Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Mendesakkan Kebijakan Afirmasi Perempuan dalam RUU Pemilu

Dwi Septiawati Djafar Ketua Umum DPP Kaukus Perempuan Politik Indonesia
17/6/2020 06:45
Mendesakkan Kebijakan Afirmasi Perempuan dalam RUU Pemilu
(Dok. Medcom.id)

REVISI undang-undang pemilu sedang bergulir di parlemen. Berdasarkan pantauan, draf revisi terakhir masih belum menyentuh secara signifikan isu kebijakan afi rmasi. Padahal, sejumlah agenda penguatan kebijakan afirmasi mendesak untuk didorong melalui momentum ini.

Apa saja isu kebijakan afi rmasi yang perlu dikuatkan? Pertama, penempatan perempuan caleg pada nomor urut 1 dalam daftar caleg di minimal 30% dapil oleh setiap peserta pemilu.

Kedua, penerapan merit system dalam rekrutmen calon anggota legislatif sebagai penjelasan atas proses rekrutmen caleg yang demokratis oleh parpol.

Ketiga, pengaturan tentang syarat keanggotaan partai politik minimal 2 tahun sebelum pendaftaran pencalonan anggota legislatif.

Keempat, pengaturan alokasi dana negara untuk pendidikan politik, kaderisasi, dan rekrutmen politik kader perempuan parpol.

Kelima, pengaturan terkait dengan penguatan peran strategis organisasi sayap perempuan partai politik.

Keenam, pengaturan agar norma PKPU Tahun 2017 tentang pencalonan perempuan menjadi norma undang-undang pemilu.


Kepentingan sosial politik

Mengapa kita perlu mendorong agenda afirmasi perempuan dalam revisi Undang-Undang Pemilu? Adalah untuk kepentingan mencapai target minimal 30% perempuan dalam parlemen sebagai critical mass yang membuat suara perempuan bisa memengaruhi pengambilan keputusan politik.

Kita menyadari bahwa ada begitu banyak persoalan kehidupan yang belum mendapatkan sentuhan kebijakan publik yang ramah perempuan, anak, dan keluarga.

Saat pandemi covid-19 ini, yang mana terjadi perubahan sosial budaya dalam tata kehidupan, tetiba kita menyadari ada sejumlah persoalan terkait dengan perempuan dan profesi, perempuan dan keluarga, anakanak dan sekolah, anak-anak dan interaksi sosial, keluarga dan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, serta persoalan lain yang belum mendapatkan dukungan kebijakan publik yang ramah.

Kebijakan afirmasi dalam revisi Undang-Undang Pemilu perlu didorong juga untuk kepentingan kehidupan sosial masyarakat yang lebih berkeadilan, tidak diskriminatif, dan memberi ruang kesempatan yang sama pada setiap warga negara untuk mendapatkan akses, hak partisipatif, dan manfaat dalam pembangunan.

Selain itu, sebagai negara besar dengan jumlah penduduk perempuan lebih dari 50% juga wajar jika untuk alasan kepentingan hukum dan pendidikan politik, perlu adanya dokumentasi regulasi kebijakan pemilu kita yang secara formal menunjukkan keberpihakan pada kebijakan afirmasi.

Duduknya perempuan anggota legislatif pada jabatan publik diharapkan dapat memberi pengaruh signifi kan bagi hadirnya regulasi yang membangun kehidupan sosial yang berkeadilan dari lingkup keluarga sebagai unit sosial terkecil.

Penempatan isu kebijakan afirmasi dalam UU Pemilu akan memberikan manfaat besar bagi bangsa ini. Secara praktis, perempuan, anak-anak, dan keluarga yang selama ini masih belum mendapat ruang yang bermartabat dalam pembangunan (tecermin dalam masih tingginya angka persoalan terkait dengan perempuan, anak, dan keluarga dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dll), akan merasakan hadirnya negara secara riil dalam penanganan persoalan tersebut.

Pada akhirnya secara hakikat, manfaat tersebut akan dirasakan seluruh rakyat Indonesia saat tercipta kondisi politik, sosial budaya, hukum, ekonomi yang ramah perempuan, anak, dan keluarga. *Cipta lingkungan seperti ini akan kondusif bagi lahirnya insan Indonesia yang produktif, kreatif, dan mandiri, yang amat dibutuhkan bagi pembangunan peradaban Indonesia yang maju, modern, dan bermartabat.


Pengawalan

Bagaimana agar penguatan kebijakan afi rmasi bisa masuk revisi UU Pemilu? Dalam proses legislasi di DPR RI, kemungkinan besar RUU Pemilu yang merupakan inisiatif DPR akan dibahas melalui mekanisme panitia khusus (pansus) yang melibatkan lintas komisi.

Aktor yang diharapkan mengambil peran secara proporsional sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya ialah peran pimpinan DPR RI, pimpinan komisi terkait, pimpinan fraksi, dan pimpinan pansus yang secara sangat signifi kan mewarnai pengambilan keputusan.

Tentu saja, peran pemerintah dalam hal ini Kemendagri serta Kemenkum dan HAM juga besar. Persoalannya, sejauh mana para aktor pengambil keputusan tersebut memiliki perspektif yang benar tentang kebijakan afirmasi dan memiliki political will untuk mewujudkannya. Ini yang agak sulit untuk diprediksi karena menyangkut pola pikir, latar belakang, keberpihakan, dan kepentingan politik kelompok dan golongan.

Dalam konstelasi seperti ini, kita berharap anggota DPR RI, apalagi yang perempuan, secara personal menjadi inspirator, inisiator, dan fasilitator gerakan perempuan dalam mendesakkan penguatan kebijakan afirmasi masuk dalam regulasi.

Persoalannya, kembali sejauh mana yang bersangkutan memiliki keberpihakan dan keberanian untuk membangun arus pemikiran yang bisa jadi berlawanan dengan mainstream parpol.

Suka atau tidak, kita harus menerima bahwa kepentingan politik (baca: kekuasaan) lebih dominan mewarnai proses pengambilan keputusan dalam isu UU Pemilu. Kepentingan eksistensi dan kemenangan parpol dalam pemilu menjadi pertimbangan utama. Popularitas dan elektabilitas menjadi alasan utama dalam menetapkan kandidat.

Ironisnya, elektabilitas calon dalam sosiologi masyarakat kita masih dipengaruhi faktor oligarki, dinasti, dan proses transaksi.

Dalam situasi seperti ini, sering kali perempuan terpinggirkan dalam kompetisi kandidasi. Dunia politik yang masih male dominant and male oriented, belum menempatkan perempuan sebagai subjek pembangunan dalam setiap proses pengambilan kebijakan.

Akibatnya, regulasi atau hukum sebagai produk politik yang dikeluarkan lembaga legislatif belum sepenuhnya ramah perempuan.

Oleh karena itu, agar perempuan tidak kalah sebelum turun berkompetisi ke gelanggang pemilu legislatif, gerakan perempuan politik perlu memastikan bahwa aturan main yang dibuat dalam UU Pemilu ialah ramah perempuan. Berpihak pada perempuan dan memberi ruang bagi penguatan kebijakan afirmasi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik