Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
MENGEJAWANTAHKAN substansi materil yang terkandung dari sebuah norma hukum merupakan salah satu prinsip dasar dalam menjalankan ketentuan hukum secara formil. Salah satu manifestasinya tergambarkan dalam proses pengambilan keputusan atas sebuah perkara oleh hakim.
Melalui amar putusannya, hakim tunggal ataupun majelis hakim dapat melakukan interpretasi terhadap korelasi sebuah perkara dengan norma hukum yang mengaturnya. Selain itu dalam amar putusannya, hakim bahkan berwenang untuk menghapuskan hak hidup dari seorang terdakwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Jimly Asshidiqie, 2013).
Besarnya kewenangan hakim tersebut membuat pelaksanaan kewenangan tersebut harus berimbang dengan proses pengawasannya baik yang dilakukan secara internal ataupun eksternal. Pada era reformasi, proses pengawasan secara eksternal tersebut kemudian dilembagakan melalui Komisi Yudisial Republik Indonesia dengan tujuan untuk tidak hanya mengonstruksikan sebuah sistem pengawasan yang tidak mencinderai independensi lembaga kehakiman, melainkan juga memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas dari sebuah lembaga negara (Setjen Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2013).
Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU Nomor 18 Tahun 2011), Komisi Yudisial berperan penting dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka hingga penegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku dari hakim. Namun dalam menjalankan wewenangnya tersebut secara komprehensif, setidaknya terdapat dua substansi peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Komisi Yudisial yang perlu ditinjau lebih mendalam.
Merekonsepsi pola rekrutmen
Merujuk pada ketentuan Pasal 6 Ayat (3) UU Nomor 18 Tahun 2011, keanggotaan Komisi Yudisial terdiri dari dua orang mantan hakim, dua orang praktisi hukum, dua orang akademisi hukum, dan 1 orang anggota masyarakat. Namun apabila ditelaah lebih dalam bahwa pengisian jabatan yang berasal dari unsur anggota masyarakat belum terinterpretasi secara komprehensif.
Hal ini dikarenakan harus terdapat penegasan dalam metode pengisian keanggotaan Komisi Yudisial dari anggota masyarakat. Hal itu agar tidak bersinggungan dengan pengisian jabatan keanggotaan Komisi Yudisial yang berasal dari unsur praktisi hukum dan akademisi hukum.
Perlu digarisbawahi bahwa unsur keanggotaan Komisi Yudisial yang berasal dari unsur anggota masyarakat, benar-benar mencerminkan konsepsi anggota masyarakat itu sendiri. Maksudnya, seyogyanya yang mewakili unsur anggota masyarakat tidak terklasifikasikan ke dalam karakteristik unsur-unsur keanggotaan Komisi Yudisial lainnya menurut UU.
Hal ini sekaligus menguatkan pola rekrutmen secara terbuka berdasarkan partisipasi masyarakat demi mencari anggota Komisi Yudisial secara berintegritas. Hal itu sebagaimana dimaksud pada ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 26 UU Nomor 18 Tahun 2011.
Selain itu perlu juga untuk menganalisa ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2011 yang menegaskan bahwa anggota Komisi Yudisial dapat memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam satu masa jabatan. Perlu untuk digarisbawahi bahwa pengisian jabatan yang berhubungan dengan fungsi pengawasan terhadap sebuah kelembagaan harus bersifat limitatif yaitu harus dibatasi hanya pada satu kali masa jabatan. Hal ini juga ditujukan agar dapat memaksimalkan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dan menghindarkan probabilitas konflik kepentingan di dalam Komisi Yudisial secara kelembagaan.
Penguatan kelembagaan
Selain merekonsepsi sebagian pola rekrutmen di lingkungan Komisi Yudisial, penguatan kelembagaan merupakan hal dan tujuan yang prinsipil untuk dapat tercapai secara maksimal. Mengutip ketentuan Pasal 22E ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2011, apabila terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam hal penjatuhan sanksi terhadap hakim maka akan dilakukan pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung terhadap hakim yang bersangkutan.
Hal tersebut secara tidak langsung memberikan limitasi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melaksanakan wewenangnya secara independen, yang seyogyanya apabila terjadi perbedaan pendapat di antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah untuk mufakat. Hal itu setidaknya perlu dilakukan bila dibandingkan harus melakukan pemeriksaan yang memiliki kecenderungan untuk tidak memenuhi efisiensi waktu dalam menjalankannya.
Selain itu perlu juga ditegaskan bahwa Majelis Kehormatan Hakim pada ius constituendum dapat menjadi sebuah bagian kelembagaan yang tidak terpisahkan dari Komisi Yudisial secara permanen, dan tidak lagi dibentuk sesuai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2011.
Sehingga pada akhirnya, rekrutmen yang berintegritas dan penguatan kelembagaan secara tepat akan dapat memberi kontribusi bagi pemaksimalan kinerja Komisi Yudisial sebagai penjaga marwah peradilan di Indonesia. Itu sebagaimana yang menjadi amanat reformasi yaitu lembaga kehakiman yang independen serta berintegritas, namun tetap berpedoman pada prinsip check and balances secara komprehensif.
Kenaikan gaji seharusnya dilihat sebagai pelaksanaan tugas negara dalam memenuhi hak keuangan para hakim dan tidak perlu dikaitkan dengan tujuan lain.
Sistem pengawasan Komisi Yudisial (KY) yang terlalu kaku dan formal menjadi salah satu penyebab kurang efektifnya pemberantasan mafia peradilan.
KY menerima informasi maupun pendapat masyarakat terkait nama-nama calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM yang sejauh ini lulus.
KY sudah memberikan rekomendasi agar MA memberikan sanksi terhadap Hakim Agung yang identitasnya dirahasiakan tersebut terkait kasasi kasus Ronald Tannur
"Peserta seleksi diminta mengabaikan pihak-pihak yang menjanjikan dapat membantu keberhasilan atau kelulusan dalam proses seleksi ini,"
KOMISI Yudisial (KY) mengumumkan 33 orang calon hakim agung yang sudah lolos seleksi kualitas pada 29-30 April lalu
Setiap tahun, deretan pejabat publik terjerat kasus hukum. Sistem hukum dan birokrasi sering kali gagal membedakan antara kesalahan administratif dan kejahatan yang disengaja.
Nikita Mirzani meminta Presiden RI Prabowo Subianto untuk meluruskan hukum di Indonesia, usai menjalani sidang dakwaan kasus pemerasan.
PRESIDEN Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 yang mengatur pembebasan bersyarat bagi saksi pelaku yang bertindak sebagai justice collaborator.
Bayu melaporkan bahwa struktur kepengurusan baru telah terdaftar secara resmi melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-0000825.AH.01.08.TAHUN 2025.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved