Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Kontes(aksi) Dahulu, Kontestasi Kemudian

Ferdi Setiawan S TP, Mahasiswa pascasarjana ilmu komunikasi politik Universitas Paramadina
08/10/2022 19:15
Kontes(aksi) Dahulu, Kontestasi Kemudian
Ferdi Setiawan(Dok pribadi)

SATU tahun lagi masa pendaftaran pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada pemilu pemilihan presiden (pilpres) 2024 akan dibuka pada 19 Oktober 2023. Aksi tebar pesona hingga aktivitas politik sejumlah nama kuat bakal capres 2024 semakin marak di media massa mainstream dan media sosial. 

Bahkan tak jarang ajang pencitraan mereka lakukan dengan memanfaatkan waktu kegiatan resmi sesuai kapasitasnya sebagai pejabat publik. Hasil survei terbaru lembaga CSIS Indonesia merilis elektabilitas figur capres, peringkat kandidat tidak jauh berbeda dengan beberapa lembaga survei lainnya. Nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan masih menempati posisi teratas. Disusul di papan tengah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, dan Menteri BUMN Erick Thohir. 

Sementara tak pernah beranjak di posisi papan bawah seperti Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Ketua DPR RI Puan Maharani, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar. Survei dilakukan di 34 provinsi pada 8-13 Agustus 2022 dengan populasi survei penduduk Indonesia berusia 17-39 tahun.

Tak hanya tiga nama figur politik dengan tingkat elektabilitas tertinggi versi sejumlah lembaga survei yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, safari politik guna mendulang popularitas juga dilakukan oleh sejumlah petinggi parpol seperti Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani. 

Mengacu peribahasa berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang senang kemudian, ternyata tidak paralel tidak dengan aksi blusukan dan tebar citra yang belakangan sering dilakukan oleh sejumlah bakal kandidat capres. Kebanyakan justru kontes(aksi) dahulu, kontestasi kemudian. Pemandangan mereka di media massa arus utama (mainstream) maupun media sosial yang tersirat adalah bersenang-senang dahulu melalui sejumlah aksi, baru bersakit-sakit kemudian pada saat genderang konstestasi pilpres sudah resmi ditabuh (dibuka). 

Fenomena lain juga terjadi di kalangan figur yang masuk papan menengah dan papan bawah elektabilitas capres. Entah sadar atau tidak, mereka justru mengaktualisasikan jati dirinya sebagai pribadi yang berambisi untuk memperoleh dukungan publik, dan dengan tujuan meraih simpati dari masyarakat atau komunitas yang didatanginya. 

Nampaknya manajemen komunikasi politik sangat dioptimalkan para figur politik dan pejabat publik saat blusukan, atau menemui basis atau komunitas calon pendukungnya. Menurut Yusuf dan Ridwan dalam Dedi Sahputra (2020), inti dari komunikasi adalah menekankan manajemen komunikasi yang mengacu pada terciptanya dialog dua arah sekaligus melahirkan pertukaran informasi dari sebuah komunikasi. Terbukti selain untuk menunjang kegiatan sehari-hari, komunikasi politik mulai dilakukan sejumlah nama kandidat untuk berdialog dengan masyarakat. 

Modal murah meriah

Tidak bisa dipungkiri bahwa pada saat ini media sosial (medsos) telah menjadi cara jitu, praktis bahkan murah bagi masyarakat dalam berkomunikasi. Kehadiran medsos telah membawa dampak yang sangat signifikan dalam cara melakukan komunikasi. Banyaknya jumlah pengguna di Indonesia tak ayal merupakan keuntungan luar biasa, dan menjadi kesempatan tersendiri dalam mengoptimalkan fungsi medsos sebagai media komunikasi para kandidat jelang pilpres.

Lembaga We Are Social dalam Nasrullah (2015) mempublikasikan hasil risetnya bahwa pengguna internet dan media sosial di Indonesia cukup tinggi. Ada sekitar 15% penetrasi internet atau 38 juta lebih pengguna internet. Dari jumlah total penduduk, ada sekitar 62 juta orang yang terdaftar serta memiliki akun di facebook. 

Riset tersebut juga menunjukkan bahwa rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan waktu hampir 3 jam untuk terkoneksi dan berselancar di medsos melalui perangkat telepon genggam. Potensi inilah yang getol dimanfaatkan sejumlah kandidat bakal capres-cawapres guna mendulang popularitas di dunia maya (seluruh platform medsos). Aksi mereka tersebut selalu menarik publik, tak terkecuali bagi generasi pemilih muda. 

Sebuah penelitian disertasi yang dilakukan pakar politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menunjukkan aktivitas medsos tidak signifikan terhadap peningkatan elektabilitas. Artinya berdialetika dan beretorika di medsos tidak menjamin akan meningkatkan elektabilitas, meski bisa lebih populer. 

Terbukti dari hasil sejumlah lembaga survei, figur yang memiliki follower (pengikut) banyak di medsos tingkat elektabilitasnya masih menduduki papan tengah. Sepuluh nama besar figur poltik yang disebut memiliki kans pada pilpres, telah memiliki akun medsos dengan perbandingan follower yang beragam baik di akun instagram, facebook dan twitter

Di instagram misalnya, pada minggu ini empat nama dengan pengikut jutaan yaitu Ridwan Kamil (19,2 juta), Sandiaga Uno (8,5 juta), Anies Baswedan (5,8 juta), dan Prabowo Subianto (5,1 juta). Kemudian disusul Ganjar Pranowo (5,2 juta), Agus Harimurti Yudhoyono (5,3 juta), Muhaimin Iskandar (2,4 juta), Erick Thohir (2,3 juta), Puan Maharani (1,6 juta), dan Andika Perkasa (13,1 ribu). Faktanya, yang selalu masuk survei elektabilitas tiga besar adalah Ganjar, Prabowo, dan Anies kendati memiliki follower jauh di bawah Ridwan Kamil dan Sandiaga.

Drama serupa tapi tak sama

Sebuah teori klasik dramaturgi (Goffman, 1959) yakni sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Situasi dramatik yang seolah-olah terjadi di atas panggung sebagai ilustrasi untuk menggambarkan individu-individu dan interaksi yang dilakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Berkaca dari pilpres sebelumnya (2014 dan 2019), teori dramaturgi terbukti sangat ampuh dalam meraih simpati dan dukungan dari publik. Para kandidat ibarat memainkan sebuah pertunjukkan di panggung baik panggung depan (front stage) dan belakang panggung (back stage). 

Jika diamati ada kemiripan alur drama yang dijalani oleh Anies dalam menatap piplres 2024, dan yang dialami Joko Widodo pada saat pilpres 2014. Tahapan menuju Istana antara Anies dan Jokowi sama-sama berangkat Kebon Sirih alias sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bahkan jika ditarik mundur pada pilkada DKI 2012, ada peran Prabowo di balik kisah sukses Jokowi menduduki singgasana Balaikota. 

Hal tersebut juga terjadi pada Anies yang juga mendapat amanah dan mandat dari Prabowo untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017. Kesamaan lain adalah pada pilpres 2019, Jokowi dicalonkan lebih awal sebagai capres oleh Partai NasDem. Hal serupa dialami Anies yang juga dicalonkan NasDem lebih awal pada Senin (3/10). 

Berharap Jokowi effect 

Namun, apakah fenomena Jokowi effect akan dialami juga oleh Anies (Anies effect), tentu harapan inilah yang diinginkan NasDem. Hanya saja kondisi dan realita politik hari ini berbeda dengan pada saat munculnya fenomena Jokowi effect. Butuh kerja keras untuk mewujudkan Anies effect agar bisa sedahsyat fenomena Jokowi effect, bahkan bisa berdampak sangat nyata bagi popularitas dan elektabilitas NasDem sebagai parpol pengusung Anies. 

Hal tersebut bukan tidak mungkin terjadi mengingat kepiawaian sang king maker, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. Surya patut diakui sangat menentukan barometer politik Tanah Air setidaknya dalam 15 tahun terakhir. Surya tentu sudah mempertimbangkan dengan sangat matang terkait pencalonan Anies. Terlebih kemunculan nama tersebut telah melalui proses demokratisasi yang sangat luar biasa; dari usulan kader NasDem di seluruh Indonesia. Suatu manifestasi suara rakyat yang terwakili melalui NasDem.

Usai Anies paripurna sebagai Gubernur DKI Jakarta (16 Oktober 2022), NasDem harus langsung gaspol untuk mengokohkan dan membumikan politik gagasan kebangsaan yang selama ini disuarakan partai. Termasuk dalam menyelaraskan arah politik Anies sehingga bisa memberikan efek elektoral di masyarakat. Hal ini berarti pengukuhan citra Anies adalah Partai NasDem dan Partai Nasdem adalah Anies, menjadi sangat urgen dan penting untuk mendapatkan efek domino (efek ekor jas) semakin besar buat Nasdem. 

Namun patut diwaspadai jika NasDem gagal dalam meleburkan identitas politik Anies dengan politik gagasan besar partai, dikhawatirkan tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan elektoral partai di akar rumput kader maupun masyarakat. Atau bahkan bisa berdampak buruk terhadap tingkat elektabilitas NasDem.

Tentu sejumlah langkah pasti sudah masuk hitungan NasDem, mengingat partai ini piawai memainkan bandul politik nasional. Pada pemilihan umum (pemilu) 2014, sebagai partai baru, NasDem mengejutkan dengan meraih 36 kursi DPR RI (setara 6,72%). Lima tahun kemudian meningkat menjadi 59 kursi (9,05%) atau ada peningkatan 24 kursi dari sebelumnya. Ketepatan mengolah isu-isu krusial sudah pasti akan memberi dampak nyata pada langkah NasDem. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya