Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Arah Pendidikan Vokasi Indonesia

Budy Sugandi Pemerhati Pendidikan, Kandidat PhD Jurusan Education Leadership and Management, Southwest University China
20/7/2020 05:46
Arah Pendidikan Vokasi Indonesia
Ilustrasi(Duta)

DI negara - negara maju, hubungan antara pendidikan vokasi dan industri sudah seperti suami-istri. Semua ini berkat keberhasilan dalam membangun link and match antara pendidikan vokasi dengan industri dan dunia kerja (Iduka). Bagaimana dengan Indonesia?

Mendikbud Nadiem Awar Makarim menyampaikan, “Menurut saya, pernikahan massal ini analogi yang tepat karena itu menunjukkan komitmen yang permanen karena baru namanya vokasi jika pola belajarnya mengikuti industri. Jadi kita (pendidikan vokasi) harus menikah dan beranak,” kata Nadiem dalam Bincang Inspiratif Mendikbud dengan Dirjen Vokasi pada Lokakarya Kepala SMK melalui Webinar, Jakarta, Sabtu (27/6).

Mafhum diketahui, permasalahan pendidikan vokasi sejak dulu masih berputar pada lingkaran yang sama, yaitu lulusannya kurang kompetitif dan sulit mencari pekerjaan. Baik pada level sekolah (SMK) maupun kampus vokasi, seperti universitas, politeknik, institut, sekolah tinggi, dan akademi.

Stereotip bahwa mereka yang masuk SMK merupakan ‘buangan’ karena tidak diterima di SMA, mengakar kuat di masyarakat. Ada humor lama yang nyelekit ‘masuk ke SMK itu bagus bagi anaknya orang lain’. Sindiran ini juga dihadapi mereka yang masuk D-1 hingga D-3 kampus vokasi dianggap hanya karena tidak diterima di S-1. Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya stereotip miring tersebut. Apalagi jika melihat lulusannya saat ini banyak termarginalkan, bingung mau ke mana setelah lulus. Padahal, tujuan mereka masuk ke sana agar cepat mendapatkan pekerjaan.

Sistem yang berjalan saat ini perlu direformasi. Link and match dengan dunia industri perlu dikonkretkan. Sekolah dan kampus vokasi tidak sekadar fokus menciptakan lulusan dengan mengantongi selembar ijazah, lebih dari itu lulusannya harus memiliki kompetensi yang mumpuni
sehingga berkelindan dengan kebutuhan industri.

Lebih jauh, kurikulum dan jurusan perlu di-upgrade sesuai kebutuhan zaman. Dunia sudah berubah cepat, artifi cial intelligence, big data, internet of things, virtual reality, dan 3D printing hadir, jurusan- jurusan baru dibuka. Jangan sampai kita terperangkap hanya pada materi dan jurusan yang monoton.

Terobosan dan keuntungan industri

Pilihan Mendikbud Nadiem dengan menambah direktorat baru di lingkungan Kemendikbud, yaitu Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi perlu diapresiasi. Ditjen ini menggawangi empat direktorat, yaitu Direktorat SMK, Pendidikan Tinggi Vokasi dan Profesi, Kursus dan Pelatihan, serta Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia In- dustri. Pasalnya, tantangan dan kebutuhan SDM di dunia industri semakin meningkat. Termasuk untuk memberesi pekerjaan rumah mindset negatif masyarakat terhadap pendidikan vokasi.

Penunjukan Wikan Sakarinto sebagai Dirjen Pendiagai Dirjen Pendidikan Vokasi yang merupakan mantan dekan Sekolah Vokasi UGM perlu diacungi jempol. Dalam satu kesempatan melalui akun Youtube pribadinya, ia menyampaikan, “Selama ini industri selalu komplain bahwa lulusan SMK atau kampus vokasi itu soft skill-nya kurang. Materi terkini tidak diajarkan. Daripada komplain, ayo duduk bersama, bikin resep bersama, dan menjawab kompetisi bersama. Kemudian, masak dan dicicipi bersama, magang, lalu diserap. Di sinilah industri akan diuntungkan karena industri itu salah satu pilar utamanya mendapatkan SDM bermutu.”

Terobosan besar seperti ini termasuk mengembangkan Center of Excellence (CoE), Rumah Vokasi, dan pelibatan industri dalam menyusun kurikulum merupakan langkah yang tepat. Dengan pengalaman dan gagasan besarnya kita menaruh harapan akan masa depan pendidikan vokasi di negeri ini. Jika diselisik lebih jauh, yang paling diuntungkan dengan lulusan pendidikan vokasi ialah Iduka. Perusahaan mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sebentar untuk mencari serta memberikan training kepada calon pekerjanya.

Jadi seharusnya perusahaan berinvestasi lebih efektif, yaitu dengan ikut terlibat mendesain kurikulum, menjadi dosen tamu dari indsutri, memberikan beasiswa, joint research, program magang, memberikan sertifikat kompetensi, membantu fasilitas laboratorium, hingga komitmen kuat menyerap lulusan SMK dan kampus vokasi. Harapannya dengan link and match ini ketika mereka lulus, bisa langsung ditarik sebagai pekerja karena telah memiliki kompetensi sesuai dengan yang diinginkan Iduka.

Demand lulusan vokasi sangat tinggi. Dalam bidang IT, misalnya, menurut World Economic Forum (WEF), Indonesia membutuhkan 9 juta tenaga IT pada 2030. Padahal, dalam setahunnya Indonesia hanya memiliki 45 ribu-50 ribu lulsuan IT. Ini belum dengan kebutuhan kerja di bidang lain serta tenaga terampil (skilled workers) ke luar negeri yang juga tinggi.

Belajar dan bersinergi

Hal positif yang saya lihat ketika sedang menempuh kuliah di Technische Universitat Braunschweig Germany ialah Jerman berhasil mengoptimalkan fungsi sekolah kejuruan/ kan fungsi vokasi (berufsschule). Dengan menerapkan model dual system, mereka memiliki jumlah pengangguran paling sedikit di Eropa. Banyaknya perusahaan raksasa di dalam negeri dimanfaatkan sangat baik de- ngan menerapkan model pendidikan dual system sebagai bentuk kolaborasi ideal antara pemerintah dan industri. Siswa vokasi di Jerman memiliki jam belajar di sekolah satu sampai dua hari dan di perusahaan tiga sampai empat hari per minggu, selama masa sekolah. Siswa mendapatkan hak gaji dan cuti selama proses belajar tersebut. Alhasil, setelah lulus, siswa memiliki kecakapan dari satu bidang yang diminati dan benar-benar siap bekerja.

Begitu juga dengan Tiongkok. Di sana kita bisa melihat banyaknya produk inovasi lahir justru berkat kontribusi pendidikan vokasi yang diterapkan. Sebut saja Alipay, Payease, Wechat, dan lain-lain yang memungkinkan masyarakat menyelesaikan hampir semua aktivitas kebutuhan sehari-hari hanya dengan telepon seluler (ponsel). Kemajuan ekonomi, sains, dan teknologi yang mengguncang dunia ini tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan pemerintah Tiongkok dalam menjaga kualitas pendidikan vokasi di negara tersebut.

Tentu kita tidak harus menduplikat secara penuh apa yang ada di negara lain karena setiap negara memiliki budaya, permasalahan, hingga kearifan lokal masing-masing. Namun, satu hal yang perlu kita catat bahwa link and match antara pendidikan vokasi dan industri mutlak dibutuhkan.

Harapan besar ini juga membutuhkan kerja keras dari kepala sekolah dan rektor. Pimpinan sekolah dan kampus vokasi tidak boleh terjebak dalam rutinitas birokrasi atau sekadar membuat memorandum of understanding (MoU) dengan perusahaan dan dimuat di berita tanpa tindak lanjut. Mereka harus mampu menjadi pimpinan sekolah/kampus vokasi sekaligus chief executive officer (CEO). Pemimpin untuk mencetak alumni yang kompeten dan berakhlak baik serta CEO untuk menjalin kerja sama dengan Iduka.

Pada akhirnya, keberhasilan pendidikan vokasi di Indonesia tidak bisa dibebankan secara tunggal hanya kepada Kemendikbud, tetapi juga perlu sinergi baik antarkementerian, sekolah, perguruan tinggi, hingga industri. Jika ini dapat dilakukan, bukan hal yang mustahil orang-orang akan antre berebut masuk ke SMK dan kampus vokasi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya