MEDIO Januari 2023, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melansir laporan realisasi kredit usaha rakyat (KUR) anggaran 2022, yang menyentuh angka Rp365,50 triliun atau sekitar 97,95% dari target Rp373,17 triliun. Penyaluran KUR terus terdongrak dalam 5 tahun terakhir. Pada 2018, misalnya, berjumlah Rp120,30 triliun, kemudian pada 2022 terkerek menjadi Rp365,50 triliun. Bahkan, pada 2023 ini, pemerintah mematok target penyaluran KUR yang naik menjadi Rp470 triliun, dan kemudian pada 2024 diestimasi menjadi Rp585 triliun.
Merujuk data Kementerian Koordinator Perekonomian RI, ada 7,62 juta total debitur yang diberikan KUR sepanjang 2022. Dari jumlah tersebut, terbagi empat kategori, yakni KUR mikro 66,41%, KUR kecil 31,84%, KUR supermikro sebesar 1,74%, dan KUR penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) di bawah 1%. Tentu, penyaluran kredit itu diarahkan, baik berupa bunga rendah, agunan yang tidak diwajibkan untuk plafon di bawah Rp100 juta, maupun kemudahan restrukturisasi yang diberikan penyalur KUR.
Pertanyaan kemudian, bolehkah KUR itu tidak semata diarahkan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)? Berdasarkan pada kebijakan KUR penempatan PMI (TKI) yang dilansir sejak 2010, berarti KUR Profesi bisa diberi ruang kebijakan untuk dialokasikan pembiayaan dengan beberapa catatan tertentu.
Mengenal KUR
KUR, diawali dengan terbitnya Inpres Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM. Pembiayaan disalurkan KUR bersumber dari dana perbankan, atau lembaga keuangan yang merupakan penyalur KUR. Program itu didistribusikan melalui mekanisme lembaga keuangan dengan pola penjaminan dan subsidi bunga.
Program KUR dimaksudkan memperkuat kapasitas permodalan usaha UMKM sehingga terlaksana kebijakan percepatan pemberdayaan UMKM serta pengembangan sektor riil. Penyaluran KUR, 100% berasal dari dana bank pelaksana. Pemerintah hanya memberikan penjaminan, sedangkan dananya berasal dari bank pelaksana. Oleh karena itu, UMKM wajib melunasi KUR yang diterima dari bank pelaksana dengan cara mencicilnya sesuai kesepakatan besaran bunga dan jangka waktu disepakati.
Pada perkembangannya, KUR berbentuk kredit murah dikembangkan pemerintah bagi kelompok masyarakat yang perlu permodalan. Pemerintah, lewat jalur APBN-nya telah menjalankan struktur dengan pemerataan alokasi, stabilisasi, dan distribusinya. Tujuannya, agar bantuan modal itu dapat dinikmati masyarakat secara adil dan diterima dalam bentuk nyata.
Pembiayaan berupa KUR ini ternyata tidak hanya diperlukan pelaku usaha, tetapi oleh kelompok lain yang membutuhkan. Untuk itu, diluncurkan pula KUR bagi nonpelaku UMKM, yaitu bagi PMI/TKI pada 15 Desember 2010. Peluncuran KUR ini dilatarbelakangi kebutuhan akses permodalan untuk memenuhi kebutuhan dana persiapan dan pelatihan calon TKI untuk dapat bekerja di luar negeri.
Sebelum adanya KUR TKI (PMI), calon TKI yang tidak memiliki dana persiapan dan tidak bankable terpaksa meminjam kepada pihak ketiga (lembaga keuangan dan nonlembaga keuangan), dengan tingkat suku bunga tinggi. Kemudian, KUR ini berkembang menjadi KUR TKI yang diperuntukkan calon TKI atau TKI yang sudah selesai bekerja di luar negeri (purna TKI). Dalam menyelamatkan para pekerja migran dari pihak ketiga, terutama rentenir, bukanlah pekerjaan mudah.
KUR TKI, pada awalnya memiliki plafon Rp25 juta dan sejak 2022, pemerintah memberikan plafon KUR, yaitu Rp100 juta. Ketentuan tersebut tercantum dalam Permenko Perekonomian Nomor 1/2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat, dan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 2/2022 tentang Perlakuan Khusus bagi Penerima Kredit Usaha Rakyat Terdampak Pandemi Covid-19.
Kebijakan itu diambil untuk menyelamatkan PMI dari rentenir yang mematok pembiayaan modal kerja dengan bunga mencekik. Permenko itu memperbaiki skema penyaluran KUR untuk PMI demi meningkatkan dan mempermudah penyaluran KUR dengan bunga ringan dan wajar. Dengan adanya skema KUR TKI, para calon pekerja migran Indonesia (CPMI) diharapkan tidak lagi terjebak utang berbunga tinggi atau menjual aset-aset mereka untuk dapat bekerja di luar negeri. Kendati, penyaluran KUR kepada CPMI masih menjadi masalah tersendiri, terutama dari sisi realisasi yang masih sangat minim.
MI/Tiyok
KUR profesi
Dalam akses keuangan mikro atau golongan non-bankable, kegagalan pasar kredit dipecahkan munculnya lembaga keuangan tradisional. Misal arisan, simpan-pinjam antarkerabat/anggota/keluarga, koperasi pegawai, ataupun dana santunan musibah. Pola operasionalnya berbasis moralitas, seperti norma kekerabatan, saling percaya, norma resiprositas, dan sanksi sosial.
Karena itu, perlu sinergi kelembagaan antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Program KUR dinilai dapat memperluas jangkauan kredit, menjaga aspek komersial dari penyalur, menerapkan prinsip prudensial perbankan, dan dapat memberdayakan fungsi lain dari masyarakat berupa penguatan komunitas. Penguatan komunitas pada kredit mikro, dan potensi dilakukan pada komunitas tenaga pengajar/tenaga kesehatan misalnya, menjadi faktor penting.
Kegiatan ekonomi pada komunitas, dicirikan oleh kekuatan pengaruh nonekonomi, seperti kekerabatan, keguyuban, dan sanksi sosial. Penyaluran KUR pada komunitas, misal seperti KUR TKI, akan memperluas modal sosial (social capital) meminjam istilah Francis Fukuyama, dalam Social Capital and Civil Society (1999) menjadi terejawantah dalam kegiatan pengembangan diri dan kegiatan ekonomi. Komunitas yang potensial digarap ialah asosiasi berbasis profesi, ormas berbasis keagamaan, dan kelompok swadaya masyarakat.
Peran komunitas dan agen ini akan memecahkan masalah pada kelompok potensi penerima kredit yang enggan dimasuki bank. Kelompok yang enggan dimasuki bank memiliki dua ciri, yaitu ketiadaan informasi (asymmetric information) dan moral hazard.
Fakta mengonfirmasi bahwa skala usaha di Indonesia merujuk riset ITB-AD Jakarta (2022), lebih bercirikan pada usaha perorangan mengakibatkan pemerintah dan lembaga keuangan harus jeli memilah antara kredit produktif dan kredit konsumtif. Profesi yang memiliki asosiasi, level keterampilan atau keahlian, dan memiliki aturan yang jelas, merupakan pangsa pasar kredit produktif ataupun konsumtif. Produk yang ditawarkan ialah jasa keahlian.
Penyaluran KUR kepada profesi tertentu, jelas tidak dapat dilakukan melalui pendekatan bisnis semata. Pendekatan ekonomi kelembagaan dan kultural diperlukan, untuk secara efektif menjalankan program dan menganalisis dampaknya. Hal itu akan berdimensi pada kompleksitas program KUR profesi yang memiliki dualisme profitabilitas dan peningkatan kualitas SDM.
Prinsip prudensial perbankan akan mengalami tantangan pada aspek administrasi, aspek repayment capacity, dan aspek agunan. Aspek administrasi menuntut keterlibatan regulator atau pembina (dalam hal ini Kemendikbud-Ristek, Kementerian Kesehatan, dan pemda). Aspek agunan diperkirakan tidak selalu dapat dipenuhi calon penerima KUR profesi.
Aspek repayment capacity menuntut adanya kajian antara kenaikan kepangkatan atau kenaikan keahlian dan potensi kenaikan penghasilan. Secara sempit, kenaikan kepangkatan dapat berdampak pada kenaikan gaji atau penghasilan rutin. Namun, secara lebih luas, kenaikan kepangkatan atau keahlian memungkinkan adanya penghasilan di luar penghasilan rutin yang ada. Kenaikan penghasilan itu tentunya harus dipadukan dengan jangka waktu sehingga ada kesesuaian antara kenaikan penghasilan dan repayment kepada bank. Kebijakan KUR kepada tenaga profesi, sejatinya merupakan komplementer dari kebijakan peningkatan keahlian berbasis SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia).
Dengan ihwal itu, demi pemerataan akses kredit murah bagi pelbagai lapisan masyarakat, KUR dapat dikembangkan untuk pembiayaan profesi sepanjang pekerjaan yang dibiayai merupakan kegiatan produktif, dan dapat menjamin sustainibilitas pengembalian kredit. Dalam kaitan ini, profesi yang dimaksud disematkan pada pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus.
Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi ialah pada bidang tenaga pendidik (dosen dan guru), tenaga kesehatan (perawat, dokter, dan paramedis), pengacara (lawyer), tenaga keuangan, militer, dan lainnya. Seseorang yang berkompeten di suatu profesi tertentu disebut profesional (Azizah, 2022). Kendati demikian, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya ialah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya. Sementara itu, olahraga tinju umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.
Profesi pendidik dan kesehatan
Perluasan skema KUR untuk profesi tenaga pendidik (dosen dan guru) dan kesehatan misalnya, selaiknya menjadi bagian dari KUR. Tentu, ihwal tersebut membutuhkan revisi atau perubahan terhadap aturan-aturan yang berkaitan dengan pembayaran imbal jasa penjaminan (IJP) dan subsidi bunga. Jika ihwal itu dilakukan di luar KUR, alokasi APBN untuk IJP dan subsidi bunga menjadi tidak ada landasannya, dalam aturan-aturan APBN beserta turunanya.
Dalam konteks KUR profesi ini, untuk profesi tenaga kesahatan, merujuk data Kementerian Kesehatan (Kemenkes, 2022), jumlah tenaga medis atau dokter di Indonesia mencapai 173.779 orang pada 2021. Jumlah tersebut terkerek 39,64% dari tahun sebelumnya sebesar 124.449 orang. Dari jumlah itu, tenaga medis paling banyak merupakan dokter umum, yakni 103.771 orang. Jumlah itu naik 52,70% dari tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 67.916 orang.
Sebanyak 41.891 tenaga medis merupakan dokter spesialis. Jumlah itu naik 9,09% dari 2020 yang sebesar 38.400 orang. Ada pula dokter gigi sebanyak 23.934 orang. Jumlahnya juga meningkat 53,53% dari tahun sebelumnya yang sebanyak 15.588 orang. Jumlah dokter gigi spesialis sebesar 3.243 orang, angkanya meningkat 27,43% dari 2020 yang sebesar 2.545 orang. Dokter subspesialis dengan kompetensi tambahan lainnya tercatat sebanyak 685 orang. Kemudian, dokter subspesialis dasar sebanyak 311 orang, sedangkan dokter subspesialis dengan kompetensi tambahan penunjang menjadi yang paling sedikit. Jumlahnya tercatat hanya empat orang di seluruh Indonesia.
Merujuk kembali data Kementerian Kesehatan RI (2022), kebutuhan dokter di Indonesia masih di bawah standar yang ditetapkan World Health Organization (WHO), yakni 1 dokter per 1.000 penduduk. Jumlah dokter yang dibutuhkan di Indonesia sekitar 270 ribu, sedangkan 2021 sebanyak 140 ribu. Artinya, masih ada kekurangan dokter sebanyak 130 ribu.
Pada 2021, jumlah lulusan dokter di Indonesia hanya 12 ribu orang per tahun. Dengan demikian, jika tidak ada perubahan signifikan, kekurangan dokter itu baru bisa dicapai dalam waktu 10 tahun mendatang. Untuk menghindari kondisi tersebut, Kemenkes mengadakan kerja sama dengan Kemendikbud-Ristek demi mengakselerasi pemenuhan kebutuhan dokter. Kolaborasi itu diresmikan lewat penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Peningkatan Kuota Penerimaan Program Sarjana Kedokteran, Program Dokter Spesialis, dan Penambahan Program Studi Dokter Spesialis melalui Sistem Kesehatan Akademik.
Salah satu strategi yang disepakati dalam implementasi sistem ini, di antaranya peningkatan kuota penerimaan mahasiswa program sarjana kedokteran dan dokter spesialis, dan penambahan prodi dokter spesialis, sesuai prioritas kebutuhan dari Kemenkes. Ini ialah prinsip dasar perubahan transformasi ini.
SKB itu juga menyatakan berkomitmen mempercepat pemenuhan kebutuhan dosen di rumah sakit pendidikan melalui beberapa inisiatif, seperti pengusulan nomor induk dosen khusus (NIDK) bidang kedokteran, pemberian penugasan, dan bimbingan teknis untuk perguruan tinggi, alokasi beasiswa LPDP, penguatan sistem seleksi mahasiswa, serta penjaminan mutu lulusan kedokteran melalui uji kompetensi.
Kemudian, untuk Kemendikbud-Ristek, penerima beasiswa pendidikan Indonesia 2021, merujuk data sebanyak 2.174 terdiri dari calon guru, guru, calon dosen, dosen, pelaku budaya, siswa, dan mahasiswa berprestasi. Beasiswa gelar D-4 sampai S-1 diberikan kepada 373 penerima dari calon guru dan guru mata pelajaran produktif pada SMK, pelaku budaya, dan siswa atau mahasiswa berprestasi.
Beasiswa gelar S-3 diberikan kepada 1.467 penerima yang berasal dari dosen perguruan tinggi akademik dan vokasi, guru dan tenaga kependidikan, serta pelaku budaya. Bahkan, belum ditemukan kasus guru berutang untuk pendidikan lanjutan. Yang ditemukan ialah guru terlilit utang pinjol atau utang lainnya.
Selanjutnya, tercatat dari 2012 hingga 2021 dana pendidikan yang dikeluarkan beasiswa pemerintah melalui LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) sebesar Rp14,9 triliun kepada 29.872 orang. Jumlah penerima beasiswa LPDP kian ditingkatkan. Penerima LPDP pada 2022 ditingkatkan mencapai 3.735 jika dibandingkan pada 2021 sebesar 2.179 penerima.
Selain itu, Kemendikbud-Ristek melalui Ditjen Pendidikan Tinggi juga membuka pendaftaran Beasiswa Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU). PMDSU merupakan skema beasiswa percepatan studi pascasarjana program magister sekaligus doktor, dalam kurun waktu 4 tahun yang akan dibimbing promotor andal di bidangnya.
Mengingat jumlah serapan yang menerima beasiswa dari pemerintah untuk profesi pendidik dan tenaga medis (kesehatan) yang masih sangat rendah, sedangkan tuntutan peningkat kualitas dan kompetensi melalui pelatihan dan pendidikan formal semakin meningkat, maka tidak aneh jika tenaga profesi itu sangat banyak mengakses pembiayaan melalui lembaga keuangan, misalnya melalui perbankan. Selain dengan penuh keterbatasan, akses bantuan atau beasiswa dari lembaga pendidikan dan lembaga kesahatan tempat mereka bekerja.
Berdasarkan pada paparan di atas terkait dengan KUR tenaga profesi, terutama untuk profesi pendidik dan nakes/medis, beberapa rekomendasi diusulkan. Pertama, perlunya dukungan subsidi APBN berupa pembiayaan bagi profesi guru, dosen, dan tenaga kesehatan dalam meningkatkan kompetensi dan keahliannya secara berkelanjutan.
Kedua, perlunya peraturan pemerintah yang dapat mendorong lembaga keuangan BUMN dan swasta untuk dapat berpartisipasi dalam pembiayaan yang terjangkau bagi ketiga profesi tersebut di atas.
Ketiga, perlunya peraturan pemerintah yang dapat dengan cepat diimplementasikan, yakni melalui perluasan penerima program kredit yang sudah diakomodasi dalam APBN. Last but not least, perlunya program pemerintah dalam upaya dukungan pembiayaan yang terjangkau dan dapat dilaksanakan segara. Ihwal ini mengingat dukungan program akan memerlukan alokasi dana dari APBN, yaitu perluasan penerima KUR.