Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
PEMBAHASAN mengenai sengkarut tata kelola pendidikan di Indonesia seakan tidak ada titik akhirnya. Belum juga surut pandemi covid-19 sejak setahun lalu yang telah melemahkan proses belajar mengajar, kini muncul persoalan lain. Salah satu isu yang sangat sensitif untuk diperbincangkan yakni intoleransi di dunia pendidikan.
Praktik atau sikap intoleransi di dunia pendidikan sebetulnya sudah berlangsung cukup lama dan terjadi di banyak daerah. Sebelumnya, ada pelajar muslim sekolah negeri di Bali dan Maumere yang dilarang memakai jilbab; kewajiban siswa berjilbab saat mengikuti orientasi siswa baru di Jogja; hingga di Semarang siswa penganut kepercayaan yang tidak diluluskan gegara nilai mata pelajaran agamanya kosong. Kasus teranyar yang sempat viral di media sosial yakni peraturan wajib berjilbab bagi siswi nonmuslim di Padang, Sumatra Barat.
Kasus-kasus tersebut tentu mencoreng wajah pendidikan negeri ini. Intoleransi ini terjadi akibat beberapa faktor seperti guru yang memang intoleran; arahan peraturan pemerintah daerah yang turun-temurun seperti di Padang; hingga kebijakan internal sekolah seperti di Banyuwangi. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2018) merilis data survei dalam laporannya Pelita yang Meredup yang hasilnya cukup mengejutkan. Sebanyak 60,07% guru memiliki opini intoleransi dan sebagian besar guru dengan kecenderungan intoleran dapat memberikan pengaruh intoleransi pada generasi muda.
Indonesia yang digung-gungkan dengan semboyan kebhinekaannya justru malah terkoyak akibat segelintir oknum guru. Hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan terus menerus agar dampak buruknya tidak berkepanjangan. Pendidikan merupakan upaya secara sadar dalam memanusiakan manusia. Pendidikan di sekolah juga seharusnya memberikan ruang untuk menjalin pergaulan dan interaksi antarteman dengan latar belakang yang berbeda. Sekolah, khususnya sekolah negeri seharusnya menjadi agen dalam menabur dan merawat kebhinekaan dan bertoleransi. Kasus tersebut menjadi momentum bagi semua pihak untuk melakukan refleksi.
Kasus intoleransi tersebut dapat dikikis dengan pendidikan berbasis kebhinekaan yang melibatkan pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, guru, orangtua, dan masyarakat dengan dukungan dinas pendidikan di daerah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sangat perlu memperkuat aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam proses belajar pembelajaran dan pendidikan di sekolah, dengan memberikan alokasi pendidikan Pancasila yang proposional.
Antara pemerintah pusat dan daerah juga perlu melakukan koordinasi terkait ada tidaknya arah sikap intoleransi pada peraturan yang dibuat. Ketegasan kepala daerah dalam mengawasi sekolah di wilayahnya juga dibutuhkan, seperti penghapusan peraturan wajib berjilbab siswi nonmuslim di sebuah sekolah negeri di Banyuwangi.
Dinas pendidikan juga perlu mengawasi secara aktif dan terpadu. Pengawasan sekolah yang selama ini sebatas keperluan administrasi harus mampu menyentuh aspek tata kelola kebhinekaan di sekolah dan pembinaan guru. Seharusnya sistem pendidikan yang toleran tidak berhenti pada aspek teori tetapi lebih jauh harus menyasar aspek tindakan (action) secara nyata dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi pembiasaan.
Guru di sekolah selain memiliki keterampilan pedagogi yang baik juga harus memiliki prinsip untuk saling menghargai perbedaan dan menguatkan nilai kebhinekaan di antara sesama. Manajemen kelas dan murid dilakukan guru berkaitan dengan bagaimana guru mengatasi kelasnya yang memiliki karakter dan latar belakang siswa yang berbeda. Saat ini pun guru saat ini didorong untuk memiliki kapasitas pengetahuan sekaligus praktik toleransi. Misalnya dengan mempraktikkan butir-butir pengamalan Pancasila selama proses pembelajaran di sekolah yang tidak hanya terbatas mata pelajaran Pendidikan Agama atau PKn saja.
Selanjutnya, sekolah juga perlu menghadirkan konsep sekolah ramah anak. Dengan konsep sekolah ramah anak akan menutup ruang kekerasan bahkan intoleransi bagi siapapun. Selain itu sikap atau praktik intoleransi di sekolah dapat diminimalkan dengan menjalin komunikasi yang baik, antara sekolah dengan orang tua murid. Secara umum, sekolah dapat menerapkan pembiasaan (budaya) pendidikan toleransi bagi semua warganya.
Orangtua dalam keluarga juga memiliki tanggung jawab menjaga anak. Keluarga sebagai sistem sosial terkecil menjadi agen menanamkan nilai toleransi. Orangtua sebagai role model perlu menanamkan dan menjunjung tinggi prinsip tanpa diskriminasi kepada anak sejak dini. Mereka harus mengembangkan pola asah, asih, dan asuh yang baik dan proposional kepada anak.
Peran serta masyarakat juga sangat diperlukan dalam menciptakan lingkungan kehidupan sosial yang menjujung tinggi nilai toleransi. Iklim pergaulan harian yang baik akan mendukung penciptaan generasi muda yang memiliki semangat kebhinekaan. Beberapa ‘Kampung Toleransi’ di Kota Bandung dan Bekasi hingga penyematan predikat ‘Kota Toleran’ untuk kota yang berhasil membangun praktik toleransi juga patut ditiru dan menjadi model untuk daerah lain. Edukasi tentang nilai-nilai toleran juga dapat dilakukan dangan sosialisasi dan kampanye melalui poster ataupun mural yang di pinggir jalan-jalan kampung.
Sinergi berbagai pihak mutlak diperlukan untuk merawat pendidikan berkualitas yang toleran. Setelah langkah upaya tersebut dijalankan, berikutnya yang tak kalah penting adalah menjadikannya sebagai sebuah budaya (membudayakan). Dengan begitu, harapannya praktik toleransi melalui pendidikan akan semakin baik dan sikap atau praktik intoleransi dapat dikikis habis. Semoga.
Erwin Prastyo, Peserta Peningkatan Skill Menulis bagi Tenaga Pengajar Se-Indonesia
Suap dan gratifikasi di sektor pendidikan biasanya terjadi karena adanya orang tua murid memaksakan anaknya masuk sekolah tertentu.
Harli menegaskan Kejagung belum menentukan tersangka dalam kasus ini. Perkaranya masih menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum.
Program SMK PK yang diinisiasi Kemendikbud bertujuan meningkatkan kualitas dan kompetensi lulusan SMK, melalui kemitraan dengan dunia usaha dan industri (DUDI).
Pj Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin mengatakan ada sebanyak 260 orang calon peserta digugurkan pada pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024, tingkat SMA
Tahun 2023 menjadi titik puncak kebangkitan perfilman Indonesia. Hal ini ditandai dengan 50 judul film Indonesia yang berhasil melenggang ke 24 festival film internasional.
Seorang individu tidak akan memikirkan tentang pengakuan dan penghargaan sebelum kebutuhan dasar akan makanan dan tempat tinggal mereka terpenuhi.
Dialog antaragama merupakan sarana yang sangat penting bagi mahasiswa untuk meningkatkan daya kritis, membangun hubungan antaragama yang baik dan bermakna.
KETUA Umum Ahlulbait Indonesia (ABI) Zahir Yahya menilai untuk menghadapi tantangan di Indonesia yang kompleks, Islam dan kebangsaan harus berjalan beriringan.
Universitas Nusa Cendana dianggap paling menarik dan terpilih menjadi role model untuk implementasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).
Perpanjangan Operasi Madago Raya merupakan upaya Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah Sulteng.
Komnas Perempuan menyayangkan keberadaan aparatur pemerintah dan penegak hukum namun terindikasi justru semakin memperkeruh keadaan dan tidak menerima penjelasan korban.
SEBANYAK 700 warga Gading Nias Residences bergabung dalam kegiatan halal bihalal yang diselenggarakan untuk menjalin hubungan yang erat dan penuh semangat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved