Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
BEBERAPA hari belakangan ini, banyak beredar pemberitaan terkait dengan kenaikan harga beberapa bahan pangan di Tanah Air, seperti telur dan cabai. Pemberitaan terkait tren kenaikan harga bahan pangan di pasar domestik ini tampaknya akan terus marak, khususnya menjelang perayaan Hari Raya Idul Adha. Ketahanan pangan adalah isu yang selalu menjadi bahan perbincangan publik, khususnya terkait dampak pandemi covid-19 serta invasi Rusia terhadap Ukraina.
Belum lagi, masalah klasik yang selalu menjadi bahan perdebatan di kalangan para pemangku kebijakan. Di antaranya, kerentanan ketersediaan pangan akibat perubahan iklim, demografi, urbanisasi, hingga hal yang terkait masalah kesehatan. Kompleksitas permasalahan pangan ini perlu menjadi perhatian seluruh pihak agar pemenuhan kebutuhan pangan dapat terealisasi sehingga terhindar dari krisis pangan.
Ancaman kenaikan harga pangan sebenarnya sudah disoroti oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam kegiatan Media Briefing di akhir Mei 2022. Dalam rilis persnya, CSIS mengingatkan semua pihak bahwa tren kenaikan harga pangan dan komoditas di pasar global mulai terlihat sejak 2021. Peningkatan permintaan pangan telah terjadi seiring dengan pemulihan ekonomi dunia yang ditopang oleh kebijakan fiskal yang ekspansif. Tekanan terhadap harga pangan dan komoditas dunia pun semakin kuat akibat adanya hambatan di sisi produksi dan distribusi. Termasuk konflik Rusia-Ukraina, tren pelarangan ekspor pangan di beberapa negara, serta perubahan iklim yang tidak menentu.
Dari perspektif dalam negeri, kelangkaan beberapa bahan pangan beberapa waktu lalu, khususnya minyak goreng, serta peningkatan harga beberapa komoditas pangan baru-baru ini, seperti telur dan cabai, menjadi peringatan bagi seluruh pihak, bahwa ketidakseimbangan pasar sedang terjadi. Kondisi ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah sebagai pihak yang punya wewenang untuk meredam distorsi pada komoditas pangan tersebut. Tentu, kita semua berharap tidak akan ada lagi kebijakan ‘asal bunyi’ (asbun) dalam pengelolaan harga bahan pangan, seperti minyak goreng, di pasar domestik beberapa waktu lalu. Yang justru kita harapkan bersama ialah kebijakan pangan yang presisi dan terukur agar masyarakat tidak terbebani dengan kelangkaan dan tingginya harga pangan.
Pangan dan tekanan inflasi
Tren kenaikan harga pangan di Indonesia, yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, berdampak pada meningkatnya tingkat inflasi. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau pada Mei 2022 menjadi kelompok pengeluaran yang memiliki andil terbesar terhadap inflasi secara umum. Kelompok ini mengalami peningkatan sebesar 4,8% (ytd) berdasarkan tahun kalender dan 5,62% (yoy) secara tahunan di bulan Mei 2022.
Kondisi tersebut sekaligus penanda bahwa kelompok ini memiliki peningkatan inflasi yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan kelompok lainnya. Secara umum, tingkat inflasi tahun kalender sudah mencapai 2,56% (ytd) dan inflasi dari tahun ke tahun mencapai 3,55% (yoy). Tingkat inflasi ini relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat inflasi beberapa tahun terakhir. Tingkat inflasi diperkirakan akan semakin tinggi pada bulan-bulan berikutnya sejalan dengan perkembangan ekonomi global dan domestik.
Untuk meredam peningkatan inflasi itu diperlukan langkah cepat dan terukur agar tingkat inflasi tetap terkendali dan sesuai dengan target Bank Indonesia di kisaran 2%-4%. Penyesuaian BI 7DRR yang tidak pernah berubah sejak 18 Februari 2021 di level 3,5% tampaknya menjadi pilihan yang wajar di tengah tekanan suku bunga The Fed yang secara bertahap terus meningkat akibat tingkat inflasi Amerika Serikat yang cederung tidak terkendali, serta harga-harga komponen inflasi di dalam negeri. Khususnya, pangan dan transportasi, yang terus menunjukkan tren peningkatan.
Pemerintah pun, dalam hal ini Kementerian Keuangan, tampaknya juga tidak mau kehilangan momentum pemulihan ekonomi dengan menjaga stabilitas inflasi di angka maksimum 4% di tahun 2022. Skema perlindungan sosial pun sepertinya tetap menjadi andalan demi menjaga daya beli masyarakat terhadap bahan pangan, khususnya masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Meskipun begitu, dalam implementasinya, pemerintah tetap perlu memastikan agar defisit APBN dapat terus ditekan sedemikian rupa. Dengan demikian, di tahun 2023 rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto (PDB) dapat kembali berada di bawah 3%. Hal itu pastinya perlu kerja keras untuk menjamin terjadinya perbaikan alokasi dan efisiensi APBN demi kesejahteraan masyarakat.
Peran Badan Pangan Nasional
Terkait dengan antisipasi kenaikan harga pangan yang rentan mengakibatkan terjadinya krisis pangan secara nasional, tampaknya perlu menjadi catatan serius bagi lembaga baru yang secara khusus melaksanakan tugas pemerintah di bidang pangan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 66/2021, yakni Badan Pangan Nasional (Bapanas). Lembaga yang dibentuk sebagai amanat Undang-Undang (UU) No 18/2012 ini sudah seharusnya melakukan gebrakan untuk merevitalisasi tata kelola pangan di dalam negeri. Khususnya, dalam konteks memastikan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yakni pangan, yang lebih adil, merata, dan berkelanjutan.
Sejak dilantiknya Kepala Badan Pangan Nasional oleh Presiden Jokowi pada Februari 2022, belum tampak adanya sebuah terobosan dalam tata kelola pangan di Indonesia. Dalam jangka pendek, tentunya institusi itu perlu melakukan konsolidasi dengan beberapa kementerian teknis yang selama ini memiliki peran penting dalam tata kelola pangan. Dengan kementerian Perdagangan, misalnya, yang selama ini bertanggung jawab terkait stabilisasi harga dan distribusi pangan, termasuk kebijakan ekspor dan impor pangan. Kemudian dengan Kementerian Pertanian, yang memiliki fokus dalam menjaga produksi dan cadangan hasil pertanian, termasuk penetapan harga pembelian terhadap petani. Belum lagi, dalam kaitannya dengan peran Badan Urusan Logistik (Bulog) yang memiliki tanggung jawab di bidang logistik pangan.
Transformasi tata kelola kebijakan pangan dari beberapa kementerian/lembaga negara ke Badan Pangan Nasional pastinya memang memerlukan waktu. Namun, kita semua berharap Badan Pangan Nasional mampu membangun sistem tata kelola pangan nasional yang moncer dan terintegrasi dengan baik. Dengan begitu, pilar-pilar ketahanan pangan dapat terealisasi, dari ketersediaan, akses, penggunaan, hingga stabilitas pangan.
Keberadaan ritel modern sebagai mitra pemerintah sangat strategis dalam memperluas akses pasar, memperpendek rantai distribusi, serta menjaga pasokan dan harga pangan yang terjangkau
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyatakan pemerintah akan akan menyalurkan sebanyak 10 ribu ton beras sebagai bentuk bantuan kemanusiaan ke Palestina.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebutkan bantuan pangan beras untuk periode Juni-Juli 2025 siap disalurkan kepada 18,3 juta penerima bantuan pangan (PBP).
Seluruh pengiriman ini dilakukan dalam skema Business to Business (B2B) antara petani jagung dan peternak layer yang difasilitasi oleh NFA untuk memperkuat rantai pasok jagung nasional.
Pemerintah akan memberikan perlindungan terhadap para petani dan peternak di dalam negeri seiring dimunculkannya rencana kebijakan penghapusan kuota impor oleh Presiden Prabowo Subianto.
Badan Pangan Nasional menegaskan bahwa beras yang didistribusikan kepada masyarakat harus dalam kondisi yang baik dan memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan.
BANK Indonesia(BI) mempertahankan suku bunga acuan atau BI rate di angka 5,50%. Keputusan itu diambil melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Juni 2025
LEMBAGA Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menilai Bank Indonesia perlu mempertahankan tingkat suku bunga acuan, BI Rate
Gigih mengatakan merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei silam, perekonomian Jatim pada Triwulan I-2025 tumbuh sebesar 5,00%.
Ekonom Bright Institute Awalil Rizky menilai inflasi yang rendah hingga terjadinya deflasi berulang merupakan indikasi negatif bagi perekonomian Indonesia.
KAD ini menurutnya untuk menjaga stabilitas pasokan khususnya untuk cabai dan bawang merah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi deflasi sebesar 0,37% pada Mei 2025. Angka ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di April 2025 yang mengalami inflasi 1,17%.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved