Hilirisasi Kakao Buka Peluang Usaha Baru bagi UMKM dan Petani di Sulawesi Tengah

 Gana Buana
04/8/2025 22:17
Hilirisasi Kakao Buka Peluang Usaha Baru bagi UMKM dan Petani di Sulawesi Tengah
Hilirisasi industri kakao di Sulawesi Tengah.(DOk. BBT)

HILIRISASI industri kakao di Indonesia terus dipacu melalui strategi klasterisasi UMKM yang difokuskan pada penciptaan ekosistem agribisnis inklusif dari hulu ke hilir. Pendekatan ini diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas kakao nasional serta memperkuat peran pelaku usaha kecil dalam rantai pasok industri.

Deputi Bidang Usaha Menengah Kementerisan UMKM, Bagus Rachman, menjelaskan, Sulawesi Tengah (Sultan) diakui sebagai lumbung kakao nasional. Dari total 641 ribu ton produksi kakao nasional per tahun, sebanyak 146 ribu ton berasal dari wilayah ini. Karena itu, Sulawesi Tengah ditetapkan sebagai lokasi piloting untuk program hilirisasi nasional yang mengedepankan pengolahan berbasis UMKM.

“Sulawesi Tengah adalah daerah paling tepat untuk mengawal hilirisasi kakao. Potensi lahannya luar biasa dan komunitas UMKM-nya sudah aktif,” ujar Bagus, Senin (4/6).

Menurut dia, Upaya hilirisasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah Provinsi, asosiasi seperti PK2T, pelaku UMKM, serta akademisi juga dilibatkan. Program holding UMKM dirancang untuk membangun kemitraan klaster antara pelaku usaha, pemerintah, dan lembaga pembiayaan, yang kemudian dikoneksikan dengan program reforma agraria oleh Badan Bank Tanah.

“Intervensi kami berbasis ekosistem. Holding UMKM bukan sekadar konsolidasi data, tetapi penataan ulang kemitraan dari hulu ke hilir. Termasuk lahan dan pembiayaan,” tegasnya.

Badan Bank Tanah: Mitra Kunci "Kakao-nomics"

Badan Bank Tanah hadir sebagai pengelola lahan produktif yang mendukung pertanian dan agribisnis kakao. Team Leader Badan Bank Tanah (BBT) untuk Sulawesi Tengah, Hendra Wahyu menyebutkan bahwa lembaganya telah memperoleh Hak Pengelolaan (HP) di tiga kabupaten, yakni Kabupaten Poso: 6.600 hektare, Kabupaten Sigi: 160 hektare, dan Kabupaten Parigi Moutong: 315 hektare.

Dari total tersebut, seluas 1.550 hektare di Poso akan dimanfaatkan untuk program Reforma Agraria sesuai Perpres No. 62 Tahun 2023.

“Fokus kami bukan mengambil lahan rakyat. Lahan yang kami kelola adalah ex-HGU atau tanah terlantar. Kami justru hadir memberi kepastian hukum kepada masyarakat,” ujar Hendra.

Sekretaris Badan Bank Tanah (BBT), Jarot Wahyu Wibowo, menyampaikan, salah satu tantangan utama dalam pengembangan kakao adalah akses terhadap lahan yang layak dan legal. Bank Tanah berperan menyiapkan lahan untuk budidaya ulang (replanting) tanaman kakao, yang banyak mengalami penurunan produktivitas akibat usia tanaman yang tua.

“Kami ingin wujudkan kakao-nomics, kakao sebagai basis ekonomi rakyat. Untuk itu, seluruh aspek mulai dari legalitas tanah, kelembagaan petani, hingga akses pasar harus terintegrasi,” ujar Jarot. 

Menurut dia, sejumlah aset BBT, khususnya lahan, saat ini belum dimanfaatkan secara aktif namun tetap dikelola penuh. Hal ini menyebabkan beban pembiayaan yang besar, meski belum ada kebutuhan mendesak terhadap pemanfaatan lahan tersebut.

"Memang belum dimanfaatkan, tapi semuanya tetap kami kelola dan dimanage. Konsekuensinya, ada biaya pengelolaan yang sangat besar," ujarnya.

Di sisi lain, potensi investasi dari hilirisasi kakao saat ini studinya masih dalam tahap awal. Namun, ia menyebut ada potensi trickle-down effect dari nilai tambah ekonomi yang bisa dihasilkan.

"Nilainya bisa mencapai 100 kali lipat. Misalnya satu unit bernilai Rp20 ribu, maka hasil turunannya bisa jauh lebih besar," tandas dia. (Z-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana
Berita Lainnya