Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Memerdekaan Informasi dan Komunikasi Publik

Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden, Ketua Dewan Eksekutif IKA Antropologi Universitas Padjadjaran, Bandung
26/8/2021 21:55
Memerdekaan Informasi dan Komunikasi Publik
Usep Setiawan(Dok pribadi)

BELUM lama ini, Usman Kansong seorang jurnalis senior dilantik oleh Menteri Komunikasi dan Informatika RI menjadi Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik. Pelantikan Usman dilakukan saat pandemi covid-19 belum mereda dan jelang HUT Kemerdekaan RI Ke-76. Angka positif dan kematian karena virus korona masih cukup tinggi. Kasus positif di Indonesia dilaporkan 3.749.446 jiwa, dan 112.198 jiwa yang meninggal (11/8). 

Fenomena sosial-budaya masyarakat dan urgensi penjernihan infomasi dalam menghadapi pandemi, secara sosio-antropologi ditempatkan sebagai faktor sosial budaya yang menentukan respons masyarakat dan proses dan mekanisme adaptasi kebiasaan baru di era pandemi. Ada tiga fenomena utama yang menonjol dalam merespons pandemi; pertama, respons yang sifatnya adaptif. Fenomena ini terutama terjadi di kalangan yang memiliki kepercayaan tinggi kepada pemerintah (pusat dan daerah). Informasi dan arahan yang disampaikan pejabat pemerintah menjadi rujukan kelompok masyarakat dengan kategori adaptif ini.

Kedua, fenomena respons yang reaktif. Hal ini terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki sikap politik independen. Golongan ini akan mengikuti anjuran pemerintah jika ia sudah terkena dan merasakan dampak virus ini. Misalnya, karena anggota keluarga atau kenalannya terkena virus, ia segera percaya dan bertindak adaptif. Tetapi jika tidak, ia cenderung mengabaikan kabar penularan virus dan tak mau menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

Ketiga, fenomena yang resisten. Bisa karena sikap politik oposan terhadap pemerintah atau karena keterbatasan informasi. Kelompok ini cenderung menolak berita pandemi covid-19. Teori konspirasi dan aneka dalih kerap digunakan untuk menyangkal serbuan virus tak pandang bulu ini.

Respons publik

Jika dicermati lebih jauh respons publik terhadap pandemi, dapat dilihat dari berbagai sisi. Respons dipengaruhi faktor informasi yang diperoleh, lokasi tempat tinggal dan bekerja di perkotaan, pedesaan atau pedalaman, strata dalam struktur sosial masyarakat, dan lainnya.

Era digital dan media sosial yang kini menguat turut memengaruhi arus informasi yang dikonsumsi publik. Masalahnya, tak semua informasi yang beredar itu adalah berupa kebenaran. Tak sedikit kabar bohong yang menyesatkan alias hoaks di dalamnya. Perlu pengaturan lebih ketat dan kesadaran publik yang tinggi untuk menyaring informasi pandemi dan dampaknya.
        
Tak terkendalinya informasi yang sampai ke publik mempengaruhi persepsi publik atas suatu fenomena. Suatu informasi yang salah jika gencar diedarkan dan dikonsumsi publik tanpa disaring, dapat mempengaruhi sikap dan perilaku sebagian publik lebih lanjut. Bertaburannya informasi sesat terkait covid-19 di media digital dan media sosial, jika tak dikendalikan oleh instansi yang berwenang ditambah rendahnya kesadaran publik untuk menyaring informasi, berpotensi membuahkan kekacauan sikap dan perilaku publik. 

Di sinilah peran strategis media massa mainstream (arus utama) untuk menyajikan infomasi yang objektif, jernih dan bertangung jawab ke hadapan publik. Media massa cetak dan elektronik turut bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi yang benar dan turut mendidik publik untuk bersikap rasional dan objektif, dalam merespons informasi yang tayang di media massa.

Dalam hal ini, selain kode etika jurnalistik yang mengikat para jurnalis di media massa, insan pers perlu bersinergi dan berkolaborasi dengan instansi pemerintah yang bertugas dan bertanggung jawab dalam mengelola informasi dan komunikasi publik. Unit hubungan masyarakat atau public relations yang melekat pada seluruh kementerian dan lembaga, baiknya punya strategi komunikasi dan agenda setting yang terkoneksi dengan redaksi dan jurnalis. Ini penting untuk menyalurkan konten informasi yang benar, seimbang dan bertanggung jawab dari sisi pemerintah dan kepentingan publik.

Sinergi kolaborasi

Kementerian Komunikasi dan Informatika RI punya peran lebih besar mengelola informasi dan komunikasi publik pemerintah. Kemenkominfo mesti punya cara kerja yang jitu dalam merangkul kalangan redaksi dan jurnalis media massa. Arahnya penjernihan arus informasi dan memberi bobot kualitas informasi yang menjadi hak publik di media massa. 

Peran Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik yang baru dilantik, punya tanggung jawab besar dalam menjalankan amanah ini. Dirjen ini ibarat mata, telinga sekaligus mulut pemerintah. Diharapkan, pemerintah punya satu pintu yang kokoh dan kredibel dalam pengelolaan infomasi dan komunikasi publik. Pintu tersebut tentu saja harus tersambung erat dengan jendela Istana Presiden dan jendela lain yang tersebar di berbagai instansi.

Kemerdekaan untuk mendapatkan informasi menjadi indikator penting dalam memaknai kemerdekaan suatu bangsa. Kita ingat, ketika almarhum Gus Dur (Presiden ke-4) ditanya seorang jurnalis: kenapa Departemen Penerangan (sekarang Kemenkominfo) dibubarkan? Dengan ringan tapi visioner Gus Dur menjawab, kurang lebih, "Biarkan saja, urusan media massa gak usah diatur pemerintah, oleh masyarakat juga bisa kok". Ide ini mengejutkan sekaligus membuka mata. Peran publik justru utama sebagai subyek penyeleksi informasi di media massa.
 
Pemerintah perlu mengatur hal-hal prinsipil dan strategis. Sedangkan yang rinci dan teknis serahkan saja kepada dunia media massa dan publik. Perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-76 akan makin bermakna jika kita berhasil mereduksi informasi palsu yang bising menyesatkan. Kita ingin merdeka dengan informasi yang bebas, jernih dan mengabdi pada kebenaran dan keadilan. Saatnya memerdekakan informasi dan komunikasi publik. Merdeka!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya