Headline

Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.

Fokus

Penipuan online makin marak menjerat masyarakat.  

Humor dan Dramaturgi Pilkada di Tengah Pandemi

Damianus Febrianto Edo, Peminat Isu Sosial dan Media
17/9/2020 22:00
Humor dan Dramaturgi Pilkada di Tengah Pandemi
Damianus Febrianto Edo(Dok.pribadi)

DI tengah pandemi covid-19 euforia politik lokal mulai menggeliat. Alih-alih bakal calon kandidat banyak dibicarakan di media lokal maupun gosip di dunia maya. Masing-masing partai ingin menjagokan kadernya di daerah, baik yang muda maupun tua.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mempersiapkan PKPU Nomor 5 Tahun 2020 huruf 8C menegaskan bahwa, 'pelaksanaan pemungutan suara serentak yang ditunda karena terjadi bencana non alam coronavirus disease 2019 (Covid-19) dilaksanakan pada 9 Desember'. Untuk diketahui, ada 224 kabupaten dan 37 kota di Indonesia akan melaksanakan pilkada serentak Desember 2020.

Konsentrasi masyarakat, terutama elite di beberapa daerah sudah mengarah kepada siapa kepala daerah yang layak diusung lima tahun ke depan. Ditambah riak media sosial dan media lokal semakin memperlihatkan jargon-jargon, jagoan masing-masing.

Baik media sosial maupun media daring di daerah, gemuruh itu, semakin jelas diperbincangkan oleh masyarakat di berbagai platform media sosial. Pertanyaan fundamentalnya adalah akankah pilkada serentak 9 Desember 2020 berjalan secara jurdil (jujur dan adil) di tengah hempasan covid-19? Apakah calon kepala daerah yang akan maju adalah reperesentasi suara masyarakat lokal atau representasi para cukong demokrasi?

Membangkitkan humor

Politik kita sarat dengan keseriusan bahkan beringas. Sebelum pemilu, pascapemilu, bahkan sampai sekarang menampilkan wajah keseriusan bahkan beringas. Riak-riak hoaks di media sosial mengisyratkan wajah politik brutal yang dimainkan oleh politik pecundang (defeatocrat). 

Perlu disyukuri entropi politik masih banyak dihuni oleh orang-orang baik dan mencintai demokrasi. Jiwa altruistik anak bangsa masih berkobar dalam sanubari. Mereka tidak menginginkan nama mereka dikenal atau dipuja puji, bak pahlawan. Mereka hanya ingin bangsa ini kembali pada aras semula, menjaga persatuan, dan mencintai sesama tanpa ada sekatan ras, agama, suku yang menyertai. 

Sama seperti mendadak viralnya aplikasi FaceApp di media sosial. Publik dengan penuh semangat berimajinasi saat mereka berumur renta, guratan di kulit wajah mengkerut seperti nenek dan kakek. FaceApp merekonstruksi wajah kita 30 atau 40 tahun ke depan. Tertawa dan komentar di media sosial pun berubah menjadi komedi yang asyik dan menyenangkan tanpa memperhatikan risiko dari teknologi tersebut.

Sama seperti banyak politisi lokal yang menyampaikan visi misi mereka di depan publik. Berbagai argumentasi, tafsiran simbolik mulai menggelinding media sosial maupun media arus utama (mainstream). Alih-alih berwacana kalau mereka terpilih menjadi kepala daerah, maka daerah tersebut akan sejahtera, ekonomi masyarakat akan diangkat, jalan yang rusak akan diaspalkan dan banyak janji lainnya.

Di sini dibutuhkan humor guna meredam persaingan elite lokal yang menggenitkan tersebut. Untuk itu humor memantik imajinasi masyarakat, agar tidak terlalu tersandera dengan janji yang menggiurkan. Melenturkan saraf otak, kerutan wajah untuk kembali tersenyum, tertawa bersama dalam balutan kebersamaan. Persaingan politik lokal perlu dilenturkan dengan menampilkan banyak humor dalam bentuk foto, meme, video ataupun narasi satir di media sosial.

Di Eropa misalnya, membuktikan daya magis daripada humor karena tingkat kejenuhan mereka terhadap politik. Bahkan, mereka cenderung bersimpati dengan orang-orang yang jauh dari hingar bingar politik. Di Italia, Partai Five Stars Movement digagas oleh seorang komedian dan bermodalkan Blogger Beppe Grilo di 2019. Terbukti, mereka digandrungi oleh anak muda dan buruh di Italia. Alhasil, mereka menjadi salah satu partai yang diperhitungkan dan berhasil memenangkan sejumlah pemilihan municipal (setingkat wali kota atau bupati) di Roma, Parma dan Turin.

Fungsi dari humor, melenturkan sendi sendi politik yang semakin mengeras. Dalam politik, tak ada suatu hal yang tidak bisa dilakukan selama menyenangkan semua orang. Orang merasa terhibur, bahagia dan kemudian tertawa sepuasnya. Bahkan, hal yang konyol sekalipun bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat selama itu menghibur. 

Di Islandia, Partai Besti Flokkurinn didirikan seorang komedian Jon Gnarr. Bahkan logo partainya tidak mengandung makna filosofis seperti partai-partai lainnya. Partai Besti Flokkurinn atau Best Party menjiplak lambang like di Facebook dan jempolnya dipanjangkan sedikit. 

Visi misi partai di Islandia tersebut memang syarat dengan humor, bahkan tingkat humor yang paling nakal sekalipun. Visi misi semaunya mereka, antara lain membebaskan biaya masuk kolam renang, handuk gratis untuk penduduk kota. Mungkin karena air panas di Islandia dengan belerang, sehingga membutuhkan handuk gratis bagi warganya. Tetapi tak disangka, mereka terpilih jadi pemenang. Artinya, dalam politik tidak ada yang mustahil. 

Obat penenang
Sama halnya ketika politik menguras tenaga, bahkan emosi menyertainya. Untuk itu, humor salah satu obat penenang dikala persoalan politik mengarah pada kebrutalan. Jelang pilkada serentak Desember 2020, janji sang kandidat perlu ada humor untuk menetralisir. Humor menurut saya, paling manusiawi daripada politik itu sendiri. Untuk itu politik harus membutuhkan humor sebagai kawan dikala janji kampanye tak bisa ditepati.

Kita perlu belajar di negara-negara seperti Italia dan Islandia. Artinya, menghidupkan humor dalam politik di tengah sesaknya narasi yang bombastis dari sang kandidat, kejenuhan maupun wajah kebringasan dalam politik, perlu dilakukan. Gus Dur sudah melakukan hal ini. Lihat saja bagaimana kecerdasannya menanggapi hal-hal yang menegangkan seperti agama dalam balutan humor.

Budaya Indonesia sangat kaya, termasuk teknik humor yang ditanamkan. Begitu pula dengan anak muda yang kaya akan kreativitas. Kreativitas humor perlu digaungkan untuk menurunkan tensi politik yang kian melebar di pilkada serentak.

Kelatahan politik dan efek keseriusan, membuat kita tidak nyaman dalam berdemokrasi. Demokrasi yang syarat dengan kegembiraan dilaburi oleh ketegangan antar anak bangsa yang menuju pada persaingan yang tidak sehat. Ketegangan yang mencederai hubungan bersama, mamantik ego yang berlebihan, bahkan menyulut emosi. Itu tentunya, bukan hakikat demokrasi dalam balutan budaya Indonesia.

Budaya kita selalu menjunjung tinggi etika dan saling menghormati. Kini justru dirampas oleh politik berwajah beringas. Lihat saja hoaks di media sosial tak terbendung lagi. Hoaks yang menyentuh hal-hal yang sentimentil dengan harapan ada respons kegarangan. Apakah kita tidak bisa move on dari riak-riak hoaks dan warna politik yang beringas? Apalagi hal itu tidak menguntungkan dan membuang waktu untuk hal-hal yang tidak substansial.

Elite politik lokal harus menampilkan sikap ksatria dalam berpolitik, bukan malah memperlebar polarisasi di tengah masyarakat. Membumikan sikap kebangsaan antara pendukung perlu digagas dengan sigap oleh elite. Bukan malah memperuncing polarisasi dengan wacana egoisme. Mereka harus menampilkan akhlak yang patut diteladani masyarakat dan bukan janji-janji kosong.

Dramaturgi 
Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1958), adalah salah seorang tokoh yang tertarik pada konsep peran sosial dalam kaitan dengan penampilan, wajah dan ruang personal untuk menganalisis persentasi diri atau manajemen kesan.  

Peter Burke dalam History and Social Theory (1992), mengembangkan analisis Goffman untuk membaca kisah dramaturgi dalam sejarah Italia masa Renaisans, kala itu.

Di situ Burke menemukan pelajaran penting tentang cara seseorang (pemimpin) dan penguasa membuat kesan menarik dalam memainkan peran sosial bagi rakyat (fare bella figura). Dalam konteks politik, bagaimana politisi mengemas dirinya, dengan tagline 'peduli nasib rakyat', mengunjungi pasar sambil membeli barang-barang pedagang atau petani. 

Sikap dadakan yang ditunjukan model sikap aktris atau selebriti pada saat berakting sinetron dengan sikap tubuh, gestur dan ekspresi yang menyakinkan. Dengan kata lain, menunjukan dramaturgi sebagai aksi untuk menarik simpati masyarakat.

Tak ayal dramaturgi membuat nurani dan rasionalitas kita bungkam seketika. Tidak salah, dramaturgi merupakan bentuk strategi untuk mendulang suara. 

Untuk itu masyarakat perlu memasang lonceng dini, perihal kandidat yang berkualitas dan berintegritas di etalase politik lokal. Sehingga politik kita akan mengalami naik kelas dengan jargon-jargon mumpuni. Akhirnya, pilkada di tengah pandemi covid-19 bisa terus membangkitkan minat masyarakat akan demokrasi dengan mengikuti protokol kesehatan. Sehingga legitimasi kepala daerah semakin kuat dan kokoh guna mengayomi masyarakat akan perubahan yang diinginkan selama lima tahun ke depan. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya