Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Mengomunikasikan Pandemi

Suwatno Guru Besar Komunikasi Organisasi FPEB, Direktur Direktorat Kemahasiswaan Universitas Pendidikan Indonesia
18/7/2021 12:00
Mengomunikasikan Pandemi
Suwatno(Dok pribadi)

PANDEMI corona virus desease 2019 (covid-19) mencapai titik krusial. Di satu sisi, pengendalian pandemi ini mutlak harus berhasil. Tapi di sisi lain, wabah justru semakin menyebar dan meluas dengan jumlah terpapar baru lebih dari 50.000 orang setiap hari. Jumlah kesembuhan memang cukup banyak, tapi korban meninggal dunia tak bisa dihitung dengan angka. 

Setiap kematian adalah duka nestapa tak terperikan bagi keluarga yang ditinggalkan. Mengapa pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat tidak membuahkan hasil maksimal? Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus memberi peringatan bahwa covid-19 di dunia telah memasuki tahap awal gelombang ketiga, akibat masuknya varian virus baru B.1.617.2 (Delta) yang penyebarannya sangat cepat. Sehingga menimbulkan lonjakan kasus di banyak negara. 

Varian Delta setidaknya telah menyerang 111 negara yang membuat kasus covid-19 meningkat secara global. Kata Tedros, penyebab melonjaknya kasus karena penerapan protokol kesehatan yang minim dilakukan.

Itukah yang menyebabkan PPKM Darurat diperpanjang hingga akhir Juli? Apakah rakyat akan taat? Ataukah mereka tak menyadari betapa bahayanya virus korona? Jangan buru-buru memvonis masyarakat tidak taat, apalagi menganggap mereka tidak menyadari bahayanya wabah ini. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang paternalistik. Artinya, bangsa ini sangat bergantung pada siapa pun yang menjadi father, 'ayah'-nya. Pemimpin selalu dianggap sebagai orang tua, sehingga selalu ditaati apa pun perintahnya. Lalu mengapa masyarakat tetap berada di luar saat mereka seharusnya berada di dalam rumah untuk work from home (WfH)?
 
Inilah permasalahannya. Rakyat bukan tidak taat. Persoalannya hanya ada pada komunikasi. Jika terjalin komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, tidak akan ditemukan peristiwa perampasan dagangan, tak akan ada kekerasan fisik oleh aparatur terhadap warga, dan tak akan ada berbagai peristiwa yang menyebabkan gejolak masyarakat untuk melakukan pembangkangan kepada pemerintah.

Harus ada komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat agar hubungan keduanya semakin lancar untuk menciptakan situasi yang kondusif dalam penanggulangan covid-19. Yang paling penting, komunikasi harus mengedepankan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) ketimbang pendekatan keamanan (security approach). Pemahaman dibangun tak hanya pada akar rumput, tapi juga pada pemerintah dan aparatur. 

Masyarakat sangat paham bahwa virus korona, apalagi yang sudah mutasi menjadi jenis Delta, sangat berbahaya bagi kesehatan. Kalaupun pemahaman mereka terpengaruh, misalnya oleh pendapat dr. Lois Owien, jumlahnya kecil. Katakanlah mereka tidak percaya dengan covid-19, tapi fakta di sekitar membuktikan bahwa keluarga, sanak saudara, tetangga kiri dan kanan, klien dan handai taulan setiap hari jatuh sakit akibat terpapar virus ini. Bahkan sebagian dari mereka meninggal dunia.

Apalagi media sosial seperti grup Whatsapp, Telegram, Facebook, dan media sosial lainnya setiap hari dipenuhi dengan ucapan innalillahi wainna ilaihi raji’un, rest in peace (RIP) dan lain-lain. Belum selesai saling bersahut-sahutan dalam mengucapkan bela sungkawa, sudah datang kabar baru lagi yang mengabarkan permintaan doa kesembuhan dan kabar kematian. Belum lagi informasi yang datang dari masjid. Begitu terdengar speaker masjid berbunyi di luar waktu adzan salat wajib, selalu didahului dengan innalillahi wainna ilaihi raji’un, itu pertanda ada kematian di sekitar rumah.

Jangan sekadar seremonial

Intinya, rakyat bukan tidak takut terhadap bahaya covid-19, tapi mereka lebih takut terhadap kemungkinan lain jika mereka tetap tinggal di dalam rumah. Mereka yang bisa WFH tanpa terganggu tungkunya, tidak masalah. Para pekerja yang bisa dilakukan dari rumah bahkan hidup lebih efisien, karena tidak harus mengeluarkan biaya transportasi, dan uang makan serta uang jajan. Hidup mereka bisa lebih sehat, karena semua bisa dikendalikan dari rumah. 

Tapi jangan tanya mereka yang mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari. Artinya, kalau mereka hari itu tidak mencari nafkah ke luar rumah, tak ada yang bisa dimakan untuk hari itu. Masyarakat dengan kondisi seperti ini cukup dominan. Menghadapi pilihan yang sangat sulit itu, mereka tentu lebih memilih keluar rumah membawa dagangan yang dimiliki, dengan harapan tidak tertular virus. 

Apa boleh buat kalau tiba-tiba ada penertiban oleh aparatur saat ia berdagang di pasar atau di tempat lain. Perampasan dagangan atau pengrusakan harta miliknya menyebabkan kehancuran ekonomi, yang bisa berujung pada kelaparan diri dan keluarganya.

Pendekatan kesejahteraan seperti yang diamanatkan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sesungguhnya lebih dekat ke pendekatan kesejahteraan, daripada Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2021 yang menjadi landasan hukum PPKM Darurat ini. UU No. 6 Tahun 2018 Bab III Pasal 7 menyebutkan, “Setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.” 

Sedangkan Pasal 8 menyebutkan, “Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina.” 

Jika prosperity approach yang diamanatkan Pasal 7 dan Pasal 8 di atas dapat dilaksanakan, Pasal 9 UU No. 6 Tahun 2018 tersebut dengan mudah dapat dilaksanakan, baik ayat (1) maupun ayat (2) yang berbunyi, (1) Setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. (2) Setiap orang berkewajiban ikut serta dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.

Mengomunikasikan pandemi Covid-19 kali ini tak boleh sekadar seremonial memperlihatkan wajah manis pejabat, melainkan harus lebih substantif. Artinya, keselamatan jiwa rakyat harus menjadi nomor satu, selamat dari terpapar virus maupun selamat dari 'virus kelaparan'.

Pendekatan kesejahteraan menjauhkan dari sikap aparatur yang bersikap tidak semestinya kepada rakyat. Bahkan dengan prosperity approach communication, akan terjalin saling pengertian dan saling kerja sama pemerintah dan rakyat dalam menanggulangi pandemi ini. Wallahu a’lam bishawab.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya