Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
“PROFESOR, saya mengambil kelas ini (islamic mysticism atau tasawuf) karena menurut Ayah, saya perlu mempelajari agama musuh saya.” Kasus itu merupakan satu di antara sekian banyak contoh sentimen anti-Islam di ranah publik kehidupan di Amerika. Diskursus mengenai Islam sebagai musuh merupakan sentimen umum masyarakat Amerika dan merupakan industri kebencian yang bernilai sekitar US$57 miliar. Dukungan keuangan itu digunakan untuk mengembangkan kebencian terhadap Islam (https://islamophobianetwork.com) baik melalui wacana, kebijakan, maupun program praktis anti-Islam and muslim.
Pada saat yang sama, dalam konteks perguruan tinggi, realitas sentimen anti-Islam dan muslim memberikan kesempatan emas untuk mengajarkan kepada para mahasiswa bagaimana muslim memahami Islam, bagaimana mengembangkan empati terhadap budaya yang berbeda, dan bagaimana melihat persamaan dan perbedaan dalam konteks lokasi politik tempat muslim berada. Di sinilah, latar belakang santri diaspora sangat berguna dalam mewacanakan Islam Indonesia moderat dan menyebarkan cahaya Islam Nusantara yang rahmatan lil-alamin.
Tantangan mengajar Islam di AS
Ada beberapa asumsi tentang Islam dan muslim yang sering kali membuat sakit telinga umat Islam. Pertama, Islam sering diasumsikan sebagai agama yang mengajarkan kekerasan. Asumsi semacam ini sering kali dibiarkan, bahkan diinjeksi para politikus dalam imajinasi publik Amerika. Misalnya, Donald Trump yang saat itu masih menjadi calon presiden AS melihat muslim sebagai sebuah persoalan.
Anggapan bahwa muslim sebagai problem bukan hal baru. Bernard Lewis dalam The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (Modern Library, Ibooks) menyatakan dunia muslim diliputi kemiskinan dan tirani. Namun, mereka cenderung menyalahkan Amerika atas kegagalan dalam negara mereka. Kegagalan itu kemudian diproyeksikan dengan serangan-serangan terorisme terhadap kepentingan politik dan ekonomi Amerika di seluruh belahan dunia, bahkan di tanah Amerika.
Samuel Huntington, dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1997), mengindikasikan problematik umat Islam yang memiliki sikap superiority complex dalam peradaban. Di mata Huntington, teologi Islam seperti itu senantiasa memicu konflik dunia Islam dengan Barat.
Kedua, asumsi bahwa Islam ialah agama yang ekspansif dan ingin menguasai Barat. Asumsi itu berkelindan dengan anggapan bahwa ajaran jihad merupakan sebagai perang suci untuk melawan Barat. Jika Barat tertaklukkan, hukum shariah (syariah) akan diberlakukan. Dalam retorika melawan ekspansi Islam, gerakan anti-shariah didengungkan dan diajukan dalam bentuk rencana undang-undang, yang sering kali disponsori kaum Republikan. Sejak 2010, ada 201 rancangan undang-undang anti-shariah yang diajukan dalam 43 negara bagian; 14 di antaranya disahkan sebagai undang-undang.
Kontekstualisasi rasa takut atas Islam
Ketakutan Amerika akan Islam boleh dikatakan secara ideologi lebih bersifat politis. Serangan 11 September (9/11 Attack) menjadi alat validasi untuk membuktikan bahwa muslim sebagai problem bukanlah omong kosong. Lebih dari 3.000 orang terbunuh dalam Serangan 11 September, termasuk orang Islam. Sudah tentu, lebih banyak lagi muslim yang kemudian terkena oleh kekerasan perang dalam memerangi teror di Afghanistan, Irak, dan negara-negara lainnya yang terkena oleh imbas perang ini.
Namun, narasi korban kekerasan oleh muslim telah menjadi kebenaran tunggal yang dikonsumsi kebanyakan orang Amerika. Hal itu disebabkan terjadi persepsi yang berbeda antara kekerasan yang dikelompokkan sebagai termotivasi oleh agama dan kekejaman yang dilakukan negara. Selain itu, Amerika memiliki mitos-mitos superioritas yang melandasi gerakan budaya dan politik mereka.
Menurut Richard T Hughes, dalam bukunya Myths American Lives By (2003), Amerika mempersiapkan diri sebagai negara terpilih, negara yang lahir secara natural, negara Kristen, negara milenial yang dijanjikan, dan juga negara yang innocent dan senantiasa dimaafkan. Mitos-mitos itu melandasi masyarakat dan pemerintah Amerika dalam mempersepsikan diri mereka (the self), dan yang dianggap di luar diri mereka (the other). Umat Islam dianggap sebagai kalangan yang tidak termasuk dalam mitos eksklusif itu karena perbedaan mendasar antara Islam dan Kristen.
Tidak mengherankan ada kalangan mahasiswa yang merasa kesulitan untuk bisa memahami retorika Islam sebagai agama damai. Kesulitan dalam memaknai Islam sebagai agama yang damai itu dikonfirmasi industri misinformasi dalam media dan perilaku teroris muslim di berbagai negara Barat dan dunia muslim.
Semua ini terangkum dalam budaya takut (fear culture) yang telah mendarah daging dalam kehidupan Amerika. Barry R Glassner dalam bukunya, The Culture of Fear: Why Americans are Afraid of the Wrong Things (1999), menggambarkan orang Amerika dihantui rasa takut akan kriminalitas, obat-obatan, minoritas, ibu-ibu muda hamil dan melahirkan, pembunuh anak-anak, orang kulit hitam, virus, kecelakaan pesawat, pembunuhan tidak sengaja di jalan, dan termasuk korban terorisme, seperti Serangan 11 September.
Rasa takut terhadap muslim hanya menjadi alihan dari berbagai konstalasi rasa takut yang telah berlapis-lapis. Rasa takut secara sosial itu berkelindan dengan ketakutan atas perbedaan ras. Narasi takut muslim ini berlapis-lapis dalam berbagai asumsi tentang ras Arab, Islam sebagai agama terbelakang, anti-LGBTG, dan antipersamaan hak perempuan sehingga antimuslim terkadang memiliki manifestasi dalam diskriminasi terhadap hal-hal yang berbau Arab (nama, pakaian, atau tampilan ras). Karena itu pula, kalangan Sikh sering jadi korban kekerasan karena terlihat seperti orang Arab.
Dari kalangan muslim Amerika sendiri, terkadang masih ada jurang pemisah ras berdasarkan negara asal, bahasa, pemahaman keagamaan, dan kurangnya pehamanan atas perbedaan dan problema ras di Amerika. Bahkan, dalam kasus George Floyd, seorang pemilik toko yang bersuku Arab melaporkan penggunaan uang palsu US$20 untuk pembayaran. Tidak dinyana, laporan itu berujung kematian Floyd di tangan polisi dan menggemakan kembali gerakan Black Lives Matter.
Kejadian-kejadian seperti itu memberikan momen pembelajaran bagi santri diaspora bahwa persoalan sosial ialah bagian dari identitas mahasiswa-mahasiswi yang ada dalam ruangan kelas. Mahasiswa-mahasiswi pun memiliki ketakutan tersendiri untuk berbicara secara bebas mengenai siapa diri mereka, baik mayoritas kulit putih maupun para minoritas yang kulit berwarna.
Mengajarkan Islam sebagai inspirasi
Sebagai dosen santri diaspora Indonesia, saya menemukan diri saya dalam multiple category: orang berwarna, perempuan, dan bukan Arab. Semua identitas itu berbarengan dengan pengalaman pribadi sebagai orang dalam (insider) dalam tradisi Islam. Pertanyaan yang sering muncul berkenaan dengan orang dalam tradisi yang mengajar agamanya sendiri atau memakai kerangka agama sebagai alat interpretasi ialah objektivitas dari dosen tersebut.
Martin S Jaffee dalam tulisannya, 'Fessing Up in Theory: On Professing and Confessing in the Religious Studies Classroom' dalam buku berjudul The Insider/Outsider Problem in the Study of Religion (1999), menerangkan pentingnya membedakan antara pemahaman dan perbuatan agama.
Perbedaan antara studi agama dan perilaku agamais mendasari pedagogi pembelajaran dalam kelas. Dalam konteks pendidikan sekuler Barat, mata kuliah yang berhubungan dengan agama biasanya dikaitkan dengan kemampuan mahasiswa-mahasiwi untuk memahami perbedaan budaya, apresiasi terhadap beragam tata nilai dan etika. Tujuan kurikuler itu tentu berbeda dengan apa yang diajarkan di perguruan tinggi Islam dan pesantren di Indonesia, yakni pengajaran Islam ditujukan untuk menghasilkan kesalehan pribadi dan sosial.
Perbedaan dua model pengajaran itu berimplikasi pada persepsi bahwa pengajar yang beragama dianggap kurang objektif. Tuduhan itu tidak sepenuhnya salah karena santri sebagai manusia tentu membawa nilai-nilai yang dianut, dipahami, dan diamalkan.
Menurut Jaffee, komitmen seseorang terhadap agama sebagaimana yang dimiliki santri diaspora justru memperkaya bagaimana agama dipahami dalam kontek budaya dan sejarah dan juga mempertajam analisis untuk melihat relevansi kehidupan agama dalam kehidupan manusia. Di sinilah sistem sentoria manusia (human sentorium) seorang santri bisa mengorganisasi penyampaian bahan ajar, dengan mengandalkan cita rasa (taste) dan penilaian (judgment) Islam Indonesia moderat.
Sentoria manusia (human sentorium) ini berkaitan dengan cara pandang manusia yang dihasilkan sense penglihatan, pendengaran, persentuhan, penciuman, dan perasaan yang lahir dalam konteks budaya dan lingkungan tempat seseorang berada. Santri diaspora berkesempatan untuk membawa eksposur sentoria Indonesia, yang lahir dalam dekapan pengalaman berbangsa dan bernegara, berdasar Pancasila ke dalam pemahaman mahasiswa-mahasiswi.
Persentuhan mahasiswa-mahasiswi dalam perguruan tinggi Amerika, dengan sentorium Islam Indonesia ini akan menghasilkan cara pandang yang berbeda tentang Islam dan muslim di berbagai belahan dunia yang lain. Perubahan perspektif para mahasiswa inilah yang menjadi tujuan utama pendidikan mata kuliah humaniora secara umum.
Sayangnya, jumlah santri diaspora muslim yang berkarier di perguruan tinggi Amerika masih terbilang sedikit. Jumlah itu tidak seimbang dengan tantangan yang dihadapi masyarakat muslim di Amerika. Namun, peranan dosen pengampu pendidikan Islam sangat berperan dalam membentuk generasi Amerika yang peduli dengan keadilan sosial dan kerja untuk kemaslahatan publik. Cahaya Islam Indonesia melalui mahasiswa-mahasiswi Amerika akan menerangi dunia dan mengikis lapisan kebencian melalui keluarga, kelompok pertemanan, dan lingkungan sosial mereka.
PADA tahun ini, tercatat total 34 individu dan lembaga menerima penghargaan dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Perlu penguatan kualitas guru dengan mekanisme yang transparan, sehingga mudah diakses.
WAKIL Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mendorong ketersediaan sistem pendidikan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan masyarakat.
Beasiswa Unggulan 2025 adalah program bantuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek)
NUO memahami pentingnya inovasi dalam pengelolaan wakaf agar mampu memberikan dampak yang lebih luas dan berkelanjutan, khususnya bagi sektor pendidikan.
Program pelatihan dari International Center for Land Policy Studies and Training (ICLPST) bukan sekadar pendidikan kebijakan pertanahan dan pajak, melainkan perjalanan lintas budaya.
Menjadi generasi sandwich bukan hal mudah, apalagi jika perjuangan dimulai sejak remaja. Namun, Bima Wicaksono membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah akhir cerita.
Nathan Tjoe A On bukan satu-satunya pemain keturunan Indonesia yang saat ini berstatus tanpa klub.
Presiden Indonesian Diaspora Network (IDN), Sulistyawan Wibisono menambahkan bahwa diaspora Indonesia sangat berperan penting sebagai pahlawan devisa negara.
WAKIL Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Fajar Riza Ul Haq, mendorong pelajar untuk berani memilih untuk menjadi dispora atau melanjutkan sekolah ke luar negeri.
RAMADAN selalu menjadi bulan penuh berkah dan momen kebersamaan bagi umat Muslim di seluruh dunia. Bagi diaspora Indonesia makanan Nusantara bisa mengobati rasa rindu.
WAKIL Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono mengajak diaspora Indonesia di Eropa untuk berperan aktif dalam memperkuat ekspor komoditas pertanian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved