Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Membungkus L'Arc de Triomphe 

Iwan Jaconiah 
24/9/2021 11:00
Membungkus L'Arc de Triomphe 
Pameran seni L'Arc de Triomphe, Wrapped, Christo and Jeanne-Claude di Paris, Prancis.(Dok. L’Arc de Triomphe)

IDE jenius pasangan seniman kelahiran Bulgaria Christo Vladimirov Javacheff (1935–2020) dan istrinya Jeanne-Claude Denat de Guillebon, kelahiran Maroko (1935–2009) akhirnya terealisasi. 

Karya seni instalasi mereka dipamerkan dan disambut secara antusias. Tidak hanya oleh masyarakat di Paris, ibu kota Prancis. Namun juga, menyebar ke seantero jagat seni rupa kontemporer dunia. 

Perbincangan hangat pun mencuat di awal pekan ini. Baik di antara kalangan kritikus seni rupa, kurator, pelaku seni, akademisi, maupun pelaku pelawatan wisata. 

Kehadiran karya Christo dan Jeanne-Claude telah memberikan angin segar. Terutama, bagi kebangkitan sektor seni kontemporer dan wisata Paris pascapandemi. 

Sebagaimana diketahui, perekonomian Paris dan kota-kota besar Eropa serta dunia sempat keok. Itu disebabkan hempasan pandemi Covid-19. Mengakibatkan berbagai helatan seni ditunda. Baru dilangsungkan kini secara perlahan-lahan. 

Karya instalasi seni di ruang publik itu tersaji lewat pameran bertajuk L'Arc de Triomphe, Wrapped, Christo and Jeanne-Claude. Berlangsung sejak 18 September hingga 3 Oktober mendatang di Paris. 

Proyek instalasi di Place de L'eto – Charles de Gaulle, itu sangat menarik perhatian warga yang melintasinya. L'Arc de Triomphe, sebuah gerbang raksasa, dibungkus dengan kain putih dan tali. Benar-benar spektakuler. 

Karya Membungkus Arc de Triomphe ini dibaluti 30,000 meter persegi kain polypropylene yang didaur ulang. Plus 7,000 meter (23,000 kaki) tali. Proses balutan itu menarik mata siapapun yang melintas. Nyatanya, itu adalah sebuah seni instalasi. 

Semula karya Christo dan Jeanne-Claude dijadwalkan ke publik pada musim gugur 2020. Namun, ditunda dan digelar di musim gugur ini. Pandemi Covid-19 di Prancis sangat berdampak terhadap sektor seni dan budaya. 

Sesungguhnya, Christo dan Jeanne-Claude telah mengutarakan konsep itu semasa hidup mereka. Tim pameran akhirnya merealisasikan pascakematian Christo. Karya tersebut merujuk pada kolase yang selesai pengerjaannya pada 2018. 

Ada dua bagian kolase. Yaitu, berupa sketsa berukuran 12 x 30 ½ (30.5 x 77.5 cm) dan berukuran 26 1/4 x 30 ½  (66.7 x 77.5 cm). Berbahan pensil, lilin, tali, kain, dan benang. Dari sketsa inilah, proyek tersebut disulap menjadi pameran. 

Ide Kreatif Christo dan Jeanne-Claude mengedepankan nilai-nilai dan estetika. Merujuk pada pemanfaatan ruang publik dan lingkungan. Landasan teoritis dan konsep sudah lama mereka tekuni di jalur pendidikan formal sejak muda, pada awal 1960-an. 

Nouveau sampai environmental art 

Pameran L'Arc de Triomphe, Wrapped, Christo and Jeanne-Claude, tak terlepas dari pengaruh nouveau realism (realisme baru). Sebagaimana ditulis oleh kritikus seni Pierre Restany dalam bukunya berjudul Le Nouveau Réalisme (1978). 

Gerakan tersebut mengacu pada aliran artistik. Restany bersama pelukis Yves Klein (1928-1962) mendirikannya pada 1960. Pertama kali disajikan lewat pameran kolektif Eksposisi di Galeri Apollinaire, Milan. 

Namun, dalam perjalanan waktu, Christo dan Jeanne-Claude lebih dekat dengan konsep instalasi ruang publik. Mereka masuk ke gerakan environmental art, seni yang berpedoman pada pemanfaatan alam sekitar di mana seniman berada.  

Christo dan Jeanne-Claude bertemu pertama kali pada Oktober 1958. Itu saat mereka mengerjakan proyek lukisan potret ibunya, Précilda de Guillebon. Hubungan keduanya kian erat. Dibuktikan lewat pameran di Cologne, 1961. 

Waktu itu, ada tiga jenis karya seni mereka perkenalkan. Yaitu, membungkus obyek (benda) dan menyatukannya dengan minyak barel dalam karya berskala besar. 

Christo sendiri menggelar pameran solo sebagai seniman profesional di Paris, pada 1962. Lalu berlanjut di Tembok Berlin, Jerman. Konsep sama, yaitu membungkus tembok. 

Kini, karya Membungkus Gerbang L'Arc de Triomphe memberi pengaruh penting pascapandemi. Membuktikan bahwa konsep dan ide jenius seniman sangat wajib dicoba dalam seni instalasi. 

Berbicara tentang gerbang di Paris tersebut, saya teringat akan gerbang-gerbang serupa di dua kota besar di Rusia. Yaitu, di Saint Petersburg dan Moskwa. Ada ikatan sejarah Rusia dengan Eropa Barat sejak era Ratu Yekaterina II (1729-1796) hingga awal Revolusi Oktober. 

Di Petersburg, gerbang serupa bernama Narvskie Trifal'nyye Vorota. Biasa dikenal sebagai Gerbang Alun-Alun Narva yang luas. Menjadi obyek wisata budaya bagi wisatawan Indonesia. 

Narvskie Trifal'nyye Vorota didirikan untuk memperingati kemenangan Rusia atas Napoleon, pada 1814. Masyarakat setempat juga mengenalnya sebagai Stachek Square sejak 1923. 

Sedangkan di Moskwa, gerbang serupa bernama Pobedy Varota atau Gerbang Kemenangan. Pasukan Napoleon juga sempat mengepung Moskwa. Namun, tidak berhasil merebut Kremlin. 

Kini, pameran Christo dan Jeanne-Claude menjadi penting. Sangat bermanfaat bagi dunia seni kontemporer hari ini. Pertama, adanya upaya mengembalikan Paris sebagai kota seni pascapandemi. 

Kedua, kebangkitan pelawatan wisata ke Paris, kota nan indah itu. Dan, ketiga adalah mengenang perjalanan duo sosok penting yang piawai memanfaatkan tema lingkungan. 

Mimpi Christo dan Jeanne-Claude telah diwujudkan ke publik Paris dan dunia. Menyelimuti Gerbang L'Arc de Triomphe dengan kain dan tali. Itu menjadi obyek wisata pascapandemi dan bukanlah hal mustahil. 

Sangat memukau dan menarik pengunjung. Sebuah karya seni instalasi nan menarik. Penuh makna dan arti sebagai bagian penting mengisi perjalanan seni kontemporer ke arah menuju pascakontemporer. (SK-1) 

 

 

 


Iwan Jaconiah, penyair, editor puisi Media Indonesia, dan penulis buku kumpulan puisi Hoi!, sebuah kisah tentang diaspora Indonesia di Rusia. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya