Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
DI kalangan masyarakat, sering muncul pendapat bahwa metode yang digunakan Muhammadiyah dalam pembuatan kalender Islam bersifat statis dan kurang responsif terhadap isu-isu kontemporer, bahkan global. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa metode hisab yang digunakan Muhammadiyah ialah hisab sederhana atau usang. Bahkan, juga dinyatakan pemikiran hisab Muhammadiyah tidak sesuai dengan sunah Rasulullah SAW dan dianggap bid'ah (lihat As-Sunnah, 07/VIII/1425 H/2004 M, p. 18-23). Pernyataan-pernyataan itu merupakan sikap kritis yang perlu direspons secara positif dan asertif. Oleh karena itu, pendekatan historis sangat relevan untuk digunakan dalam mengkaji persoalan tersebut.
Kalender Islam dalam lintasan sejarah
Dalam khazanah intelektual Islam, kalender Islam sering disebut dengan at-Taqwim al-Islamiy, at-Taqwim al-Qamary, dan at-Taqwim al-Hijriy. Umar ibn al-Khattab dianggap sebagai peletak dasar kalender Islam. Kehadiran kalender Islam didorong wilayah kekuasan pada masa Umar ibn al-Khattab sangat luas sehingga Umar sering melakukan surat-menyurat dengan para gubernur. Dalam surat-menyurat, Umar biasanya tidak menyebutkan tanggal di dalamnya. Kondisi ini mendorong Abu Musa al-Asy’ari mengusulkan perlunya sebuah sistem kalender yang dipedomani bersama.
Menurut para sejarawan, pada saat itu nama-nama bulan Kamariah, seperti yang dikenal sekarang (Muharam hingga Zulhijah), sudah dikenal dan digunakan masyarakat Arab pra-Islam. Bahkan, menurut Al-Biruni sebagaimana dikutip oleh Ali Hassan Musa bahwa nama-nama bulan Kamariah mulai dikenalkan sejak 412 M.
Selanjutnya Abd Mun’im Majid menginformasikan bahwa pada masa Rasulullah dan masa pemerintahan Abu Bakar, umat Islam menggunakan perhitungan tahun berdasarkan tahun nabi bertempat tinggal di Madinah. Hanya saja, kalender ini tidak berkembang bersifat lokal dan hanya digunakan masyarakat Hijaz. Sementara itu, Abu Musa al-Asy’ari menjadi gubernur di Kufah, sebuah wilayah yang jauh dari Hijaz, bahkan Kufah ialah bekas kekuasaan Persia yang memiliki kalender sendiri (M Solahudin, 2009).
Sebagaimana diuraikan di atas, wilayah kekuasaan Islam sangat luas yang meliputi daerah bekas kekuasaan Romawi (Bizantium) dan Persia. Wilayah bekas kekuasaan Romawi ialah Syam, sedangkan wilayah bekas kekuasaan Persia ialah Kufah dan Basrah. Romawi memiliki kalender yang sistem perhitungannya dimulai dari tahun kelahiran Nabi Isa. Begitu pula Persia, memiliki sistem kalender tersendiri dan pernah dipertahankan oleh Syah Iran Muhammad Reza Pahlevi.
Gagasan Abu Musa al-Asy’ari agar Umar ibn al-Khattab menetapkan kalender resmi, selain bertujuan untuk mempermudah korespondensi antara khalifah dan gubernur, juga untuk menyatukan sistem kalender Islam di wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Kalender ini dianggap sebagai peletak dasar kalender Islam global. Adanya kalender Islam yang mapan, akan membedakan sistem pemerintahan Islam dengan Romawi dan Persia. Selanjutnya, pada era dinasti Usmaniyah, keberadaan kalender Islam juga menjadi perhatian para sultan. Kalender Islam digunakan dalam segala urusan, seperti ekonomi, militer, dan keagamaan.
MI/Seno
Wujudul hilal: jalan tengah
Fakta sejarah membuktikan bahwa kehadiran hisab di dalam Muhammadiyah bukan semata-mata antitesis terhadap rukyat. Namun, lebih didorong etos keilmuan sebagaimana yang diisyaratkan baik dalam berbagai ayat Alquran maupun hadis. Dalam dokumen resmi Muhammadiyah dinyatakan bahwa untuk menentukan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tidak semata-mata dengan hisab, tapi juga digunakan rukyat, istikmal, dan persaksian (Putusan Tarjih di Medan 1939 M/1357 H).
Patut diketahui, berdasarkan data historis menunjukkan bahwa model hisab yang digunakan Muhammadiyah tidak tunggal, sebagaimana yang dipahami selama ini. Pertama, hisab yang digunakan Muhammadiyah ialah hisab hakiki dengan kriteria imkanur rukyat. Selanjutnya, Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki dengan kriteria ijtima’ qabla al-ghurub. Artinya bila ijtimak terjadi sebelum ghurub (sunset), malam itu dan keesokan harinya dianggap tanggal 1 bulan baru Hijriah. Namun, bila ijtimak terjadi setelah ghurub, malam itu dan keesokan harinya belum dianggap bulan baru Hijriah. Dengan kata lain, konsep ijtima’ qabla al-ghurub tidak mempertimbangkan posisi hilal di atas ufuk pada saat matahari terbenam. Teori ini digunakan Muhammadiyah sampai 1937 M/1356 H.
Pada 1938 M/1357 H, Muhammadiyah mulai menggunakan teori wujudul hilal. Langkah ini ditempuh sebagai "jalan tengah" antara sistem hisab ijtimak (qabla al-ghurub) dan sistem imkanur rukyat atau jalan tengah antara hisab murni dan rukyat murni. Karenanya, bagi sistem wujudul hilal metode yang dibangun dalam memulai tanggal satu bulan baru pada kalender Hijriah tidak semata-mata proses terjadinya ijtimak, tetapi juga mempertimbangkan posisi hilal saat terbenam matahari.
Setelah bertahun-tahun, teori wujudul hilal digunakan, Muhammadiyah melakukan kajian ulang agar teori yang digunakan sesuai dengan Alquran-as-Sunah dan tuntutan zaman melalui seminar dan munas. Pertemuan-pertemuan tersebut, hasilnya tetap memutuskan bahwa teori hisab hakiki wujudul hilal masih relevan digunakan Muhammadiyah.
Bahkan, kini konsep wujudul hilal juga digunakan di Saudi Arabia dalam menyusun kalender Ummul Qura dengan istilah wiladatul hilal. Dalam hisab hakiki wujudul hilal, bulan baru Kamariah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria berikut. Pertama, telah terjadi ijtimak (konjungsi). Kedua, ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan ketiga pada saat terbenam matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Ketiga kriteria ini digunakan secara kumulatif, dalam arti ketiga harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, bulan baru belum mulai (Pedoman Hisab Muhammadiyah, p. 78)
Penyimpulan tiga kriteria di atas dilakukan terhadap ayat-ayat Alquran (QS Yasin ayat 39-40) secara komprehensif dan interkonektif. Artinya, ayat-ayat tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi dihubungkan dengan ayat-ayat lain, hadis, dan konsep fikih lainnya, serta dibantu ilmu astronomi. Patut diketahui, kriteria wujudul hilal digunakan untuk menentukan awal bulan Kamariah sejak Muharam hingga Zulhijah, sebagaimana diisyaratkan dalam QS At-Taubah ayat 36. Hal ini menjadikan kalender Muhammadiyah mapan, konsisten, dan mencerahkan peradaban.
Kalender Muhammadiyah: dari nasional menuju global
Diskusi tentang kalender Islam global memperoleh perhatian para ulama dan astronom dunia. Tidak kurang dari 40 pertemuan digelar di berbagai negara. Salah satunya, Konferensi Internasional Penyatuan Kalender Islam di Istanbul Turki pada 28-30 Mei 2016/21-23 Syakban 1437. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari konferensi sebelumnya pada 18-19 Februari 2013/8-9 Rabiul Akhir 1434 di tempat yang sama.
Dalam konferensi 2016 M/1437 H ini diusulkan dua konsep kalender Islam yang telah dikaji oleh Scientific Committee, yaitu Kalender Islam Bizonal dan Kalender Islam Terpadu. Setelah melalui diskusi yang panjang akhirnya peserta konferensi memilih Kalender Islam Terpadu melalui voting sebagai kalender yang dijadikan rujukan untuk diimplementasikan dengan ketentuan sebagai berikut: pertama, seluruh kawasan dunia dipandang sebagai satu kesatuan, bulan baru dimulai pada hari yang sama di seluruh kawasan dunia tersebut.
Kedua, bulan baru dimulai apabila di bagian mana pun di muka bumi sebelum pukul 24.00 (pukul 00:00) Waktu Universal (WU)/GMT telah terpenuhi kriteria berikut: jarak sudut antara matahari dan bulan (elongasi) pada waktu matahari terbenam mencapai 8 derajat atau lebih, dan ketinggian hilal di atas ufuk saat matahari terbenam mencapai 5 derajat atau lebih.
Ketiga, apabila kriteria pada poin 2 di atas terjadi setelah pukul 00:00 WU/GMT, bulan baru tetap dimulai dengan ketentuan (a) apabila imkanur rukyat hilal menurut kriteria Istanbul 1978 sebagaimana dikemukakan di atas telah terjadi di suatu tempat mana pun di dunia dan ijtimak di Selandia Baru terjadi sebelum fajar, dan (c) imkanur rukyat tersebut (sebagaimana pada huruf a) terjadi di daratan Benua Amerika (Syamsul Anwar, 2020, p. 240).
Salah satu konsep yang menarik dalam kalender Islam global hasil Turki 2016/1437 ialah “tidak menahan wilayah yang sudah masuk untuk memulai awal bulan Kamariah, dan tidak memaksa wilayah yang belum masuk untuk memulai awal bulan Kamariah”. Konsep yang adil dan berimbang serta menghargai seluruh negeri.
Kehadiran konsep ini diharapkan terwujud kesatuan umat Islam sedunia dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan serta kebersamaan dalam melaksanakan Idul Adha. Dengan kata lain, “Satu hari satu tanggal untuk seluruh dunia”. Hasil keputusan ini direspons positif oleh Muhammadiyah karena pada Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar, salah satu keputusannya menyerukan penyatuan kalender Islam internasional.
Berbagai pertemuan telah diselenggarakan untuk mengkaji dan menyosialisasikan konsep kalender Islam global, seperti Temu Ahli Falak Muhammadiyah Respons Hasil Kongres Internasional Penyatuan Kalender Hijriah Turki 2016 di Gedung FKIP UHAMKA Lantai VI Tanah Merdeka, Kampung Rambutan, Pasar Rebo, Jakarta Timur, pada 12-13 Ramadan 1437/17-18 Juni 2016, Seminar Nasional Kalender Islam Global “Pasca-Muktamar Turki 2016” diselenggarakan kerja sama antara Observatorium Ilmu Falak (OIF) Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara dan ADFI di Aula Gedung Pascasarjana UMSU pada 29 Syawal-1 Zulkaidah 1437/3-4 Agustus 2016.
Lalu, Konsolidasi Paham Hisab Muhammadiyah tentang Kalender Islam Global diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertempat di Gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Cik Ditiro Yogyakarta dan di Islamic Center UAD pada 10 Zulkaidah-23 Zulhijah 1440/13 Juli-24 Agustus 2019, dan Focus Group Discussion Penyusunan Kalender Hijriah Global bertempat di Pusat Tarjih Islamic Center UAD pada Rabu 27 Syakban 1443 H/30 Maret 2022.
Muhammadiyah menyadari untuk mewujudkan kalender Islam global perlu melibatkan ormas-ormas Islam yang ada di negeri ini. Untuk itu, pada 6 Muharam 1441 H/6 September 2019 M diselenggarakan Dialog Ormas Islam: Respons terhadap Gagasan Unifikasi Kalender Islam Global diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bertempat di Auditorium Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62 Jakarta. Pada pertemuan ini, para wakil ormas yang hadir menyambut baik upaya mewujudkan kalender Islam global untuk kepentingan yang lebih besar.
Selanjutnya, Muhammadiyah berharap keputusan Turki 2016/1437 perlu dikaji secara bersama, agar upaya penyatuan kalender Islam yang ideal segera terwujud. Bagi Muhammadiyah, jika Indonesia menerima hasil konferensi tersebut akan memiliki beberapa keuntungan, yaitu memiliki tawaran dan kepeloporan terhadap dunia Islam untuk mendorong penyatuan kalender Islam dan mempunyai peluang untuk bernegosiasi guna menyatukan jatuhnya hari Arafah pada tahun-tahun tertentu karena kriteria yang digunakan ialah kalender Islam global.
Wallahualam bisawab.
Jaga lisanmu! Temukan cara menjaga lisan menurut Islam agar terhindar dari dosa ghibah, fitnah, dan perkataan buruk lainnya. Tips praktis ada di sini!
Suami istri ideal dalam Islam? Temukan peran & tanggung jawab masing-masing! Tips harmonis & berkah di keluarga Islami. Klik sekarang!
Oleh karena itu, Prabowo mengingatkan pemimpin negara Islam untuk tidak mudah dipengaruhi oleh pihak yang ingin mengadu domba.
Said Aqil mengingatkan pentingnya membangun koneksi ruhani yang mendalam dengan Allah di tengah dunia yang semakin sekuler.
Remisi khusus (RK) narapidana dan pengurangan masa pidana pada Nyepi dan Idulfitri mampu menekan pengeluaran pemerintah untuk biaya makan warga binaan sampai Rp81 miliar lebih
KEMENTERIAN Agama terus memperkuat kajian terkait integrasi Islam dan sains, terutama dalam konteks kedokteran dan kesehatan masyarakat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved