa berakhir di gorong-gorong. Dengan berjalan kaki, setidaknya banyak yang bisa kita lihat, dengar, dan rasakan, yang siapa tahu dapat menjadi inspirasi.

Di zaman yang penuh paradoks, dengan ditopang kecepatan koneksi internet sekian megabyte per detik, di satu sisi manusia memang dituntut serbagegas, sedangkan di sisi lain kita menjadi makhluk pemalas. Hidup mengandalkan jentik jari, mulai memesan makanan hingga berbelanja kebutuhan sehari-hari. Hal itu pada gilirannya mengubah kepribadian, tabiat, dan bentuk fisik manusia. Darurat obesitas yang terjadi di negeri ini, jangan-jangan salah satunya kontribusi dari dampak teknologi itu sehingga membuat manusia malas bergerak.

Pada acara temu wartawan Jumat (3/3), Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), mengungkapkan berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) sekitar 40% orang di Jakarta, usia 15 tahun ke atas, mengalami obesitas sentral alias perut buncit. Kondisi ini, kata dia, lebih berbahaya dari obesitas biasa karena berkaitan erat dengan potensi hipertensi, diabetes, dan sebagainya. Obesitas, kata sang dokter, kini sudah jadi endemi di dunia, bukan cuma di Indonesia. Federasi Obesitas Dunia atau WOF (World Obesity Federation) bahkan memprediksi lebih dari separuh penduduk di dunia akan mengalami obesitas pada 2035. Nah, apa enggak ngeri?

Mulai sekarang, mungkin tidak ada salahnya kita jadikan jalan kaki sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari. Jangan terus-terusan hidup dalam buaian teknologi, yang pada akhirnya cuma bikin malas gerak dan memicu timbunan lemak. Wasalam.

Baca Juga

Ilustrasi

Berharap Nasib Baik bagi para Guru

👤Anggi Afriansyah Peneliti sosiologi pendidikan di Pusris Kependudukan BRIN, Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan untuk Guru (P2G) 🕔Jumat 31 Maret 2023, 05:05 WIB
OPINI Prof Triyanto di Media Indonesia (28/3) mengangkat judul Madesu Calon Guru benar-benar menggambarkan realitas...
MI/Seno

Karpet Merah untuk Dokter Asing?

👤Sukman Tulus Putra Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia (Perkani), anggota Dewan Pertimbangan PB IDI dan MKEK, anggota Konsil Kedokteran Indonesia 2014-2020 , Council Member of Asia-Pacifi c Pediatric Cardiac Society (APPCS) 🕔Jumat 31 Maret 2023, 05:00 WIB
KEHADIRAN dokter asing di suatu negara ialah hal yang lazim terjadi di era globalisasi...
Dok pribadi

Menyepakbolakan Agama

👤Ahmad Maulana, editor Harian Media Indonesia 🕔Kamis 30 Maret 2023, 18:05 WIB
JIKA ada yang bilang bahwa sepak bola seperti agama di Brasil, hal itu memang tidak...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya