Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Guru Menyibak Refleksi

Fuad Fachruddin Dewan Pengawas Yayasan Sukma
05/9/2022 05:10
Guru Menyibak Refleksi
(Dok. Pribadi)

DALAM artikel Calak Edu di Media Indonesia (25/7) berjudul Penyiapan Guru Abad 21, saya menyebutkan bahwa pendidikan guru abad 21 adalah memberi berbagai kemampuan yang diperlukan dalam pendidikan era ini, antara lain kemampun reflektif. Refleksi berasal dari bahasa Latin, refectere, yang secara harfiah berarti ‘menengok ke belakang’ (Jay, 2004: 11).

Makna refleksi beragam, bergantung pada sudut pandang yang digunakan seseorang. Refleksi mencakup beberapa pengertian ‘melihat ke belakang untuk maju ke depan’, ‘belajar dari kesalahan’, ‘urgensi melakukan perbaikan terhadap apa yang dilakukan’, ‘memikirkan dan menggali informasi, imaji, dan lainnya’ (Harris, Bruster, Peterson, Shutt, 2010: 2).

 

Makna refleksi

Dari kata-kata yang terselimut dalam refleksi, kita dapat menarik dua makna besaran, yaitu berpikir secara dalam dan becermin/berkaca dari yang kita lakukan (Bassot, 2016: 1). Pertama, refleksi memikirkan apa yang seseorang lakukan secara mendalam. Refleksi mencakup proses kontemplasi dengan sikap terbuka terhadap perubahan, bersedia atau berkemauan belajar dan bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.

Refleksi menyuguhkan tantangan (Jay, 2003: 1). Refleksi merupakan kajian sistematik untuk memperbaiki dan menggali pemahaman kita secara dalam tentang apa yang dilakukan. Sistematik berarti menggunakan teori untuk memperkuat pemahaman kita tentang apa yang dilakukan. Dengan kata lain, refleksi adalah sarana penting untuk menerapkan teori dalam praktik profesional (Bassot, 2016: 2).

Kedua, refleksi adalah becermin ke pengalaman yang memberi informasi tentang apa yang dilakukan, membuat kita belajar dari apa yang terjadi ketika kita melakukan kegiatan dan mempelajari serta membuat keputusan yang terkini dan cerdas tentang apa yang dilakukan, kapan, dan mengapa hal tersebut dilakukan (Jay, 2003: 14).

Ketika penulis membicarakan refleksi dalam pendidikan, seperti guru reflektif, pembelajaran reflektif, dan sejenisnya, mereka selalu merujuk kepada karya John Dewey pada 1930-an dan Donald A Schon (1983; 1987). Padahal kegiatan yang mencerminkan refleksi telah ada dalam kehidupan manusia. Praktik refleksi termasuk kegiatan keagamaan seperti mindfulness, ‘meditasi’, ‘sembahyang’ (Ewing, Waugh, Smith, 2022: 4) telah tersisih dari kehidupan.

Padahal praktik refleksi tersebut mengandung makna dan pengertian lebih dalam. Langkanya karya-karya tulis dan pengenalan karya-karya lama membuat ide refleksi dalam perspektif Barat menjadi menonjol. Tulisan dalam perspektif Barat lebih menekankan ‘berpikir,’ sementara beberapa bentuk refleksi dalam tradisi dunia Timur (Ewing, Waugh, Smith, 2022: 5) seperti mengosongkan pemikiran membawa seseorang kepada pemahaman yang jauh lebih mendalam dan bukan proses aktif berpikir semata.

 

Refleksi bagi guru

Berkaitan dengan peran refleksi untuk guru, Dewey (1933) menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk meningkatkan belajar murid ialah meningkatkan kuantitas dan kualitas belajar secara real (Dewey, 1933; 33). Salah satu tanda dari jenis belajar yang dimaksud ialah kemampuan reflektif terhadap gambaran utama tentang pertumbuhan dan pengembangan profesi belajar (Darling-Hammond & Sykes, 1999).

Refleksi mencerminkan cara guru menumbuhkan dan belajar dari praktik dan pengalaman yang tengah berlangsung dan sangat sesuai dengan dunia kelas yang berubah secara konstan. Refleksi membantu guru mengembangkan kemampuan dan orientasi guru dalam membuat keputusan yang terbarukan dan cerdas tentang apa yang dilakukan, kapan melakukan, dan mengapa harus dilakukan. Refleksi merupakan bagian kritis dari mengajar dan belajar guru secara efektif (Jay, 2004: 3).

Refleksi merupakan jantung dari mengajar bermutu (Jay 2003: 2). Dengan merefleksi, kita menjadi lebih terampil dalam mengajar, mampu dan menjadi guru yang lebih baik (Zeichner, Liston, 2014: 10). Mengajar adalah panggilan hati. Mengajar berkaitan dengan siswa dan membangun dunia yang lebih baik (Barth, 2001; Intrator, 2002). Mengajar berhubungan dengan manusia, kontribusi dan harapan, serta berkaitan dengan hati.

Oleh sebab itu, fondasi refleksi hendaknya muncul dari komitmen emosi guru dan refleksi muncul dari hati (Jay, 2003: 138). Praktik refleksi bagi guru adalah untuk memperkuat keputusan profesional, memberikan sarana untuk belajar dan mengembangkan kemampuan profesional, juga meningkatkan atau mempromosikan kemandirian dan integritas guru/pengajar (perguruan tinggi) serta sarana memperbaiki mengajar dan meningkatkan mutu pendidikan (Ashwin et all., 2016: 8).

Penerapan refleksi mendorong guru melakukan review terhadap pengalaman belajar untuk melakukan perbaikan. Refleksi kritis membawa kita untuk terlibat secara emosional dan siap mempertanyakan asumsi yang kita buat tentang orang dan situasi. Oleh karena itu, mengenali isu kekuasaan dalam relasi profesi dan organisasi bahkan dalam pekerjaaan kita menjadi penting (Bassot, 2016: xii).

Pengembangan praktik refleksi merupakan komponen penting dari pengembangan kemampuan profesional untuk mempersiapkan guru menghadapi tantangan dan kompleksitas kelas pada abad 21, menjadi pembuat keputusan yang efektif dengan landasan pemikiran bagaimana menerjemahkan ilmu pedagogi dalam kelas. Kemampuan mempertanyakan ‘mengapa guru mengajar?’ hendaknya dihubungkan dengan pengembangan pengetahuan, konteks, seni, dan nalar reflektif. Dengan demikian, penerapan refleksi berhubungan dengan otonomi, pemberdayaan, dan pengajaran yang bermutu (Zwozdiak-Myers, 2012: xii).

Refleksi menjadi fokus dalam meningkatkan standar pendidikan dan memaksimalisasi potensi belajar anak-anak didik kita. Mutu guru menjadi variabel utama yang memengaruhi hasil belajar siswa (OECD, 2005: 2) dan karakteristik guru dalam jenjang karier hendaknya dibangun berdasarkan konsep mengajar sebagai praksis, yaitu teori, praktik, dan kemampuan refleksi kritis terhadap apa yang dilakukan oleh dirinya dan orang lain dapat memberi masukan yang berharga (ETUCE, 2008: 26). Hal ini memerlukan guru yang dapat menentukan relevansi pengetahuan baru, fleksibel, kreatif dan adaptif terhadap perubahan, sikap keingintahuan dan kemampuan mempertanyakan secara cerdas dunia tempat mereka tinggal dan bekerja (Zwozdiak-Myers, 2012: xi).

 

Tantangan refleksi

Kehidupan keseharian sekolah tidak mempromosi refleksi. Ritme dan struktur sekolah kini, pelaksanaan reformasi, dan waktu yang terbatas telah memengaruhi pelaksanaan refleksi. Para pendekar refleksi dihadapkan pada tantangan; bagaimana mendorong kegiatan reflektif dalam situasi yang tidak mendukung. Ada beberapa faktor, yaitu sekolah dibangun berdasarkan ‘model pabrik’, birokratis, mengontrol waktu dan kegiatan, model instruksi dari atas ke-bawah dalam pembuatan keputusan administratif, menguatkan struktur kekuasaan dan isu politik yang memengaruhi kehidupan sekolah, termasuk komunikasi yang tidak efektif, beban kerja yang berlebihan, isolasi dan perasaan yang tidak berdaya di kalangan guru. Walaahu‘alam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya