Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Pembenahan Industri Kelapa Sawit Lebih Penting Ketimbang Menambah Luasan Perkebunan

Solmi
08/1/2025 18:00
Pembenahan Industri Kelapa Sawit Lebih Penting Ketimbang Menambah Luasan Perkebunan
Ilustrasi(MI/Solmi)

WARTAWAN Sawit Nusantara (WSN) meminta Presiden Prabowo Subianto tidak terburu-buru membuat kebijakan untuk menambah luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sebab, dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini, bila dikelola dengan baik, sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

Ketua Umum WSN, Abdul Aziz, mengatakan berdasarkan data terbaru Kementerian Pertanian, saat ini ada sekitar 17,3 juta hektare kebun kelapa sawit yang tersebar di 31 provinsi di Indonesia. Angka ini melonjak dari 16,83 juta hektare pada 2022.

Dari luasan tersebut hanya bisa menghasilkan sekitar 45 juta ton Crude Palm Oil (CPO) dalam setahun. Jika diasumsikan rendemen rata-rata Tandan Buah Segar (TBS) adalah 20% per kilogram, produksi TBS Indonesia hanya sekitar 225 juta ton per tahun. 

Jika produksi tersebut dibagi dengan luasan kebun yang ada seluas 16,83 juta hektare, produksi TBS di Indonesia per hektare per tahunnya, hanya sekitar 13,4 ton. Sama saja dengan sekitar 1,1 ton per hektare per bulan. 

“Ini sangat kecil,” bebernya, Rabu (8/1) dalam keterangannya kepada Media Indonesia.

Mestinya, kata Aziz, produksi TBS bisa di angka 3-4 ton per hektare per bulan. Penghitungan tersebut berdasarkan dari bukti-bukti yang didapat oleh WSN di beberapa daerah di Indonesia. Seperti Riau, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara.
Dengan produksi TBS mencapai 3 ton per hektar per bulan, berarti produksi CPO nasional, kata Aziz, sudah tiga kali lipat dari produksi saat ini.

Produksi CPO nasional sudah akan mencapai 135 juta juta ton per tahun. Itu bila rendemen rata-rata yang didapat hanya 20% per kilogram TBS. Kalau rendemen TBS hasil program peremajaan sawit rakyat (PSR) bisa lebih tinggi.


PSR Terkendala

Sebenarnya, kata Aziz, merujuk pada Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2019, mestinya produksi TBS nasional sudah melonjak tajam. Saat itu, Kementerian Pertanian telah pula mengeluarkan data bahwa ada sekitar 2,7 juta hektare kebun kelapa sawit rakyat sudah mesti diremajakan. Angka ini belum termasuk luasan lahan sawit perusahaan yang juga akan menjalani peremajaan.

Namun yang terjadi, dari jumlah luasan tersebut, pada 2017- 2024, kebun sawit yang telah menjalani peremajaan hanya seluas 334.834 hektare. Sisanya, lebih dari 2,3 juta hektare lagi kebun sawit rakyat yang masih harus diremajakan. 

“Mestinya masalah inilah yang harus dibereskan oleh Presiden Prabowo,” pinta Aziz.

Sebab dengan 2,3 juta hektare itu saja rampung diremajakan, lanjut Aziz, empat tahun tahun kemudian produksi TBS dari lahan seluas itu sudah mencapai 82,8 juta ton dalam setahun. Ini setara dengan 16,56 juta ton CPO dalam setahun bila rendemen rata-ratanya hanya 20%.

“Sudah berapa banyak keluarga petani yang sejahtera bila peremajaan itu segera dilakukan dan kemudian kebunnya dirawat dengan baik. Pertanyaannya, kenapa peremajaan sawit rakyat itu sulit dituntaskan? Itu lantaran teramat banyak pula sebenarnya persoalan yang terjadi di industri kelapa sawit kita, khususnya pada petani sawit,” katanya.

Persoalan pertama menurut Aziz, selama ini petani teramat sulit mengakses pupuk dan kelengkapan lainnya demi merawat kebun untuk meningkatkan produksi. Petani sawit tidak boleh mengakses pupuk bersubsidi.

Persoalan kedua, teramat rumit persyaratan yang harus dipenuhi oleh petani sawit untuk bisa ikut program peremajaan sawit rakyat. Selain harus melengkapi legalitas, juga harus mendapatkan lampu hijau dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kehutanan terkait tidak tumpang tindih dengan Hak Guna Usaha (HGU) dan tidak berada di kawasan hutan.

“Syarat-syarat semacam itu merepotkan petani. Secara logika saja, mereka telah mengelola lahan mereka lebih dari 25 tahun. Biasanya, kan, lahan yang akan diremajakan itu kebun yang berumur lebih dari 25 tahun. Kalau selama 25 tahun enggak ada persoalan, kenapa kemudian dipersoalkan,” katanya.

Dijelaskannya, ada juga petani tidak bisa ikut peremajaan sawit rakyat, lantaran kebun mereka diklaim berada dalam kawasan hutan. Abdul Aziz mencatat, lebih dari 1,5 juta hektare kebun sawit rakyat diklaim dalam kawasan hutan.

Terkait klaim kawasan hutan ini, WSN juga meminta agar Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, tidak gegabah membuat pernyataan menyediakan 20 juta hektare hutan untuk mendukung pangan dan energi.

Menurutnya, Kemenhut seharusnya fokus dulu pada pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan pasal 14 dan 15 Undang-Undang 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jangan justru mengeklaim lahan-lahan rakyat menjadi kawasan hutan. 

"Yang kami temukan seperti itu, banyak kebun-kebun rakyat yang sudah dikuasai lebih dari 25 tahun diklaim menjadi kawasan hutan. Sementara sampai sekarang tidak jelas pengukuhan kawasan hutan di negara ini seperti apa,” katanya.

Kalau memang Menteri Kehutanan mendukung keinginan Presiden Prabowo, kata Aziz, lepaskan klaim hutan dari lahan masyarakat agar lahan-lahan itu bisa bernilai ekonomis untuk mendukung usaha rakyat.

“Kami sangat berterima kasih Presiden Prabowo telah peduli dengan keberlanjutan perkebunan kelapa sawit nasional. Namun, bukan berarti harus menambah luasan perkebunan kelapa sawit. Kalau persoalan pada lahan yang sudah eksisting dibereskan, saya yakin misi ketahanan pangan dan energi yang diusung Presiden Prabowo akan tercapai sebelum masa jabatan lima tahun pertamanya usai. Saya yakin itu,” ungkap Aziz optimis. (SL/J-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri yuliani
Berita Lainnya