Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
PENYELENGGARAAN Pilkada Serentak 2020 di masa pandemi diduga berpotensi rawan praktik politik uang (money politics). Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menduga akan maraknya politik uang, khususnya beli suara atau vote buying, disebabkan oleh keterpurukan ekonomi di tengah pandemi covid-19.
Fenomena politik uang melalui beli suara nyaris marak dan kerap hadir dalam setiap momentum pilkada. Bahkan, banyak modus politik uang yang sulit diendus oleh Bawaslu maupun aparat penegak hukum. Apalagi, sanksi terhadap politik uang pada waktu lalu tak bernyali.
Konsepsi politik uang harus diperjelas agar tidak melahirkan persepsi yang multitafsir. Memang dalam praktiknya ada sejumlah biaya politik yang tak terhindarkan, dan bisa jadi bukan bagian dari politik uang. Misalnya dana untuk keperluan alat peraga kampanye, transportasi, biaya iklan, rapat-rapat partai dan konsolidasi dengan kadidat, dan lain lain.
Hal ini bukanlah politik uang. Namun, perlu juga ditelusuri sumber dananya dari mana, dari siapa, dan apakah ada kaitannya dengan pemodal yang kemudian akan menyetir pemerintahan ketika seseorang terpilih dalam pilkada. Jika kaum pemodal politik sudah bermain uang dan diposisikan sebagai garansi politik bagi kandidat, perlu atensi dan diwaspadai.
Pasalnya, mereka berpotensi menjadi kelompok pemerintahan bayangan (shadow government), alias pemegang remote kontrol pemerintahan. Mereka biasanya akan meminta jatah proyek-proyek APBD yang ujungnya menjerat kepala daerah dan merugikan kepentingan rakyat.
Praktik politik uang
Sementara itu, praktik politik uang kerap ditemukan di lapangan dengan berbagai modus, seperti membagikan uang secara tunai, memberikan sembako, hadiah atau doorprize uang atau barang, memberikan insentif tertentu. Lalu, memberikan sejenis bansos, mengiming-imingi asuransi bagi yang memilih kandidatnya, atau memberi pekerjaan sesaat dan menjanjikan jabatan tertentu, dsb.
Terlebih, perkembangan teknologi yang begitu canggih dapat memuluskan praktikpraktik politik uang tanpa terdeteksi oleh pengawas maupun penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum.
Padahal, hukuman yang menjerat para pelaku politik uang cukup berat. Hal ini sebagaimana diatur dalam beberapa Pasal Undang-Undang No 10 Tahun 2016 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 6 Tahun 2020 tentang Pilkada. Misalnya, Pasal 187A ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Di ayat (2) diperjelas bahwa pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Berdasarkan aturan di atas, dapat dinyatakan bahwa yang terjerat perbuatan melawan hukum berupa politik uang bukan hanya pemberi, tetapi juga penerima, baik berupa uang atau materi lain yang berkorelasi dengan pengaruh suara atau hak pilih seseorang.
Kemudian, dalam Pasal 187B UU Pilkada disebutkan bahwa anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 dan paling lama 72 bulan, dan denda paling sedikit Rp300 juta, dan paling banyak Rp1 miliar.
Regulasi di atas sesungguhnya sudah relatif cukup mengatur terkait sanksi politik uang. Namun, problem utamanya ada pada niat baik dan moralitas para pihak yang terlibat pilkada. Jika yang memberi dan yang menerima imbalan sama-sama senang, alias memiliki hubungan resiprokal di antara keduanya dan tidak diketahui oleh Bawaslu, maka atas tindakan itu sulit dilakukan penegakan hukum (law enforcement).
Andaikan praktik politik transaksional seperti itu marak terjadi dalam pilkada, lalu bagaimana kualitas demokrasi hasil pilkada? Bagaimana pula dengan integritas kepala daerah hasil pelanggaran seperti itu?
Solusi
Untuk mengatasi fenomena di atas dibutuhkan atmosfer politik yang sehat dengan penguatan pendidikan politik agar masyarakat makin cerdas, berintegritas, dan memiliki literasi politik yang baik. Dengan begitu, mereka mampu terhindar dari praktik-praktik politik uang.
Masyarakat yang cerdas, berintegritas, dan literat tentunya mampu melakukan preferensi politik dengan nalar politik yang positif dan tidak terjebak pragmatisme politik. Pragmatisme politik inilah yang menghancurkan demokrasi dan merusak tatanan politik, yang pada akhirnya menyengsarakan rakyatnya.
Selain itu, sudah saatnya konstituen secara cerdas melakukan penilaian, sekaligus memilih calon pemimpin daerah yang sejak awal tidak melakukan praktik-praktik politik uang. Kita menduga, jika calon kepala daerah sejak awal sudah bermain dengan politik uang, diduga akan berimbas pada output kebijakannya, dengan niat mengembalikan modal pilkada yang dikeluarkannya.
Upaya lainnya ialah dibutuhkan sikap teladan dari para calon pemimpin sehingga ia menjadi teladan (role model) bagi masyarakat untuk menjauhi praktik politik uang. Para calon pemimpin di daerah jika nanti terpilih harus benarbenar menghindari praktikpraktik KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Terakhir, perlu adanya upaya kerja sama penyelenggara pilkada dengan KPK, kejaksaan, Polri, dan BPK, serta keterlibatan masyarakat seperti media maupun LSM antikorupsi untuk melakukan pengawasan dan pemberantasan politik uang dalam setiap tahapan pilkada.
Dengan demikian, kita berharap pelaksanaan pilkada di masa pandemi covid-19 ini mampu melahirkan pemimpin-pemimpin di daerah yang bersih, amanah, berintegritas, dan jauh dari praktik politik uang.
KPK kembali mengembangkan kasus dugaan rasuah terkait penyaluran bansos di Kemensos. Surat perintah penyidikan (sprindik) diterbitkan dari Agustus 2025.
Ia menekankan bahwa setiap anggaran yang diamanahkan untuk menyukseskan program-program Kementerian Sosial harus digunakan secara transparan danĀ kredibel.
Dia memastikan KUHAP baru tidak akan melemahkan pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi dipastikan tidak berkurang.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkirakan kerugian negara dalam dugaan kasus korupsi pengangkutan bantuan sosial di Kementerian Sosial mencapaiĀ Rp200 miliar.
Empat orang dicegah ke luar negeri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka diduga terlibat dalam kasus korupsi pengangkutan penyaluran bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial.
KPK sudah berkali-kali menanyakan pengembangan kasus pencucian uang Setnov di Bareskrim. Saat ini, eks Ketua DPR itu sudah menghirup udara bebas usai mendapatkan kebebasan bersyarat.
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
MK mengatakan selama ini terdapat perbedaan atau ketidaksinkronan peran Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu dengan pelanggaran administrasi pilkada.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Pengalaman dari Pemilu 2024 menunjukkan betapa tingginya partisipasi masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran.
Demokrasi tidak bisa dipisahkan dari politik karena sesungguhnya politik adalah bagian yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari
Bagja tetap mengimbau Bawaslu Sulawesi Selatan dan Kota Palopo untuk mengawasi setiap potensi terjadinya praktik haram tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved