Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Penegasan Kesetaraan Gender

Sumarjati Arjoso Waketum Partai Gerindra–Dewan Kehormatan DPP Kaukus Perempuan Politik Indonesia
22/7/2020 04:05
Penegasan Kesetaraan Gender
(Dok.dpr.go.id)

POLITIK dan perempuan di Indonesia telah melalui sejarah yang panjang. Perjuangan politik perempuan menemui momentum nya pada Kongres Perempuan Pertama 1928 dan terus berkembang dengan banyaknya organisasi politik perempuan yang didirikan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.

Perempuan bergerak di berbagai sektor. Kita mengetahui berbagai catatan perlawanan perempuan atas ketidakadilan perlakuan dalam dunia politik. Perempuan pun melakukan upaya-upaya dalam mengorganisasi diri di kancah perpolitikan. Agenda gerakan perempuan Indonesia dalam menghadapi permasalahan muncul dari berbagai lini kehidupan.

Kehadiran perempuan dalam parlemen sangat diperlukan untuk mewakili suara perempuan dalam pembuatan kebijakan di seluruh sektor pembangunan. Tidak hanya dalam mengakomodasi kebutuhan dan hak-hak perempuan, representasi perempuan dalam parlemen merupakan upaya untuk menjadikan perempuan sebagai subjek pembangunan. Minimnya keterlibatan perempuan dalam parlemen bisa disamaartikan dengan menjadikan perempuan sebagai warga negara yang tidak memiliki kesetaraan hak dan kewajiban dengan laki-laki.


Penegasan kesetaraan

Dalam mengkaji kebijakan afirmasi politik perempuan, pada 2002 kesetaraan gender mulai diperkenalkan dan diatur di dalam UU No 31/2002 tentang parpol. Regulasi itu mengharuskan parpol mempertimbangkan kesetaraan gender dalam rekrutmen calon legislatif dan dalam struktur parpol dari tingkat nasional ke tingkat lokal.

Sejak saat itu indeks pemberdayaan gender (IDG) Indonesia tercatat naik, pada 2016 sebesar 71,39 dan menjadi 71,74 pada 2017 (BPS, 2018). IDG ialah indikator yang menunjukkan apakah perempuan dapat memainkan peranan aktif dalam kehidupan ekonomi dan politik. IDG menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah bersama dengan indeks pembangunan manusia (IPM).

Penguatan afirmasi dilanjutkan melalui UU No 02/ 2008 yang mengharuskan parpol memiliki 30% pengurus perempuan. Kemudian, UU No 10/2008 juga mengatur bahwa partai harus mencalonkan 30% perempuan dari daftar calon dan menyalonkan minimal satu perempuan dari tiga nama calon untuk pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Penerapannya telah dilakukan pada Pemilu 2009, 2014, dan 2019. Dengan demikian, perempuan di DPR RI di tingkat pusat mengalami peningkatan dari 17,86% (101/560), 17,32% (101/560) pada 2014, hingga 20,34% (117/575) pada 2019.

Meski belum mencapai 30% sebagai kuantitas minimal, dapat diakui peningkatan persentase hasil Pemilu 2019 merupakan capaian tertinggi sepanjang sejarah implementasi afi rmasi politik perempuan di Indonesia (Sadikin, 2020).

Perihal keterwakilan perempuan di parlemen sebagai penerapan afi rmasi politik perempuan sering dikhawatirkan sekadar menjadi pemenuhan syarat administratif pemilu bagi partai. Itu disebabkan, kenyataannya, walaupun perempuan terpilih di parlemen, dominasi laki-laki masih tinggi pada ranah tersebut.

Sepertinya masih banyak kebijakan tidak berpihak kepada perempuan walaupun kuota politik telah tersedia. Perlu diakui bahwa ‘kuota’ dapat hanya dimaknai untuk kebutuhan pemenuhan jenis kelamin tanpa melihat kapabilitasnya untuk menjalankan fungsi di pemerintahan.

Hal itu dapat menyebabkan upaya perbaikan terhadap kebijakan yang berpihak kepada perempuan mengalami stagnansi dan tetap pada level yang sama sebagaimana saat belum diterapkannya berbagai peraturan perundangan tentang afirmasi politik perempuan.

Lebih dalam lagi, kurangnya upaya peningkatan kapasitas dan kapabilitas perempuan menghambat perempuan Indonesia untuk dapat memaksimalkan potensi baik dalam proses keterlibatan di parlemen maupun dalam proses partisipasi politik (misal: pemilu).

Kurangnya pengetahuan atau kemampuan dalam bidang tertentu dapat mengakibatkan eksistensi perempuan dalam politik belum tentu dapat menyuarakan kepentingan perempuan di berbagai sektor pembangunan.

Dari sisi sistem sosial, sistem patriarki pada masyarakat di Indonesia, dengan posisi laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan dan dominasi lakilaki, tidak hanya mencakup ranah personal, tetapi juga dalam ranah yang lebih luas (partisipasi politik, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dll) dapat secara tidak langsung membebankan perempuan dengan dua pekerjaan atau lebih.

Pada konteks partisipasi politik, mereka diharapkan mampu menjalankan peran ibu rumah tangga dan aktor politik. Dengan demikian, dikhawatirkan, ketika dalam posisi berupaya untuk menyuarakan pendapat (mewakili) kaum perempuan, mereka belum tentu dapat menyentuh pokok permasalahan yang dimaksud,

Di kancah politik, keterwakilan 30% perempuan jangan hanya berhenti pada tahap pencalonan (syarat administratif) dan/atau keterpilihan. Namun, kualitas atas apa yang diperjuangkan perempuan di parlemen menjadi inti pengejawantahan dari ‘kualitas perempuan Indonesia’.

Pada akhirnya, tulisan ini menjadi semacam pemantik yang dapat memercikkan semangat perempuan Indonesia untuk mendorong semangat melibatkan diri dalam berbagai hal yang notabene sering dianggap didominasi laki-laki. Perempuan Indonesia mampu untuk bersaing dengan laki-laki baik secara kuantitas maupun kualitas di ranah parlemen.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya