Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
BAGI kaum muslim, Islam bukan saja merupakan agama, tapi juga sistem, struktur, dan lembaga sosial yang humanis. Secara literal dan tekstual, Islam humanis dinyatakan melalui tagline Quranik tentang misi profetik Islam sebagai rahmat atau berkah bagi semesta, rahmatan li al-‘alamin.
‘Alamin yang diartikan semesta penting menjadi referensi humanisme Islam yang melampaui entitas atau umat manusia, tapi seluruh makhluk hidup dan tidak hidup (living and non-living things)– sebuah konsep yang bahkan dalam kajian sosiologi dan antropologi ekologis baru berkembang belakangan. Konsep ‘alamin juga merefleksikan gagasan kesetaraan tanpa diskriminasi; Islam sebagai rahmat bisa diakses, dinikmati, atau dialami semua penghuni semesta tanpa membedakan jenis kelamin dan gender, suku, kewarganegaraan, kelas sosial, kondisi abilitas/disabilitas, lokasi geografis, bahkan melintasi batas-batas agama.
Islam sebagai rahmat bagi semesta merupakan konsep atau tagline Quranik sangat populer. Namun, karena popularitasnya di kalangan muslim, konsep ini mengalami simplifikasi dan naturalisasi; dalam mindset keagamaan mainstream, Islam sebagai rahmat hadir dan terwujud secara alamiah atau merupakan mekanisme otomatis, tanpa perlu usaha, kerja, atau ikhtiar apapun secara sosial.
Sangat penting untuk merekonstruksi paradigma keagamaan dengan menghadirkan kesadaran sosial pada konsep Islam rahmatan li al-alamin ini, 'membenturkannya' dengan realitas sosial yang dinamis dengan berbagai persoalan sosialnya yang selalu berkembang.
Meski tagline Quranik rahmatan li al-’alamin dikonstruksi sebagai narasi universalisme (‘alamin) untuk menghadirkan rahmat bagi seluruh penghuni jagat raya, narasi ini perlu dibarengi pemahaman kontekstual. Tidak semua problem di seluruh jagat harus menjadi beban Islam dan kaum muslim. Dalam realitas sosial saat ini, sumber daya yang dimiliki muslim tidak selalu stabil, merata, dan memadai di semua tempat.
Di negara-negara yang Islam menjadi agama mayoritas bukan termasuk negara maju, justru merupakan negara miskin. Perspektif bahwa Islam tidak selalu harus menanggung beban semua persoalan sosial, atau menjadi solusi semua masalah, bahkan di kalangan internal umat muslim, penting untuk membuka sikap terbuka (open-minded) dan inklusif yang mendorong pada kemauan untuk melakukan kerja sama. Basis semua ini adalah menempatkan Islam sebagai bagian dari realitas sosial yang dinamis.
Antropolog masyhur Clifford Geertz menjadi pionir yang mengenalkan konsep living Islam, Islam yang menjadi bagian langsung dari pengalaman sosial dan pengalaman keseharian masyarakat. Living Islam tidak berada pada posisi 'di luar jangkauan sosial', tapi berbenturan dan berinteraksi dengan sistem, struktur, dan lembaga-lembaga sosial lain.
Evolusi
Pemikiran antropologis Geertz dibangun dengan mengamati transformasi dan dinamika sosial masyarakat muslim di Indonesia sebagai hasil dari proses adaptasi, evolusi, dan negosiasi dengan lingkungan sosial yang mana Islam (Indonesia/Jawa) itu berkembang. Evolusi itu menghasilkan, di antaranya tipologi keberislaman khas Jawa yang melekat pada strata dan kategori sosial setempat yang sekaligus berarti 'islamisasi' kategori sosial yang sebelumnya tidak 'islami' seperti kaum abangan.
Living Islam berdialog, hidup berdampingan, meski tidak lepas dari konflik– seperti halnya dalam realitas sosial lain. Namun, baik dialog, interaksi sosial, dan konflik itu yang justru menjaga Islam tetap ada, menjadi bagian dari sistem sosial.
Memahami Islam sebagai entitas 'hidup' menjadi dasar perubahan cara berpikir yang menaturalisasi dan mengotomatisasi Islam sebagai rahmat bagi semesta yang 'mematikan' berbagai usaha dan ikhtiar untuk mewujudkannya dalam realitas sosial. Konsep living Islam mendorong terbangunnya kesadaran religiusitas di kalangan muslim bahwa Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin adalah doktrin yang realisasinya menyaratkan usaha-usaha dan praktik-praktik di level sosial, baik secara personal-individual mapun kolektif-komunal.
Dalam konteks Indonesia, paradigma keberislaman ini penting karena mayoritas menjadi muslim yang merupakan bawaan lahir (born-muslim) sehingga naturalisasi dan 'otomatisasi' menjadi bagian keberagaman sangat dominan. Memahami living Islam perlu menjadi bagian dari proses pembelajaran ulang (relearning) sebagai muslim bawaan ini.
Mobilisasi zakat
Gagasan living Islam membuka kesempatan melakukan kontekstualisasi zakat sebagai living zakat. Zakat merupakan satu elemen Islam paling 'sosial', sebagai praksis sosial paling kuat yang ditawarkan Islam. Zakat menjadi upaya mobilisasi sumber daya dari kaum muslim yang mampu (aghniya), di satu sisi, dan menggunakannya untuk pemberdayaan (empowering) kaum muslim yang tidak mampu atau lemah (duafa).
Apakah tagline zakat sebagai elemen sosial Islam yang empowering akan terwujud secara 'otomatis'? Sejauh mana zakat benar-benar menjadi usaha yang empowering bagi kaum duafa? Siapakah warga yang dikategori duafa sehingga misi empowering zakat bisa dirasakan sesuai misi Islam humanis sebagai rahmatan bagi semesta. Kemudian menjangkau semua duafa tanpa memandang identitas sosial-politik tertentu seperti gender, suku, kelas, dan agama? Persoalan 'keduafaan' apa yang menjadi sasaran empowering praktik zakat selama ini?
Living zakat memprioritaskan realitas sosial yang berisi berbagai persoalan sosial sangat dinamis, tidak tunggal, dan kontekstual– baik dari segi waktu maupun tempat. Living zakat menuntut pemahaman tentang sebuah realitas sosial sebagai sphere atau locus sangat luas dengan persoalan sosial yang juga sangat beragam.
Keterbukaan pada realitas sosial dengan segala problemnya inilah yang mendorong aplikasi living zakat untuk lebih responsif pada keragaman, bukan ketunggalan, persoalan sosial. Living zakat tentu tidak meninggalkan doktrin-doktrin Islam tentang zakat, tapi menempatkan doktrin itu bukan sebagai entitas kaku, tapi entitas hidup, yang perlu menjadi sumber inspirasi muslim merespons persoalan-persoalan sosial yang terus berkembang.
Ketidakadilan dan kekerasan berbasis gender dengan berbagai bentuknya, seperti kekerasan rumah tangga, kekerasan seksual, perkawinan anak, kemiskinan perempuan hingga marjinalisasi transgender merupakan bentuk problem ketidakadilan sosial yang masih sangat masif di Indonesia.
Dengan dasar living zakat, kita akan bisa melihat intervensi lebih aktif lembaga-lembaga pengelola zakat terhadap persoalan seperti kekerasan berbasis gender. Pengelolaan zakat untuk empowering para korban ketidakadilan dan kekerasan berbasis gender menjadi salah satu contoh revolusioner praksis living zakat di Indonesia.
Gagasan living zakat bukan hanya di level responsif dan keterbukaan pada persoalan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Menempatkan zakat sebagai sebuah sistem dalam realitas sosial memberi pemahaman bahwa tidak semua persoalan sosial harus menjadi beban Islam sepenuhnya. Zakat hanya satu dari sekian banyak sistem sosial yang memiliki tujuan pengelolaan sumber daya untuk pemberdayaan.
Living zakat menuntut manajemen zakat membuka diri untuk bersedia bekerja sama, berbagi 'sumber daya', dengan pihak-pihak lain, baik negara yang bertanggung jawab mengadministrasi pajak atau lembaga-lembaga bisnis yang mengelola dana sosial (corporate social responsibility). Living zakat mendorong pengelola zakat berinisiatif aktif membangun kolaborasi.
Terkait kekerasan berbasis gender, lembaga pengelola zakat bisa membangun kerja sama dengan lembaga-lembaga pendamping korban yang sering mengalami kesulitan pendanaan dalam melakukan kerja pendampingan. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sudah mulai mempraktikkan living zakat dengan aktif merespons dan memberikan bantuan melalui lembaga-lembaga program seperti BAZNAS Tanggap Bencana (BTB), Rumah Sehat BAZNAS (RSB), dan Divisi Kemanusiaan, BAZNAS bergerak cepat memberikan bantuan tanpa pandang bulu.
Living zakat menjadi jalan sekaligus sumbangan penting Islam dan kaum muslim menghadirkan semesta yang dipenuhi rahmat bagi semua penghuninya. Itulah Islam humanis yang bisa 'dinikmati' dalam kenyataan sosial, tidak berhenti sebagai tagline doktrinal. Gerakan cinta zakat atau loving zakat perlu ditransformasi lebih lanjut menjadi gerakan living zakat.
Jaga lisanmu! Temukan cara menjaga lisan menurut Islam agar terhindar dari dosa ghibah, fitnah, dan perkataan buruk lainnya. Tips praktis ada di sini!
Suami istri ideal dalam Islam? Temukan peran & tanggung jawab masing-masing! Tips harmonis & berkah di keluarga Islami. Klik sekarang!
Oleh karena itu, Prabowo mengingatkan pemimpin negara Islam untuk tidak mudah dipengaruhi oleh pihak yang ingin mengadu domba.
Said Aqil mengingatkan pentingnya membangun koneksi ruhani yang mendalam dengan Allah di tengah dunia yang semakin sekuler.
Remisi khusus (RK) narapidana dan pengurangan masa pidana pada Nyepi dan Idulfitri mampu menekan pengeluaran pemerintah untuk biaya makan warga binaan sampai Rp81 miliar lebih
KEMENTERIAN Agama terus memperkuat kajian terkait integrasi Islam dan sains, terutama dalam konteks kedokteran dan kesehatan masyarakat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved