Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
DUNIA pendidikan Indonesia mengalami transformasi signifikan di bidang teknologi sejak pandemi dua tahun lalu. Ketika sebelumnya hanya dikenal sebatas teori, namun saat pembelajaran daring, teknologi pun mulai dikenal secara praktis.
Dampaknya, baik guru maupun siswa saat ini sudah tidak lagi mengalami kegagapan saat melakukan teleconference maupun video streaming. Hal itu terjadi karena mereka sudah terbiasa menjalankan saat periode online learning lalu.
Pertanyaan baru pun muncul saat ini; setelah teknologi menjadi bagian baru dalam sistem pendidikan, bagaimana mendesain kurikulum pascapandemi? Setiap lembaga memiliki tujuan pembelajarannya masing-masing yang berbeda satu sama lain sesuai dengan visi misi yang telah ditetapkan. Menggunakan platform teknologi sangat bergantung dari apakah selaras dengan tujuan pembelajaran atau tidak, dan termasuk juga dari anggarannya. Karena jika platform yang digunakan tersebut berbiaya tinggi sementara tidak sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, akibatnya penyerapannya rendah dengan hasil pencapaian yang tidak mencapai sasaran.
Mendesain ulang kurikulum pendidikan haruslah mendorong kolaborasi antara guru dan orang tua, karena peran orang tua sangat krusial dalam menerapkan teknologi pembelajaran. Di masa pandemi, siswa bisa dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang bisa mengakses internet dan memiliki perangkatnya (laptop atau smartphone). Kedua, mereka yang memiliki perangkat tapi tidak bisa mengakses internet. Sedangkan kategori ketiga adalah mereka yang tidak memiliki keduanya.
Untuk kategori pertama, platform apapun bisa digunakan baik zoom, google meets, microsoft teams dan sebagainya. Untuk kelompok kedua, desain model pembelajarannya adalah dalam bentuk video. Mereka tidak perlu akses internet, yang penting mereka bisa menonton video pembelajaran yang dikirimkan dari pihak sekolah. Sedangkan kelompok ketiga, tantangannya lebih berat karena mereka tidak punya perangkat dan akses. Solusinya, guru akan mengajar secara door to door sambil membawa perangkat dan akses internet. Bahkan di beberapa sekolah, ada juga guru yang menggunakan walkie talkie dan berinisiatif membuat radio mini.
Semua kategori siswa tersebut membutuhkan peran orang tua karena guru tidak bisa menyentuh langsung siswa di kelas. Mereka membutuhkan mata dan telinga orang tua untuk membantu efektivitas penerapan teknologi saat belajar di rumah agar bisa berjalan dengan maksimal. Karena pada saat itu, desain kurikulum masih bersifat sementara untuk beradaptasi terhadap kondisi pandemi yang mengharuskan masyarakat berada di rumah.
Kurikulum pascapandemi
Generasi alpha yang hidup saat ini adalah generasi yang lahir di awal 2010 sehingga sejak kecil mereka sudah hidup berdampingan dengan teknologi. Pemandangan lumrah jika melihat anak berumur 4 atau 5 tahun begitu piawai memainkan gawai orang tuanya dan menyetel kanal Youtube yang mereka sukai tanpa meminta bantuan siapapun. Bahkan mereka juga terbiasa mengunduh permainan-permainan di aplikasi tanpa harus minta izin pada orang tuanya. Hal ini disebabkan karena generasi ini memang mengenal teknologi dari umur sangat dini.
Pendidik di zaman sekarang, khususnya yang menangani generasi alpha, memiliki tantangan tersendiri karena mereka (guru) harus menyiapkan kompetensi yang basisnya tidak saja pembelajaran secara nyata di ruang kelas, tapi juga terbiasa dengan teknologi. Karena itu, rumusan baru untuk kurikulum pascapandemi (mau tidak mau) harus melibatkan teknologi sebagai alat bantunya.
Berbagai platform digital seperti email, video call, chat dan lainnya sudah mulai menjadi budaya baru sebagai pengganti kertas. Bahkan sekolah pun harus bisa menyediakan teknologi antiplagiarisme sebagai pengganti penilaian manual, yang selama ini cukup menghabiskan waktu dan tenaga dengan hasil yang juga kurang optimal.
Desain kurikulum berbasis teknologi juga harus memperhatikan banyak faktor. Selain anggaran, faktor siswa yang tidak punya akses internet dan perangkat menjadi tantangan tersendiri, termasuk guru-guru yang berada di daerah nonperkotaan yang adopsi terhadap teknologinya masih cukup rendah. Selain itu, perlu juga dirumuskan sistem evaluasi dan monitoring sekolah sehingga dapat meningkatkan produktifitas di sekolah untuk bekerja lebih fleksibel, dan sesuai target tanpa harus dibebani dengan administrasi.
Dengan begitu kurikulum sekolah dituntut untuk bisa mempersiapkan lulusan siswa agar mampu memanfaatkan teknologi untuk menciptakan hal-hal yang baru dan belum pernah dipikirkan sebelumnya. Kompetensi guru pun diharuskan dapat mengajarkan materi sesuai kurikulum sekolah dengan media teknologi/platform dalam hal penyampaian materi, kelas virtual, penilaian, komunikasi dan proyek siswa. Hal ini membuat proses belajar mengajar menjadi menyenangkan, kreatif, inovatif dan tidak terbatas untuk siswa dalam mengakses sumber belajar sebanyak-banyak.
Namun di atas itu semua, teknologi hanyalah sebuah support system, dan bukan pengganti guru sebagai pemeran utama dalam sistem pendidikan kita. Biar bagaimanapun, tugas guru adalah transfer of value, dan bukan sekadar transfer of knowledge. Secanggih apapun sebuah teknologi, tidak akan mampu membentuk karakter anak menjadi lebih baik. Mereka butuh sentuhan humanis, bukan artifisial. Karakter anak didik tidak ditentukan oleh platform apa yang digunakan, tapi lebih kepada guru seperti apa yang mengajarkan.
Karena itulah desain kurikulum pascapandemi, selain berbasis teknologi, yang paling utama tetap harus berbasiskan 4 kompetensi; kemampuan berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi, sehingga dapat menghasilkan para pembelajar berkarakter kuat dan inovatif.
Kemendikbudristek sudah terlanjur menganggarkan Rp3,58 triliun untuk proyek TIK ini. Lalu, ada juga pengadaan DAK senilai Rp6,3 triliun.
Dukungan dari berbagai pihak, baik itu pemerintah, swasta, maupun masyarakat, sangat penting dalam membangun ekosistem pendidikan yang mendukung perkembangan anak secara holistik.
Selama 10 tahun terakhir, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia mengalami tren peningkatan dari 68,90 pada tahun 2014 menjadi 73,55
Melalui perhelatan tersebut Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Kemendikbud-Ristek berhasil menunjukkan capaian baik dari karya artistik anak bangsa.
Modena juga telah berupaya untuk mengintegrasikan praktik-praktik bisnis berkelanjutan dengan berinvestasi di berbagai program pengembangan sumber manusia dan pemanfaatan teknologi.
FHI menjadi wadah bagi warga negara asing untuk mengasah kemahiran dan kreativitas mereka dalam menggunakan bahasa Indonesia. Puncak FHI 2024 yang berlangsung meriah pada Jumat (30/8) di Bali
Ing madya mangun karsa, hampir tidak pernah diterapkan dalam diktum skema kebijakan pendidikan nasional.
Kurikulum tematik pengelolaan sampah sebagai muatan lokal ini kini diimplementasikan hingga ke hamper 1.600 sekolah.
Kemendikdasmen akan tetap memberikan komitmen untuk menyelaraskan agenda nasional dengan program prioritas SEAMEO 2021 - 2030, di antaranya melalui 13 tahun wajib belajar
Keselarasan kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) menjadi langkah strategis dalam menekan angka pengangguran.
Jika generasi muda Indonesia tidak tertarik pada sains, tentu akan membuat semakin tertinggal dalam persaingan global.
Program One School for Five Families in Gaza, sebuah program bantuan finansial bulanan bagi keluarga di Gaza yang kehilangan segalanya akibat genosida.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved