Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kejernihan Multidimensi Personal, Sosial, Institusional

Arif Satria Rektor IPB, Ketua Forum Rektor Indonesia
20/5/2021 05:00
Kejernihan Multidimensi Personal, Sosial, Institusional
Ilustrasi MI(MI/Seno)

IDUL Fitri 1442 H telah kita lalui di tengah pandemi covid-19 ini. Tentu ada harapan besar perubahan pada diri kita, yakni agar kita semua tergolong orang yang kembali kepada fitrah. Kata 'fitrah' punya variasi makna. Namun, saya lebih memilih fitrah sebagai kejernihan, kesucian, dan kebeningan. Dengan keyakinan bahwa kita hidup tidak sendiri, makna kejernihan harus dilihat dari berbagai dimensi, yaitu dimensi personal, sosial, dan institusional.

 

 

Kejernihan personal

Pertama ialah kejernihan personal, berupa kejernihan hati, pikiran, dan spiritual. Kejernihan hati tecermin dari keikhlasan kita memberikan maaf kepada orang yang menzalimi kita, menolong orang yang tidak pernah menolong kita, dan menjalin silaturahim dengan orang yang telah memutus silaturahim. Inilah ciri kebesaran umat Nabi Muhammad SAW, yang hidup tanpa dendam dan prasangka.

Kejernihan pikiran tecermin dari keterbukaan pikiran menerima ilmu pengetahuan dari siapa pun, yang menganggap setiap sudut semesta alam ialah sekolah dan setiap orang ialah guru. Ia ialah pembelajar sejati terhadap setiap fenomena alam dan sosial. Inilah sosok ulul albab sebagaimana QS Ali Imran:190.

Era pandemi covid-19 ialah momentum untuk melakukan refleksi dan mencoba menjadikan rumah dan halaman rumah ialah sekolah dan setiap orang di sekeliling kita ialah guru. Inilah hakikat merdeka belajar. Di sinilah pendidikan induktif berkembang dan ilmu pengetahuan akan semakin tumbuh.

Seiring dengan pendidikan induktif ini, kita sadar bahwa ilmu kita hanyalah seperti setetes air dari lautan samudra. Kesadaran inilah membuat kita terus belajar dan belajar. Mental pembelajar sejati inilah yang sangat diperlukan di era disrupsi. Hanya kaum pembelajar yang akan bisa adaptif terhadap perubahan. Namun, konteks hari ini memerlukan tidak sekadar pembelajar, tetapi juga pembelajar yang cepat, tangguh, dan tangkas.

Dengan menyadari bahwa posisi kita sebagai khalifah di muka bumi, yang memiliki tugas membawa rahmat bagi seluruh alam, tugas sebagai pembelajar bukanlah sekadar mendapatkan ilmu, melainkan juga proaktif mengamalkan ilmu untuk perubahan yang lebih baik. Inilah pembelajar transformatif, yang ingin terdepan dalam menciptakan perubahan.

Karena itu, orientasi pada future practice melekat pada pembelajar transformatif itu. Orientasi pada future practice merupakan cerminan kita meniru sifat Allah dalam asmaulhusna, yaitu Al Badii’, yang berarti maha pencipta. Bila kita meniru sifat Al Badii’, berarti kita punya tugas untuk selalu berinovasi. Inovasi inilah taruhan kemajuan bangsa.

Kejernihan spiritual ialah penguatan kesadaran akan kemahabesaran Allah SWT. Saat menghadapi virus korona saja, manusia sedunia semakin tampak rentan. Hanya karena satu makhluk hidup kecil ini, hidup sedunia terguncang. Artinya ilmu kita belum seberapa dan mestinya membuat kita semakin rendah hati dan mengakui bahwa Allah Maha Berilmu. Inilah ciri ulul albab, yakni menyelaraskan pikir dan zikir. Bagi ulul albab, semakin kencang daya pikir maka akan semakin kencang pula daya zikirnya. Ini disebabkan kencangnya daya pikir semakin menyadarkan makin luasnya ruang ketidaktahuan kita.

 

 

Kejernihan sosial

Kedua ialah kejernihan sosial, yang dicirikan dari agregasi kejernihan personal. Ketika orang-orang baik dengan kejernihan personal berkumpul, insya Allah kejernihan sosial akan tercipta. Kejernihan sosial direfleksikan dengan relasi-relasi sosial yang penuh nilai kemanusiaan dan rasa saling percaya. Tentu kita bersyukur bahwa Indonesia menempati posisi 10 dalam Indeks Kedermawanan Global (Global Giving Index) 2020. Ini menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia memiliki kepedulian sesama. Agregasi kejernihan personal membuahkan perilaku dermawan secara kolektif.

Wujud konkret lainnya ialah kuatnya modal sosial, dengan komponen utama rasa saling percaya (trust) dan silaturahim (network) yang berujung pada terciptanya high trust society, seperti kata Fukuyama. Dua komponen ini hanya terbangun oleh agregasi kejernihan personal, baik hati, pikiran, maupun spiritual.

Umumnya negara-negara maju memiliki modal sosial tinggi. Artinya, modal sosial ialah modal untuk kemajuan. Dalam suasana masyarakat yang penuh rasa saling percaya, kolaborasi dan kreativitas akan semakin tumbuh berkembang dan ini bisa mendorong tumbuhnya inovasi. Momentum pandemi ini mesti menjadi momentum untuk berinovasi agar keluar dari krisis.

 

 

Kejernihan institusional

Ketiga ialah kejernihan institusional, yang tecermin dari kuatnya pedoman berperilaku untuk memperkuat kejernihan personal dan sosial. Institusi ialah pengatur perilaku di semua bidang baik pendidikan, ekonomi, keluarga, politik, maupun bidang lainnya.

Bagi kampus, wujud pengaturannya melalui good university governance. Bagi kampus, kejernihan institusional sangat penting untuk menjamin bahwa orang-orang di dalamnya memiliki kejernihan hati, pikiran, dan spiritual. Contohnya ialah bagaimana kampus mampu melembagakan aktivitas pembelajaran dan inovasi sehingga menghasilkan kaum pembelajar dan inovator tangguh. Juga, bagaimana kampus menciptakan ruang-ruang berbagi inspirasi. Namun, pada saat yang sama terlembagakan pula upaya menumbuhkan budi luhur dan integritas.

Tentu, kampus tidak hanya sampai pada menjaga kejernihan personal di atas, tetapi juga mendorong orang-orang di dalamnya mampu mentransformasikan kejernihan personal mereka ke dalam kehidupan sosial sehingga tercipta tatanan sosial yang baik dan tatanan sosial yang baik terus mengontrol perilaku orang agar tetap jernih. Jadi, ada hubungan timbal balik antara kejernihan personal, sosial, dan institusional. Ketiga dimensi kejernihan tersebut bersifat interaktif dan dinamis.

Pandemi covid-19 ini telah merombak tatanan kehidupan dan bahkan menjadi titik masuk bagi konstruksi peradaban baru. Karena itu, Idul Fitri 1442 H harus dimaknai bukan sekadar pencapaian kejernihan interpersonal melalui bermaafan dan silaturahim virtual, melainkan juga merupakan pencapaian kejernihan multidimensi. Jadi, Idul Fitri harus menghasilkan pencapaian kejernihan multidimensi yang merupakan akumulasi energi positif untuk melewati jembatan emas menuju titik peradaban baru.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya